Home > Eksplorasi >
Festival Mbok Sri Mulih; Merayakan Petani dan Hati
Festival Mbok Sri Mulih; Merayakan Petani dan Hati
Anggap saja festival ini adalah sebuah proyek besar yang ditawarkan kepada warga untuk digarap bersama-sama; sebuah ajang untuk menguatkan nilai-nilai guyub rukun khas masyarakat pertanian yang semakin kemari cenderung luntur.
“Kita harus bantu festival ini", begitu kalimat singkat yang keluar dari mulut kolega kami, Citra Megasari, sekembalinya ke ibukota dari perjalanannya ke Yogyakarta kemudian mampir ke Delanggu, Klaten, untuk melihat acara Festival Mbok Sri Mulih (FMSM) 2018. Citra memang terkenal pelit omongan dan skeptis, jadi ucapan singkat itu saya langsung tangkap sebagai sesuatu yang serius baginya. Saya manggut-manggut ketika ia selesai mengucapkan kalimat singkat itu, menunggu kelanjutan penjelasan yang tak kunjung tiba, hanya raut cengar-cengirnya.
Singkat cerita, setelah banyak usaha untuk membuat Citra bisa menceritakan latar dari ucapannya, FMSM adalah festival yang merayakan budaya pertanian di Desa Delanggu. Diinisasi oleh Sanggar Rojolele yang didirikan oleh Eksan Hartanto (29) sekaligus penggagas festival ini, FMSM diselenggarakan pertama kali tahun 2017. Eksan yang sebelumnya merantau ke Batam dan menjadi buruh pabrik selama 8 tahun, aktif di organisasi serikat buruh. Ia kemudian memutuskan pulang ke desa dan membawa semangat aktivisme yang sudah tercetak kuat di relung hatinya. Maka, lahirlah Sanggar Rojolele sebagai wadah dan FMSM sebagai implementasi idenya soal mengatasi persoalan pertanian di Delanggu.
Delanggu bukan sekadar daerah di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sejarah panjang dan penting tercatat di daerah ini. Klaten dijuluki gudang seribu mata air dan penyangga pangan dari daerah Jawa Tengah. Mata air, atau umbul dalam bahasa lokal, berasal dari melimpahnya aliran air bawah tanah lereng Merapi yang mengarah ke timur.
Tampakan pabrik gula yang kemudian diubah fungsi menjadi pabrik karung goni dengan kapasitas produksi terbesar se-Asia Tenggara pada masa jayanya. Sumber foto: KLTV.
Tengah abad ke-18, Belanda membangun pabrik gula dengan kapasitas besar, salah satunya di Delanggu. Setelah sekian lama Pabrik Gula Delanggu berjaya, krisis malaise yang melanda Eropa pada tahun 1930 berdampak pada produksi gula yang berlimpah, namun tidak berbalas ketersediaan pasar yang memadai di Eropa. Tiga tahun krisis malaise berjalan, Pabrik Gula Delanggu pun akhirnya ditutup. Penanaman tebu dialihkan ke rami atau rossela, bahan baku utama pembuatan karung goni. Pabrik gula diubah menjadi pabrik karung goni yang kemudian berkembang menjadi sentra produksi karung goni terbesar se-Asia Tenggara.
Babak selanjutnya, Jepang mengganti perkebunan rami Delanggu menjadi pertanian padi. Bulir-bulir padi premium berbalut karung goni didistribusikan ke barak-barak tentara dan ketika pabrik karung goni dinasionalisasi pada tahun 1945, beras Delanggu kadung tenar di pasar-pasar seantero Nusantara, utamanya beras harum Rojolele. Hingga medio 80-an, nama beras Rojolele dari Delanggu adalah jaminan mutu beras berkualitas wahid.
Tampilan bekas pabrik goni di Delanggu. Masih banyak bangunan bersejarah di Delanggu yang ditelantarkan. Sumber foto: Sanggar Rojolele.
Sejarah panjang pabrik tidak mungkin diluputkan dari sejarah manusianya, yaitu para buruh. Eksploitasi buruh tani di Delanggu tidak hanya terjadi di era kolonial. Pada tahun 1948, buruh-buruh tani Delanggu yang tergabung dalam Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) di bawah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) melakukan mogok kerja terbesar dan terpanjang yang mewarnai sejarah awal pascakemerdekaan Indonesia. Mogok kerja sepanjang Mei hingga Juli 1948 ini mencuatkan nama Delanggu: daerah terpencil yang menggulirkan sebuah "masalah" nasional.
Ketika Orde Baru menjalankan Revolusi Hijau melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan menerapkan apa yang disebut dengan Lima Panca Usaha Tani (bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan, irigasi, dan pemberantasan hama), para petani "dipaksa" menggunakan pupuk kimia - yang di kemudian hari terbukti memakan habis hara tanah - dan menanam bibit “unggul” - yang menyingkirkan varietas bibit lokal, termasuk bibit Rojolele yang masyhur. Menurut Eksan, kini Rojolele sekedar cap di karung, mengandung beras yang bukan beras dari bibit Rojolele asli.
Delanggu pernah berjaya dengan produksi beras Rojolele yang terkenal seantero Nusantara. Kini nama Rojolele sekedar cap di karung beras. Sumber foto: Sanggar Rojolele.
Tumpukan masalah pertanian di desa kelahiran, membuat Eksan yang juga petani, menjadi gundah. Bara api aktivis yang ia tempa selama menjadi buruh pabrik, membuncah. Ia menyaksikan bagaimana mayoritas penduduk desanya adalah buruh lahan yang tak bermodal selain otot serta keringat. Regenerasi mandek, karena pemuda macam dirinya lebih memilih minggat untuk menjadi buruh di kota besar. Serakan sejarah kejayaan Delanggu yang ia baca, menghantui dirinya setiap saat.
Cerita itulah yang dibawa Citra dari Delanggu kepada kami. Citra berpendapat bahwa FMSM adalah festival yang selayaknya dibantu oleh Spektakel, dalam bentuk apapun. Citra tidak salah, karena festival semacam FMSM adalah DNA Spektakel. Maka, saya minta dikenalkan ke Eksan.
Dari Mata Turun ke Hati Turun Lagi ke Festival
“Eh, Dim, sebenernya gue ama Eksan pacaran dan mau nikah", ujar Citra sembari cengar-cengir.
“Jadi waktu lu dua bulan lalu bilang kita mesti bantu FMSM, sebenernya lu udah ada urusan hati ama tuh anak"? tanya saya.
“Iye", balasnya dengan logat Betawi Bekasi yang kental, sembari ketawa.
Ok, sekarang festival ini bukan sekadar urusan ideologi, tapi juga jadi urusan hati. Pada saat itu, komunikasi saya dengan Eksan mulai intens. Ia mengirimkan arsip festival untuk saya pelajari. Saya pun sudah memberikan beberapa catatan untuk diverifikasi. Selanjutnya, kami bertemu untuk bersama membahas akan seperti apa festival tahun ini berjalan.
Areal persawahan di Delanggu. Sumber foto: Sanggar Rojolele.
Salah satu pokok bahasan kami mengenai jalur festival seni budaya dipilih untuk mewujudkan gagasan penguatan petani dan pertanian Delanggu. Festival ini dimaksudkan sebagai kendaraan Sanggar Rojolele untuk mencapai visi dan misinya: membangun kedaulatan petani Delanggu. Anggap saja festival ini adalah sebuah proyek besar yang ditawarkan kepada warga untuk digarap bersama-sama; sebuah ajang untuk menguatkan nilai-nilai guyub rukun khas masyarakat pertanian yang semakin kemari cenderung luntur. Ketika semakin guyub dan rukun, semoga para petani bisa bergerak bersama untuk memperbaiki nasib.
Ketika kita berbicara tentang nilai seni dan budaya, kita harus mulai secara intrinsik: bagaimana seni dan budaya menerangi kehidupan batin, serta memperkaya dunia emosional. Dalam hal ini, FMSM ingin menunjukkan manfaat seni budaya pada kesejahteraan sosial, kesehatan fisik dan mental, sistem pendidikan, status nasional dan ekonomi dalam konteks agraris.
Festival Mbok Sri Mulih 2019 dibuka dengan pengajian dan dzikir. Sumber foto: Sanggar Rojolele.
Hal tersebut bisa digapai dengan kerja-kerja riset dan observasi yang terus diperbaharui mengikuti dinamika masyarakat. Programasi yang dibangun tidak sekadar menampilkan pertunjukan (dalam artian luas) yang berjarak dengan (calon) pengunjung atau bahkan masyarakat sekitarnya. Maka, keterlibatan warga menjadi pondasi penting dalam festival ini.
Lahirlah ide-ide program seperti Dapur Simbok, program memasak kuliner khas Delanggu di dapur warga yang berkenan dijadikan lokasi program. Sambil memasak, juru masak yang mayoritas mbah-mbah bercerita mengenai makanan-makanan ini. Lahir pula inisiatif warga untuk membentuk grup ketoprak humor yang semenjak penulisan cerita, penyutradaraan, dan hingga pentasnya digarap oleh warga Delanggu. Grup ini dinamakan Sri Kuncoro Budoyo. Setelah festival mereka bersepakat meneruskan grup ini menjadi resmi.
Dapur Simbok, program yang melibatkan warga dengan 'menyumbangkan' dapur rumah mereka sebagai lokasi program memasak kuliner khas Delanggu seperti lumpia duleg. Sumber foto: Sanggar Rojolele.
Untuk pertama kalinya, di festival ini diadakan lomba cerdas cermat yang melibatkan kelompok tani, pandai besi, serta pedagang. Program pemutaran film layar tancep yang bekerja sama dengan Sangkanparan dari Cilacap, memutarkan film hasil pelatihan yang didampingi oleh Rumah Dokumenter Klaten.
Ritual wiwitan tetap menjadi tulang utama festival ini. Warga Delanggu berkumpul, mengarak gunungan padi, hasil bumi, dan ogoh-ogoh dalam kirab wiwitan. Ritual ini rasa syukur kepada semesta dan memohon restu alam agar panen serta musim tanam berikutnya diberkahi.
Warga Delanggu berkumpul untuk mengikuti ritual kirab wiwitan. Gunungan padi serta hasil alam dibawa berkeliling sebelum tiba di senthong, rumah tetua adat untuk kemudian dibagikan ke warga.
Setelah mempersembahkan doa di petak sawah, gunungan padi, hasil bumi, dan ogoh-ogoh dibawa ke rumah sesepuh adat desa untuk disimpan di dalam kamar Dewi Sri atau disebut senthong dalam bahasa lokal. Sego wiwit dibagikan kepada masyarakat, dan ogoh-ogoh diarak ke lapangan tempat acara utama, kemudian akan dibakar di malam hari sebagai simbol pengusiran malapetaka.
Klise Memang, Tapi Uang Bikin Goyang
“Mas Dim, sampai hari ini belum ada dana yang masuk untuk festival tahun ini," begitu pesan singkat Eksan melalui WhatsApp. Saya lupa balas seperti apa, tapi cukup yakin bila balasan saya tidak jauh-jauh dari saran "minum ciu, bawa santai".
Seperti halnya mayoritas festival di Indonesia, FMSM tidak imun dari perkara finansial. Sejak persiapan, Eksan mengabarkan bahwa ada beberapa sponsor-sponsor lokal menyatakan akan mendukung festival, begitu pula perangkat desa bahkan hingga dinas tingkat kabupaten.
Prosesi wiwitan, ritual mempersembahkan puji syukur kepada alam dengan harapan panen mendapatkan berkah. Sumber foto: Sanggar Rojolele.
Soal sponsor, FMSM punya pengalaman buruk di tahun 2018. Mendapatkan sponsor dari sebuah dealer motor dengan jumlah uang tidak seberapa, tetapi di penyelenggaraan sponsor ini mengkooptasi acara habis-habisan. Kecewa tidak terkira tentunya, jiwa festival terasa hilang tergerus kepentingan sponsor.
Di sisi lain, Sanggar Rojolele selalu mendapatkan janji-janji yang membumbung hati dari pejabat desa hingga kabupaten, soal pendanaan atau fasilitas-fasilitas. Kalimat saktinya adalah “kami anggarkan untuk tahun depan”. Tahun ini pun tiada beda.
Ketoprak humor Sri Kuncoro Budoyo, terbentuk dari inisiatiif warga Delanggu untuk mengisi program festival. Warga sepakat untuk menjadikan grup ini sebagai grup resmi. Sumber foto: Sanggar Rojolele.
“San, ini ada acara Kemah Budaya Kaum Muda. Coba kalian daftar," begitu pesan saya lewat WhatsApp. Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM) ini adalah hajat milik Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud. KBKM mengumpulkan dan memilih beberapa kelompok anak muda yang diminta untuk membuat proposal proyek teknologi, kegiatan, dan seterusnya. Acaranya diadakan di area Candi Prambanan.
Ogoh-ogoh diarak warga ke tengah lapangan, di malam hari ogoh-ogoh dibakar sebagai simbol pengusiran roh jahat yang bisa mengganggu panen. Sumber foto: Sanggar Rojolele.
Tanpa ada tendensi berlebih, mendaftar dan ikut KBKM maksudnya untuk menambah pengetahuan dan jaringan saja, itu pun bila Sanggar Rojolele terseleksi. Ndilalah ya terpilih ikut serta. Anak-anak langsung sibuk dengan segala macam persiapan administrasi hingga materi presentasi. Singkat cerita, Sanggar Rojolele bahkan terpilih sebagai kelompok dengan proposal terbaik di kategorinya. Saat itu Sanggar Rojolele membawa proposal mereka tentang FMSM. Prestasi ini diganjar dengan hadiah uang 30 juta rupiah potong pajak.
Hadiah itulah yang menjadi bahan bakar cair utama untuk menjalankan festival tahun ini. Ditambah dengan dukungan dari Direktorat Wardibudaya Kemendikbud dan sokongan kanan-kiri, FMSM kali ini bisa terselenggara tanpa membuat kantung Eksan yang sedari awal memang tak dalam, dirogoh paksa.
Pertunjukan tari, satu dari sekian banyak program yang diselenggarakan tahun ini. Warga dengan antusias mengikuti semua kegiatan. Sumber foto: Sanggar Rojolele.
Sebelum rombongan berangkat ke acara KBKM, di grup WhatsApp kami terjadi perbincangan singkat dan padat:
“Mas, mohon doa restu. Besok berangkat ke acara.”
“Iyo," balas saya singkat.
“Kira-kira apa lagi yang mesti kami siapkan atau bawa?”
“Muksin suruh bawa ciu."
“Berapa mas?”
“Banyak. Minimal 10 liter."
“Siap."
Kemudian Kembali Nandur
Sebulan sudah sejak FMSM selesai digelar, letihnya masih tersisa. Tampaknya semua urusan administrasi dan keuangan sudah kelar digarap. Menurut pengakuan Eksan, dana penyelenggaraan masih bisa menyisakan sedikit untuk kas sanggar, sesuatu yang membedakan festival kali ini dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dalam proses persiapan selanjutnya, kami sudah berbincang program-program apa yang sekiranya bisa dijalankan oleh Sanggar Rojolele sebagai jembatan untuk festival tahun depan. Mendampingi grup ketoprak dan keroncong warga Delanggu untuk latihan rutin, sebagaimana latihan tari anak-anak desa, adalah program yang sudah jelas tampak di depan mata.
Program Jagongan Tani, tahun ini mengundang pakar koperasi Indonesia, Suroto, untuk memberikan pengetahuan dasar mengenai pendirian serta pengelolaan koperasi. Sumber foto: Sanggar Rojolele.
Mimpi membangun koperasi tani akan dimulai dengan sebuah eksperimen: tahun ini Spektakel dan Sanggar Rojolele akan menyewa tanah untuk lahan bertani palawija yang akan dikelola oleh Sanggar Rojolele. Hasil panen akan djual dan keuntungannya akan digunakan sebagai modal tanam berikutnya dan sisa uangnya jadi kas sanggar untuk menjalankan program sekaligus menabung untuk penyelenggaraan festival tahun depan.
Tidak ada skema yang canggih, semua dijalankan sesuai takaran kemampuan. Lebih jauh lagi, tidak mengingkari jati diri sebagai petani. Papat tancep, wolu mupur, rolas ngesat, nembelas nembe tukule bakal las. Terjemahan bebasnya: semua butuh proses.
Catatan tambahan: Eksan dan Citra menikah awal Desember tahun lalu dan sekarang sedang menunggu kelahiran anak pertama mereka. Tulisan ini dibuat pada bulan November 2019.