Logo Spektakel

Home > Budaya & Teknologi > Tradisi >

Khaul Web3 Untuk Seni Budaya Indonesia

Khaul Web3 Untuk Seni Budaya Indonesia

Indonesia, dengan kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, adalah rumah bagi salah satu budaya yang paling beragam dan kaya di dunia. Dari pola batik yang rumit di Jawa hingga artefak Palindo yang sudah berusia ratusan tahun, dari tarian tradisional Bali hingga musik calung, setiap daerah memiliki ekspresi seni yang unik yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, meskipun memiliki warisan budaya yang begitu kaya, seni dan budaya tradisional di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan yang mengancam keberlanjutan dan perkembangannya di era modern.

Ketika globalisasi, urbanisasi, dan digitalisasi terus membentuk masyarakat, seni tradisional Indonesia semakin sulit menemukan tempatnya di lansekap kontemporer. Di saat yang sama, teknologi baru seperti Web3 dan blockchain menawarkan potensi yang menarik untuk menghidupkan kembali perkembangan budaya Indonesia. Namun, dapatkah teknologi ini benar-benar menjadi solusi atas masalah yang dihadapi oleh seniman tradisional Indonesia, atau apakah teknologi ini akan tetap sulit dijangkau bagi banyak orang?

Keadaan Seni & Budaya Tradisional di Indonesia

Seni dan budaya tradisional Indonesia sangat kaya, tetapi mereka menghadapi banyak tantangan dalam dunia yang semakin terhubung dan digital. Para seniman tradisional sering kali tinggal di daerah pedesaan dan bergantung pada patronase lokal, yang membatasi jangkauan mereka ke pasar yang lebih luas. Banyak yang kesulitan dengan minimnya pendanaan dan akses terhadap pendidikan atau pelatihan yang bisa membantu mereka memodernisasi praktik mereka. Selain itu, generasi muda yang dipengaruhi oleh budaya pop global semakin menunjukkan minat yang menurun terhadap bentuk seni tradisional, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa banyak dari praktik ini bisa hilang.

Reog Ponorogo merupakan salah satu bentuk pertunjukan seni tradisional yang "beruntung" karena dijadikan salah satu ikon pariwisata lokal. Meski demikian, pengembangannya bentuk kesenian ini juga masih belum tereksplorasi dengan optimal. Pun keberlangsungan ekonominya. 

Dari sisi ekonomi, seni tradisional sering kali kurang dihargai. Sementara seniman kontemporer mungkin menemukan jalan menuju kesuksesan komersial melalui galeri, sponsor, atau platform digital, seniman tradisional sering kali kesulitan mencari nafkah. Karya mereka lebih dianggap sebagai "warisan budaya" daripada sesuatu yang bisa berkembang atau menghasilkan pendapatan yang berarti. Pasar seni tradisional cenderung bersifat sangat niche, melayani wisatawan atau acara budaya tertentu, yang menawarkan keberlanjutan finansial yang terbatas.

Masalah akses juga sangat krusial. Banyak seniman tradisional Indonesia berada di daerah terpencil, jauh dari pusat-pusat urban seperti Jakarta atau Bali, di mana pasar seni dan pariwisata berkembang. Akibatnya, mereka memiliki sedikit interaksi dengan audiens kontemporer, sehingga karya mereka tetap terisolasi dan kurang diapresiasi oleh publik yang lebih luas. Logistik untuk menghubungkan seniman-seniman ini dengan calon pembeli, baik di dalam maupun luar negeri, menambah lapisan kompleksitas tersendiri.

Singkatnya, seni dan budaya tradisional Indonesia, meskipun indah dan kaya sejarah, berisiko menjadi sekadar artefak ketimbang menjadi ekspresi hidup dan berkembang dari identitas bangsa. Masalah inti yang dihadapi adalah keberlanjutan—baik dari segi relevansi budaya maupun kelayakan ekonomi.

Patung Palindo merupakan salah satu artefak kebudayaan ktia yang upaya preservasinya mungkin sekali menggunakan teknologi blockchain untuk penggalangan dana terkait program, riset sejarah, ataupun kampanye pariwisata di daerah tersebut. 

Era Digital dan Keterputusan dengan Seni Tradisional

Sementara revolusi digital telah menyapu Indonesia, membuka jalan bagi kreativitas baru di sektor seperti musik, film, dan seni visual kontemporer, seni tradisional sebagian besar tertinggal. Platform media sosial seperti Instagram dan YouTube telah memberi seniman kontemporer audiens global, sementara seni tradisional tidak menikmati akses yang sama karena keterbatasan pengetahuan, teknologi, dan isolasi geografis.

Hal ini menciptakan kesenjangan digital yang signifikan. Di satu sisi, seniman kontemporer mampu memanfaatkan media baru dan alat digital untuk memperluas jangkauan mereka dan meningkatkan audiens. Di sisi lain, seniman tradisional sering kali kesulitan untuk mempertahankan visibilitas bahkan di dalam negeri, apalagi di skala global.

Selain itu, komersialisasi seni di ruang digital—melalui galeri, pameran, dan platform online—belum cukup memasukkan bentuk seni tradisional. Pasar untuk seni digital sedang booming, tetapi banyak seniman tradisional tidak dapat ikut serta karena keterbatasan literasi teknologi atau persepsi bahwa karya mereka tidak cocok dengan tren modern.

Salah satu karya seni digital dari Mike Winkelmann yang juga dikenal sebagai Beeple. Karya ini dibuat dalam serial berjudul "Everydays: the First 5000 Days" yang terdiri dari 5.000 karya seni digital dan juga dirilis dalam bentuk NFT yang laris diboyong dengan bandrol US$ 69,3 juta. 

Khaul Web3 untuk Seni dan Budaya Indonesia

Di tengah tantangan-tantangan ini, teknologi Web3 muncul sebagai potensi game-changer bagi seni dan budaya tradisional Indonesia. Web3, yang mencakup blockchain, platform terdesentralisasi, dan token non-fungible (NFT), menawarkan peluang bagi seniman untuk mengambil kembali kepemilikan atas karya mereka, menjangkau audiens baru, dan memonetisasi kreasi mereka dengan cara yang inovatif.

Inti dari teknologi blockchain adalah penyediaan catatan kepemilikan yang terdesentralisasi, transparan, dan tidak dapat diubah. Bagi seniman tradisional, ini bisa sangat berharga. Salah satu tantangan yang terus-menerus dihadapi di pasar seni tradisional adalah masalah keaslian—bagaimana pembeli bisa yakin bahwa batik atau wayang kulit yang mereka beli asli? Teknologi blockchain dapat menciptakan sertifikat keaslian digital, memastikan bahwa setiap karya seni tradisional dapat ditelusuri kembali ke penciptanya.

Selain itu, NFT menawarkan jalan baru yang menarik bagi seniman untuk memonetisasi karya mereka. NFT adalah aset digital yang mewakili kepemilikan atau bukti keaslian suatu item unik, sering kali terkait dengan karya seni. Melalui NFT, seniman tradisional dapat memperluas ke dunia digital tanpa harus sepenuhnya mendigitalkan praktik mereka. Misalnya, seorang pemahat kayu tradisional dapat membuat NFT yang terkait dengan setiap ukiran fisik, memungkinkan kolektor memiliki versi digital dan fisik dari seni tersebut. Model ini tidak hanya memodernisasi praktik tradisional, tetapi juga membuka pasar global bagi karya mereka.

Web3 juga memungkinkan seniman untuk mempertahankan kontrol yang lebih besar atas pendapatan mereka. Banyak seniman tradisional bergantung pada perantara, seperti galeri, dewan pariwisata, atau institusi budaya, yang mengambil sebagian besar dari pendapatan penjualan. Di lingkungan Web3, seniman dapat langsung berinteraksi dengan kolektor dan audiens, melewati penjaga gerbang tradisional dan mendapatkan lebih banyak dari karya mereka.

Tantangan Adopsi Web3 bagi Seniman Tradisional

Namun, adopsi teknologi Web3 oleh seniman tradisional Indonesia bukan tanpa tantangan. Masalah yang selama ini mengisolasi seniman tradisional—jarak geografis, kurangnya akses terhadap teknologi, dan keterbatasan literasi digital—adalah hambatan yang sama yang bisa menghalangi adopsi Web3 secara luas.

Banyak seniman tradisional belum akrab dengan teknologi blockchain atau NFT, dan kurva pembelajarannya bisa sangat curam. Dibutuhkan pendidikan dan sosialisasi yang signifikan untuk mengajarkan mereka cara membuat NFT, menavigasi platform digital, dan berinteraksi dengan kolektor global. Selain itu, infrastruktur untuk Web3 masih berkembang di Indonesia. Meskipun pusat-pusat perkotaan mulai mengadopsi blockchain, banyak daerah pedesaan yang belum memiliki konektivitas internet atau infrastruktur teknologi yang memadai.

Pun masalah kepercayaan. Seniman tradisional, yang mungkin sudah skeptis berurusan dengan pasar komersial, bisa saja merasa ragu untuk memasuki dunia aset digital dan blockchain. Mengatasi skeptisisme ini memerlukan pendekatan yang hati-hati, memastikan bahwa manfaat Web3 dikomunikasikan dengan jelas dan transparan.

Akhirnya, ada isu tentang persepsi pasar. Meskipun ruang NFT dan blockchain sedang berkembang, sebagian besar masih didominasi oleh seniman digital kontemporer. Seni tradisional, terutama dari daerah terpencil, mungkin kesulitan menemukan permintaan yang sama kecuali ada upaya signifikan untuk menumbuhkan minat di kalangan kolektor dan investor.

Di saat dunia seni kontemporer bergeliat seiring sejalan dengan perkembangan teknologi, kelompok-kelompok seni tradisional serta masyarakat yang mempraktikkannya—termasuk juga masyarakat adat kesulitan untuk turut mengadaptasi hal tersebut. Dibutuhkan kerja bersama antara berbagai pihak untuk bisa mewujudkan upaya pemajuan kebudayaan yang sinergis dan berkelanjutan. 

Langkah Ke Depan: Pendekatan Persilangan

Masa depan seni dan budaya tradisional Indonesia terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi sambil mempertahankan nilai-nilai esensinya. Web3 menawarkan jalan yang menjanjikan untuk menciptakan peluang ekonomi baru bagi seniman tradisional, tetapi itu tidak bisa menjadi solusi yang seragam. Sebaliknya, pendekatan hibrida—yang menggabungkan kekuatan dunia fisik dan digital—mungkin bisa menjadi kunci keberhasilan.

Misalnya, institusi budaya, pemerintah, dan kolektif kreatif dapat bekerja sama untuk menciptakan platform yang membantu seniman tradisional bertransisi ke Web3 sambil tetap menjaga integritas praktik mereka. Festival dan pameran yang menggabungkan seni fisik dan digital dapat menunjukkan bagaimana budaya tradisional bisa berkembang di era digital. Program pendidikan dapat memberdayakan seniman dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menavigasi dunia baru ini.

Alhasil, meskipun Web3 bukan tanpa tantangan, teknologi ini menawarkan cara baru yang menarik untuk melestarikan, mempromosikan, dan memonetisasi seni dan budaya tradisional Indonesia di dunia yang terus berubah. Dengan memanfaatkan keuntungan teknologi blockchain dan NFT, seniman tradisional dapat menjangkau audiens baru, mengamankan mata pencaharian mereka, dan memastikan seni mereka tetap menjadi bagian vital dari lansekap budaya Indonesia. Tentu, untuk mewujudkan visi ini, diperlukan upaya kolektif untuk mengatasi kesenjangan akses dan literasi digital, serta membangun infrastruktur yang mendukung.