Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Komunitas >

Tembang Para Rembang

Tembang Para Rembang

Teks & Foto oleh: Ignasius Satrio Krissuseno

Tembang Para Rembang

Antara bulan Mei sampai Desember, untuk beberapa malam, dari sebuah sudut kampung saya sayup terdengar canda dan cengkrama sekelompok bapak-bapak. Diiringi ritmis suara mengasah arit, dan bau rokok klembak menyan yang menguar.

“Saya dan teman-teman ini sistemnya seperti jeruk makan jeruk. Pergi mengurus ladang orang, namun mengupah orang untuk mengurus ladang di rumah sendiri selama ditinggal” ujar Pak Syarifudin (45). Berangkat dalam kelompok berisikan 10-12 orang, hampir setengah tahun berpindah dari ladang tebu satu ke ladang tebu lain. Setiap bulan Mei, sudah menjadi kebiasaan bagi warga beberapa desa di Jawa Tengah dan Madura untuk menunaikan perjalanan kerja khusus ini. Mereka pergi memanen, atau dalam Bahasa Jawa, rembang tebu di ladang-ladang tebu seluruh Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Pak Syarifudin dan beberapa tetangganya dari Wonosobo adalah salah satu dari sekian banyak kelompok yang beroperasi rembang tebu di Pulau Jawa. Pak Majudin (49) menjadi mandor kelompoknya, seorang tetangga yang ditugaskan Pabrik Gula Madukismo untuk mengurus kelancaran dan mengumpulkan para pekerja rembang. Biasanya perjalanan kerja ini baru selesai pada bulan November-Desember.

Hari-per-hari memotong tebu. Sore hari pulang ke basecamp sementara, sebuah rumah milik warga di sekitar lahan tebu, yang biasanya dibagi untuk menaungi 1-2 tim selama bertugas. Setiap 2-3 minggu akan pindah dari rumah warga ke rumah warga lain. Teman serumah kadang datang dari Bantul, Gunungkidul, Merbabu, Banyuwangi, dan daerah-daerah lain. Akomodasi ini biasanya sudah diurus oleh mandor tebang masing-masing area dari pabrik tebu. 

Saya tinggal persis di sebelah rumah yang biasa disewa untuk basecamp sementara tersebut. Ladang tebunya sendiri terdapat di belakang rumah persis, di Barat kolam ikan, menyeberang parit. Tempatnya di Timbulrejo, Minggir, Sleman, Yogyakarta. Dari tahun ke tahun saya selalu melihat ada kumpulan residensi ini terjadi. Agak kaget sebetulnya, mendengar bahwa ternyata Pak Syarifudin dan teman-temannya dalam kelompok Pak Majudin ini belum pernah ke ladang Minggir sebelumnya. Saya kira setiap tahun yang rembang itu kelompoknya sama! Ternyata tidak. 

Terkadang menjadi perembang tebu juga berarti harus membiasakan diri mengenal tempat-tempat baru. Menghadirkan familiaritas rumah di rumah asing satu dan lainnya, agar sekedar dapat beristirahat. “Di hari-hari awal begitu, rasanya ingin pulang rasanya. Tapi setelah 3-4 hari ya sudah menjadi biasa.” Begitu tutur Soleh (20) anak Pak Syarifudin. Sejak Sekolah Dasar ia sudah sering menemani ayah dan ibunya pergi ke tempat-tempat rembang tebu di seluruh Jawa. Sekarang, ia sedang dalam masa belajar rembang, menjadi bakal penerus generasi perembang selanjutnya. 

Demografi para perembang terbentang dari umur 20-52 tahun. Menarik melihat bentuk kolektif mereka melakukan residensi di rumah warga yang jauh-jauh. Membentuk kebersamaan di tempat asing, membuat penghidupan dari lahan yang bukan miliknya. Tidur bersama, membuat dapur umum, bercengkrama dengan sejawat sampai cukup larut, namun harus beristirahat cukup untuk kembali bekerja pagi selekas fajar merekah. Sebuah kerja yang cukup melelahkan dan menjemukan juga sebenarnya. Dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore penuh dengan kerja fisik dengan gerak yang repetitif. “Kalau bosan, lelah, atau hasil (tebunya) jelek gitu ya nembang-nembang (bernyanyi dalam Bahasa Jawa), begitu kan enak. Menghibur diri sendiri.” kata Pak Majudin. 

Selama 6 bulan musim panen, terkadang kerja merembang ditinggal pulang beberapa hari. Bergantian ke ladang dengan tetangga, untuk mengurus lahan di rumah. Sebuah siklus yang akan berdaur terus sampai musim giling di pabrik-pabrik tebu seantero Jawa berakhir. Menunggu pertengahan tahun depan untuk dimulai lagi.

Di Wonosobo, para perembang sendiri sebetulnya memiliki ladang sayur milik pribadi. Ditanami daun bawang, seledri, kubis, wortel, atau tembakau. Namun karena di daerah Minggir sudah tidak ada warga asli yang bersedia jadi tenaga kerja untuk rembang tebu, maka mereka disewa untuk merembang tebu ke tempat-tempat jauh, termasuk Minggir.

Lahan untuk kebun tebu sendiri sebetulnya mulai menyempit di Sleman. Dari 2.348 hektar di tahun 2007 menjadi 1.436 hektar di tahun 2012 (1) . Terbaru, di bulan September 2023, berkurang satu lagi destinasi sambang para perembang untuk tahun depan. Sebuah lahan seluas 6.600 meter persegi di Kelurahan Denokan, Sendangsari, Minggir saat ini sedang dalam proses alih fungsi menjadi sebuah TPST area Kabupaten Sleman berkapasitas 80 ton per hari. 

Entah rumah mana yang akan diisi tahun depan. Entah dari kebun tebu mana tembang para perembang akan berkumandang.

 

(1) USAHA TANI TEBU RAKYAT DI KECAMATAN KALASAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, Chandra Pramudya, Rupiat Martini, Istiti Purwandari, JURNAL MASEPI, Vol.1 No.1, April 2016

Ignasius Satrio Krissuseno

Ignasius Satrio (l. 2004) Adalah seorang pelajar lepas yang belum berencana mentas belajar. Memilih untuk berhenti memakan bangku sekolah sejak kelas 2 SD, dan memutuskan untuk belajar di mana-mana. Di semak, di kampung, di kota. Pertama mengenal fotografi semenjak diberi kamera oleh bapak ibu saat berumur 4 tahun. Dalam perjalanan belajarnya, jatuh cinta pada dunia mencari dan meneruskan cerita. Telah mencoba medium tulis-menulis, fotografi, film dokumenter, dan beberapa medium eksperimental lainnya.

Mari bergabung bersama kami berkontribusi memajukan seni budaya Indonesia. Kirimkan data kegiatan di sekitarmu ke kontak@spektakel.id

Menulis Untuk Kami

Editor: Redaksi