Home > Sorotan > Ritual Adat >
Tradisi Perlon Unggahan Banokeling Pada Masa Pandemi
Tradisi Perlon Unggahan Banokeling Pada Masa Pandemi
Ritual Perlon Unggahan yang biasanya dihadiri ribuan orang, kali ini dilaksanakan dengan sederhana. Suasana prihatin menyelimuti prosesi tahun ini, anak cucu Banokeling diminta untuk tidak pulang - sebuah keputusan yang berat namun harus diambil untuk kepentingan bersama.
Di Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, terdapat sebuah desa yang memiliki tempat khusus di masyarakat Banyumas. Desa Pekuncen, 2 kilometer dari jalan utama Margasana-Jatilawang, tempat tinggal anak cucu Ki Banokeling. Warga di desa ini akrab disebut warga Banokeling dan mereka ada keturunan langsung Ki Banokeling yang asal-usulnya menjadi rahasia dari anak cucu keturunan langsung.
Dua pendapat umum seputar kerahasiaan identitas Ki Banokeling. Pertama, kerahasiaan identitas dan asal-usul adalah bagian dari wasiat dari Ki Banokeling sendiri kepada keturunannya. Kedua, kerahasiaan tersebut sesungguhnya bersumber dari ketidaktahuan yang dilegitimasi sebagai bagian dari “uger-uger” atau peraturan adat Banokeling. Hal ini disebabkan ilmu pengetahuan di kalangan warga Banokeling diturunkan secara oral, hingga hari ini.
Para keturunan Banokeling mempercayai bila berinteraksi dengan sesama manusia serta alam, adalah wujud dari interaksi dengan Tuhan itu sendiri. Dok: Kukuh Sukmana.
Kyai Banokeling mengajarkan lima hal tentang kehidupan bagi pengikutnya. Ajaran yang pertama adalah monembah yang berarti manusia dianjurkan beribadah dan menyembah kepada Tuhan sesuai keyakinan masing-masing.
Kedua adalah moguru yaitu patuh terhadap perintah orang tua. Ketiga, ajaran mongabdi yang berarti saling menghargai dan menjalin hubungan antar sesama manusia. Keempat, ajaran makaryo yang berarti berkerja, sebab tanpa bekerja manusia tak bisa mendapatkan penghasilan yang dapat menunjang kehidupannya di dunia.
Dan ajaran yang terakhir adalah manages manunggaling kawula Gusti, yang artinya hubungan manusia dengan Tuhan tidak melalui perantara apapun seperti beberapa agama yang memiliki utusan atau rasul.
Dalam keyakinan Banokeling, setiap orang yang lahir di muka bumi adalah titipan Tuhan. Oleh karena itu, dalam berinteraksi dengan Tuhannya bersifat langsung tanpa perantara. Keunikan dalam kepercayaan Banokeling adalah para pengikutnya hanya mengenal syahadat, puasa, dan zakat saja. Mereka tidak melakukan shalat secara fisik dan berhaji ke tanah suci.
Dalam ritualnya, trah Banokeling mengutamakan kerja kolektif. Dok: Kukuh Sukamana.
Bagi para penganut kepercayaan Banokeling, perilaku sehari-hari seperti berinteraksi dengan sesama manusia dan bercocok tanam sudah merupakan wujud interaksi pada Tuhan, karena hal tersebut dianggap sebagai proses mengisi kehidupan dengan kehidupan pula.
Desa Pekuncen punya desa saudara di Cilacap, Desa Adiraja - sesama keturunan sekaligus penganut ajaran Ki Banokeling. Warga Banokeling melaksanakan berbagai ritual yang berkaitan dengan tahap daur kehidupan seperti kelahiran, pernikahan, kematian dan ritual berhubungan dengan hari-hari tertentu dalam sistem kalender Jawa serta ritual yang berkaitan dengan lingkungan sosial dan alam seperti ritual bersih desa serta penggarapan lahan pertanian.
Salah satu ritual yang mereka lakukan adalah Perlon Unggahan yang dilaksanakan seminggu sebelum masuk bulan Ramadhan. Ritual ini biasanya dilakukan pada pagi hari saat matahari baru muncul, dengan memulai dengan melakukan caos bekti yang berarti salam penghormatan pada para tokoh pemangku yang paling dihormati dalam rumah adat pasemuan.
Kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki dari Desa Adiraja, Cilacap menuju Desa Pekuncen, Banyumas. Jaraknya kurang lebih 20 kilometer. Ritus ini adalah simbol napak tilas perjalanan Ki Banokeling saat menyebarkan ajarannya. Sembari berjalan, beberapa warga memanggul wadah yang berisi sesaji dan uba rampe yang berisi hasil panen dari ladang dan ternak mereka sebagai persembahan rasa syukur.
Berjalan puluhan kilometer sambil membawa uba rampe yang berisikan hasil bumi. Dok: Kukuh Sukmana.
Pada siang harinya, kaum pria Banokeling berbondong-bondong menyembelih dan memasak kambing bersama-sama. Disaat para pria sibuk menyembelih dan memasak, ratusan perempuan memasuki makam Kyai Banokeling satu persatu dengan khidmat. Para perempuan membasuh anggota badan satu persatu, mulai dari kaki, tangan, hingga wajah sambil mengucap doa atau mantra yang dipercaya akan membawa keberkahan.
Para perempuan trah Bonokeling ketika mengikuti prosesi. Dok: Kukuh Sukmana.
Seluruh ritual tersebut diikuti hingga ribuan orang, dari warga desa, keturunan trah Banokeling yang tinggal di luar kota - khusus pulang untuk mengikuti seluruh prosesi, hingga masyarakat umum yang datang untuk menyaksikan. Bila tetua adat mengizinkan, maka orang yang bukan keturunan langsung trah Banokeling dapat mengikuti prosesi Perlon Unggahan dengan mengikuti aturan yang berlaku. Misalnya, kaum pria wajib mengenakan pakaian adat Jawa dengan ikat kepala, dan kaum wanita hanya memakai kemben (kain jarit) dengan selendang berwarna putih.
Suasana Berbeda
Tahun ini suasana Perlon Unggahan sangat berbeda. Desa Pekuncen tak luput dari kewaspadaan akan pagebluk Covid-19 yang sedang melanda. Sumitro, juru kunci Banokeling menjelaskan bila ia harus menjelaskan kepada seluruh sesepuh Banokeling tentang kondisi pagebluk yang sedang terjadi.
Dikutip dari Gatra.com, Sumitro menerangkan bila tahun ini keseluruhan prosesi hanya diwakili oleh 12 tetua adat, terdiri dari Kyai Kunci [pemimpin] dan Kyai Bedogol [tetua Banokeling] serta para wakilnya. Rangkaian acara mulai Kamis (16/4) malam, hanya doa biasa di Balai Pasemuan. Jumat (17/4) pagi, kasepuhan ziarah ke Makam Banokeling untuk mewakili seluruh anak putu yang tidak hadir. Potong kambing juga hanya satu ekor untuk persyaratan saja.
Warga Banokeling memutuskan untuk mengikuti anjuran pemerintah untuk menghindari keramaian. Dok: Setyo Nurdiono.
Walaupun sepi, warga Banokeling tetap menerima kenyataan bila ritual Perlon Unggahan tahun ini dijalankan seadanya. Dok: Setyo Nurdiono.
Spektakel menghubungi Setyo Nurdiono selaku asisten pribadi Juru Kunci Kasepuhan Banokeling. Ia menjelaskan bila ritual tahun ini dilaksanakan setelah berdialog dengan pihak pemerintah kabupaten dan kecamatan.
"Dalam dialog tersebut dicapai kesepakatan bila ritual Perlon Unggahan ini tetap bisa dilaksanakan, namun dengan meniadakan keramaian. Alhasil, warga desa pun segera menjelaskan kepada keluarga mereka yang tinggal di luar kota untuk tidak pulang, cukup diwakilkan saja", jelasnya.
Perempuan Banokeling biasanya mengenakan jarit dengan selendang putih selama prosesi ritual Perlon Unggahan, tahun ini tidak mengenakannya. Dok: Setyo Nurdiono.
Suasana khidmat tetap terasa, malah bisa dibilang lebih khusyuk. Dok: Setyo Nurdiono.
Para sesepuh desa mengaku sedih dengan kondisi ini. Bagaimanapun, ritual ini merupakan pengejawantahan dari identitas mereka. Warga Bonokeling dipersatukan dalam kekerabatan yang kuat, dan Perlon Unggahan adalah salah satu simbol utama dari kekerabatan tersebut.
Warga Banokeling turut waspada selama masa pandemi ini. Dok: Setyo Nurdiono.
Berdoa kepada Gusti Allah untuk keselamatan bersama. Dok: Setyo Nurdiono.
Walau pun demikian, Setyo menjelaskan bila warga Bonokeling dapat memahami kondisi sulit ini. Mereka tetap patuh pada anjuran pemerintah, terlebih untuk kebaikan bersama.
"Seluruh prosesi berjalan dengan baik dan lancar, terasa lebih khidmat serta khusyuk. Hitung-hitung, Perlon Unggahan tahun ini bisa jadi doa kami untuk keselamatan kita bersama dalam menghadapi pagebluk corona.", ungkap Setyo menutup obrolan.