Logo Spektakel

Home > Folklor >

Buto Ijo Menagih Janji

Buto Ijo Menagih Janji

Di suatu desa kecil, hidup seorang remaja perempuan yang cerdas nan tangkas. Timun Mas namanya. Ia hidup bersama ibunya, Mbok Srini, janda tua yang telah lama ditinggal mangkat sang suami.

Dilihat dari segi manapun Timun Mas tidak seperti gadis desa kebanyakan. Perangainya jauh dari kesan kemayu. Tak jarang ia ikut bermain bola di lapangan, meskipun setiap kali pula ia kena omel jika ketahuan. “Anak gadis kok main bola!” begitu jargon andalan ibunya.

Jika sudah begitu Timun hanya akan cengengesan sambil mencari-cari alasan agar tetap dibiarkan bermain. Seperti hari ini misalnya. Untuk kesekian kalinya Timun ketahuan si mbok gara-gara si Trisno salah oper dan bola melambung terlampau jauh hingga masuk pekarangan rumah Timun dan memecahkan pot bunga kesayangan si mbok.

“Timunnnnnnnnn!” Panggil Mbok Srini dari depan pekarangan. “Timun Mas! Pulang sekarang!”

Mendengar itu Timun hanya bisa menarik napas panjang. Belum apa-apa, omelan si mbok sudah terngiang di telinganya. Berkelit dari larangan main bola itu satu hal, tapi kalau sudah soal urusan koleksi kembang kesayangan si mbok itu perkara yang lain lagi. Timun akhirnya berjalan pulang. Langkahnya berat, tak lupa ia melontarkan lirikan tajam ke Trisno Yang dilirik cuma bisa mengkeret, salah tingkah.

***

Mbok Srini sebetulnya bukan pribadi yang keras. Tetapi memang hidupnya selalu gelisah, apalagi sejak kehadiran Timun Mas. Oleh karena itu ia sering gampang spaning. Padahal, Ia sayang betul dengan anak gadis semata wayangnya itu. Apalagi semakin hari Timun Mas tumbuh jadi remaja perempuan yang cemerlang. Rasa ingin tahunya selalu membuncah. Timun hobi bertanya. Ia bertanya apa saja kepada siapa saja sampai dapat jawaban yang memuaskan. Tak terkecuali buku-buku di taman bacaan habis dilahapnya. Mbok Srini selalu senang ketika melihat Timun bercerita tentang temuan-temuan barunya dengan mata berbinar.

Biar begitu, Timun memang sering membuatnya sakit kepala. Tak mudah mengomeli anak yang satu itu. Sudah keras kepala, otaknya encer pula, membuatnya acap berkelit dengan bantahan-bantahan yang membuatnya cuma bisa geleng-geleng. Seperti hari ini. Sebetulnya Mbok Srini sudah melarang Timun kelayapan di sore hari. Tapi ada saja seribu alasannya. “Di sekolah ada ujian sepak bola untuk pelajaran olahraga, kalau tidak ikut latihan nanti nilai Timun jelek, mbok. Nanti enggak bisa dapat bidik misi,” begitu katanya tadi sebelum berangkat sambil sudah menalikan sebelah alas kakinya. Si mbok pun akhirnya cuma bisa berpesan supaya ia jangan pulang terlampau sore.

Tak apalah, toh lapangan bola cuma tak jauh dari rumah. Kata Mbok Srini menenang-nenangkan hatinya yang memang kian gelisah akhir-akhir ini, jelang ulang tahun Timun ke-17. Ada yang mesti si mbok sampaikan ke putrinya itu…

PRANG!!

Dilalah, bola dari lapangan menyasar salah satu bunga kesayangan si mbok. Potnya hancur berantakan. Meski gondok, toh Mbok Srini lega. Ia jadi punya alasan menyuruh anak gadisnya pulang. Maka dipanggil lekas Timun Mas dengan suara paling galak. Supaya menurut anak keras kepala yang satu itu.

***

Timun Mas sampai ke rumah dengan langkah berat. Belum apa-apa kupingnya sudah panas. Akhir-akhir ini si mbok sedang gampang marah. Lebih dari biasanya. Si mbok juga belakangan sering melamun. Sering Timun memergoki ibunya itu menatap ke jauh ke arah hutan dengan pandangan cemas campur ngeri.

“Mbok, Timun pulang…” sapanya.

“Duduk. Sebentar lagi makanan siap,” balas Mbok Srini dingin. Tumben batin Timun. Biasanya kalo sudah begini pastilah si mbok sudah mrepet. Begitu makanan siap, mereka berdua makan. Ada hening yang janggal dan Timun tidak senang diperlakukan dingin begitu. “Mbok kenapa? Mbok marah sama Timun? Timun minta maaf…” katanya berusaha mencairkan suasana.

Mendengar itu Mbok Srini menarik napas panjang, berat. “Usiamu sebentar lagi 17 Timun, sudah mau jadi gadis. Jangan lagilah kamu keluyuran main bola dengan bocah-bocah desa. Ndak bagus dilihat orang,” ujar Mbok Srini. Masih sama dinginnya.

Yang diajak bicara cuma bisa tertegun. Melihat Timun sudah mau membantah, si mbok cepat-cepat menyambung. “Ujian sekolah juga sudah dekat, kamu baiknya belajar yang tekun sambil bantu-bantu si mbok ini di kebun ketimbang main-main saja sampai Maghrib. Mbok ini sudah tua, nduk,” suara Mbok Srini sedikit bergetar diakhir.

“Pokoknya mbok minta kamu sekali ini nurut. Mbok enggak mau kamu keluyuran sore-sore. Sebelum Maghrib kamu mesti sudah di rumah, titik,” tegas si mbok. Permintaan si janda tua tak bisa ditawar. Mendengar keputusan sepihak itu TImun bangkit berdiri dan masuk ke biliknya. Tanda protes ala kadarnya. Hati si mbok patah melihat anak gadis kesayangannya kecewa begitu. Tapi apa boleh buat, ia melakukannya demi keselamatan Timun Mas. Demi kedamaian hatinya. Seminggu lagi janjinya kepada diri sendiri. Seminggu lagi akan aku ceritakan semuanya ke Timun Mas.

***

Sepekan berlalu, Timun sedang membantu si mbok mengumpulkan singkong dan kayu bakar di kebun. Ia masih dongkol karena dipingit si mbok cuma gegara perkara pot kembang yang pecah. Biar begitu toh ia tetap menurut. Seperti permintaan si mbok, sekali ini ia menurut. Ia tidak keluyuran, ia belajar dengan tekun, ia membantu pekerjaan si mbok di kebun, dan yang paling penting ia pulang tepat waktu.

Akan tetapi bukan Timun Mas namanya jika ia tak “menghukum” balik si mbok. Maka ia mendiamkan Mbok Srini selama masa pingitnya. Omongan si mbok hanya digubrisnya sebentar lalu ia diam lagi. Perintah-perintah Mbok Srini tetap ia lakukan, meski dalam hening. Mbok mesti tahu yang dia lakukan ini tidak adil begitu pikir Timun Mas.

Sepekan sudah ia tidak bermain bersama teman sebayanya. Paling-paling ia hanya berpapasan sebentar dengan mereka di kebun, ngobrol sebentar dan sudah. Untuk membunuh bosan maka ia sering membawa satu-dua buku pinjamannya ke kebun. Di waktu rehatnya ia membaca ulang buku-buku usang yang separuhnya sudah ia hafal di luar kepala. Hari itu, seusai mengumpulkan kayu bakar dan singkong, Timun keasyikan membaca ulang komik Ko Ping Ho. Ia baru sadar waktu sudah larut ketika mendengar kumandang adzan. Sebentar ia panik sebelum akhirnya kembali santai. Biarlah sekali ini aku terlambat batin Timun. Ia pikir ini bisa jadi bukti mutlak ke Mbok Srini bahwa hukumannya sama sekali tak masuk akal. Lihat saja hari ini ia pulang telat tanpa membuat onar atau jadi bahan omongan.

Sementara itu di rumah Mbok Srini sudah keringat dingin menanti Timun Mas pulang. Hatinya kacau bukan main. Jangan-jangan… Ah tidak mungkin, ulang tahun Timun masih tiga hari lagi…

Jelang Isya, yang diharap-harap akhirnya kelihatan batang hidungnya. Si mbok jelas langsung menghardiknya. Pertengkaran pun pecah. Timun Mas mengatakan Mbok Srini tak masuk akal, dan Mbok Srini memanggil Timun Mas anak tak tahu diuntung. Setelah puas keduanya hanya bisa terdiam dan masuk ke bilik. Mereka tidur seranjang. Timun merapatkan tubuhnya ke dinding, menjaga jarak dari Mbrok Srini. Sementara Mbok Srini hanya bisa terbaring dengan hati yang semakin kacau. Semestinya hari itu ia menceritakan semuanya ke Timun Mas. Dari mana asalnya, dan apa yang sedang menantinya.

Waktu memasuki sepertiga malam ketika kantuk mulai mampir di pelupuk mata Mbok Srini. Di saat yang sama pintunya digedor kencang. “SRINI KELUAR!” Mendengar suara berat itu, Mbok Srini langsung terbelalak. Begitu pula Timun Mas yang langsung terjaga dan duduk di kasur. “Siapa itu, Mbok?” Timun Mas bertanya gusar. Mbok Srini hanya bisa menatapnya dengan nanar sambil menggeleng. “Kamu sembunyi di bawah dipan ya, nduk. Jangan bikin suara, apapun yang terjadi kamu diam di sana,” perintah si mbok. Suaranya sedikit bergetar tapi Timun membaca ketegasan Mbok Srini. Perempuan tua itu kemudian berjalan perlahan keluar sembari mengenakan kebaya dan merapikan rambutnya.

Di depan rupanya pintu sudah terbuka lebar. Ada sosok hijau tinggi besar yang berdiam di pelataran. Itu adalah sosok Buto Ijo, makhluk yang telah lama menghantui Mbok Srini. “Ah Srini di situ kau rupanya, apa kabarmu? Hahaha,” sosok itu menyapa Srini yang masih sembunyi di kegelapan. “Kenapa Srini? Ayo ke marilah sini. Apa kau tidak rindu dengan kawan lama?” Bujuknya menggoda.

“Mau apa kau ke sini Buto?” Hardik Mbok Srini cepat

“Ha! Apa mauku? Kau tahu apa mauku Srini. Mana anak gadisku?” Kata Buto tak sabar.

“Usianya belum genap 17 Buto, ia belum siap,” Mbok Srini mencoba mencari alasan.

“Apalah bedanya!” Seru Buto Ijo tak sabar. Rupanya ia tengah kelaparan. “Lagi pula ia sedang sakit, kelelahan membantuku di kebun, dagingnya tak akan enak sekarang. Kembalilah lusa, tepat seperti yang kita sepakati,” kata Mbok Srini.

Buto Ijo bisa saja memporak porandakan rumah Mbok Srini dan menculik Timun Mas saat itu juga. Tapi jika dipikir-dipikir lagi, tentu daging anak gadis yang sehat akan jauh lebih nikmat ketimbang saat sedang sakit. Ia pun berdamai dengan perutnya. Lebih baik menunggu dua hari lagi dan puas menikmati daging yang segar ketimbang kenyang hari ini, tetapi mesti menyantap daging alot. “Baiklah Srini, sesuai janji kita dahulu. Aku mau gadisku saat usianya genap 17 tahun. Kau buat dia lekas sehat, aku kembali lagi lusa,” kata Buto Ijo. Suaranya menggema seraya ia menghilang. Setelah Buto Ijo pergi, Mbok Srini ambruk ke lantai, ia menangis sejadi-jadinya. Dadanya sesak, ia kalut.

Timun Mas membeku mendengar percakapan Mbok Srini dengan makhluk asing itu. Keringat dingin sebesar jagung membasahi dahinya. Tanpa sadar tubuhnya gemetar. Setelah suasana hening beberapa lama, baru ia sadar tinggal suara tangis Mbok Srini mengisi udara hampir subuh. Timun Mas lantas bergegas menghampiri si mbok, mendekapnya.

***

Mereka terjaga sepanjang subuh. Setelah berhasil menenangkan diri si mbok mulai menceritakan apa yang seharusnya ia beri tahu Timun Mas sejak awal. Dari mana asal usulnya, dan nasib apa yang menyertainya. Timun Mas bukan anak kandung Mbok Srini. Dulu Mbok Srini hidup bersama suaminya. Berdua mereka membina rumah tangga dan memimpikan seorang anak. Tetapi seperti dikutuk, Mbok Srini dan suami tak kunjung dikaruniai anak. Berkali-kali Mbok Srini hamil, berkali-kali pula ia keguguran. Hingga akhirnya suatu malam ia meminta dengan khusyuk kepada Gusti Allah untuk diberikan momongan. Apapun akan ia berikan demi bisa memiliki momongan.

Rupanya doa itu terdengar pula oleh Buto Ijo yang tengah lapar. Makhluk gaib nan picik itu lalu mendatangi Mbok Srini lewat mimpi. Di mimpi itu Buto Ijo menyamar menjadi semburat cahaya, seperti cahaya ilahi, yang menunjuk ke salah satu titik di kebun singkong tempat ia biasa bekerja. Di dalamnya ada bibit timun, dan begitu saja mimpinya lenyap. Merasa mendapat wangsit, Mbok Srini pergi ke kebun pagi-pagi sekali keesokan harinya. Benar saja di sana terdapat sekantong bibit. Ketika ia mengambilnya tak lama terdengar gema suara. “Ambillah dan kau ‘kan dapat yang kau pinta. Sebagai gantinya, akan aku ambil satu yang kamu punya.” Mendengar itu Mbok Srini tertegun. Sekelebat ia terbayang menimang bayi perempuan dengan kulit kuning langsat. Bayangan yang membuatnya gelap mata. Ia pun pulang membawa sekantong bibit itu.

Di perjalanan ia memikirkan kembali gema suara tadi. Tapi ia tak ambil pusing. Ambillah pikirnya, sebagai petani singkong tak banyak yang ia punya. Apa pula yang mau diambil? Meskipun ia masih heran bagaimana caranya mendapatkan anak dari sekantung bibit mentimun. Namun ia bertawakal. Ia tanam bibit mentimun itu di sepetak pekarangan rumahnya. Beberapa hari setelah ia menanam bibit itu, suaminya jatuh sakit. Alhasil setiap hari ia kelimpungan mesti mengurusi kebun, suami, dan tanaman mentimun barunya.

Hari demi hari berlalu, sakit suami Mbok Srini kian parah. Hatinya kacau. Tak tahu harus merasa bagaimana. Suaminya tak kunjung sembuh. Segala obat yang ia berikan untuk sang suami tak ada yang manjur. Akhirnya ia mencari pengobatan alternatif ke dukun-dukun ternama di sekitar desa. Hingga ia menemukan seorang dukun sekaligus tabib yang tersohor. Dengan menjebol sebagian besar tabungannya, Mbok Srini mendatangkan dukun itu ke rumahnya.

Pak dukun lalu memeriksa suami Mbok Srini dengan seksama, sementara si mbok harap-harap cemas. Yang bisa menenangkannya cuma tanaman mentimun di pekarangan yang tumbuh kian rindang dan sehat. Setelah beberapa lama, pak dukun keluar dari bilik dengan muka cemas. “Suamimu bukannya sakit. Daya hidupnya diserap sesuatu yang ghaib di rumah ini. Kau punya jimat atau pesugihan?” Tanya pak dukun tajam. Mendengar itu Mbok Srini hanya tercekat. Matanya melirik ke tanaman mentimun di pekarangan. Terngiang lagi gema suara di kebun singkong tempo hari.

Karena tak mendapat jawaban, Pak Dukun yang tak sabar itu lanjut berujar, “Kau pilihlah, jimatmu atau suamimu. Tak ada cara lain.” Ia lantas menyeruput kopi hitam yang sudah dingin sambil memperhatikan tanaman mentimun yang tumbuh rindang di pekarangan. “Sudahlah kalau begitu aku pamit. Kau pikir baik-baik, ini semua bergantung pada apa maumu,” kata pak dukun selagi bersiap pamit. Mbok Srini masih terdiam. Hingga sampai di depan pintu tak dinyana Pak Dukun berujar, “Bagus tanaman mentimunmu, macam kau rawat seperti anak sendiri. Buahnya pasti besar-besar.”

Mendengar itu Mbok Srini kian terguncang. Sampai kemudian suara lirih sang suami memanggilnya dari bilik. “Srini… ke marilah sebentar.” Sang suami lantas menceritakan kepada Srini tentang wangsitnya akan bayi perempuan yang akan mereka miliki. Juga tentang syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan anak itu. Satu hidup untuk hidup yang lain. Begitu kurang lebih syarat dalam wangsit. Suami Mbok Srini pun mengiyakan. Dipikirnya anak perempuan tentu akan lebih berguna menemani dan membantu Mbok Srini di hari tuanya ketimbang dirinya yang sudah sama-sama renta. Toh istrinya itu sudah lama mendamba buah hati. “Rawatlah anak kita Srini…” begitu kata-kata terakhir sang suami sebelum ia tertidur dan tak pernah bangun lagi.

Selang beberapa hari sepeninggal suaminya, Mbok Srini menemukan tanaman mentimunnya berbuah. Benar kata Pak Dukun buahnya besar dan segar. Terpikir untuk menyayur buah mentimun itu untuk makan siang. Siapa sangka ternyata di dalamnya terdapat bayi perempuan berkulit kuning langsat. Mbok Srini heran sekaligus senang bukan main. Saking senangnya air mata meleleh di matanya. Namun, seketika itu pula muncul sesosok hijau tinggi besar di depan pintu rumah. Ia membuka suara dan Mbok Srini mendengar gema suara yang dikenalnya, “Dia anak gadismu hingga usianya 17 tahun, Srini. Setelah itu ia kembali menjadi milikku, santapanku, Buto Ijo.”

“Tapi kau bilang aku akan mendapat apa yang kupinta…” sergah Mbok Srini.

“Ya, ya, ya benar kau dapat apa yang kau pinta. Bukan berarti kau akan memilikinya selamanya. Hahahahahaha…” jawab Buto Ijo cepat. “Srini kau sudah terikat denganku sejak kau ambil bibit mentimun di kebun dahulu. Sudah terlambat untuk lari. Sekarang kau rawatlah anak ini hingga dia tumbuh besar dan sehat untuk kemudian jadi santapanku,” jelas Buto kepada Mbok Srini yang mukanya pasi. Seluruh kebahagiaan yang mengisinya sedetik lalu surut seketika. “Ingat kata-kataku Srini, aku tak pernah ingkar janji,” katanya lalu menghilang.

***

Timun Mas tak tahu harus bereaksi seperti apa mendengar cerita itu. Kepalanya dipenuhi berjuta pertanyaan. Tapi tak satupun yang ia lontarkan. Sebab ia tahu tak akan ada penjelasan yang masuk akal. Akhirnya ia hanya bisa termangu.

Sedari pagi Mbok Srini sudah mengajaknya bersiap berangkat ke rumah Pak Dukun yang dahulu pernah mampir ke rumah mereka. Sepanjang jalan Timun Mas berpikir keras. Ia tak tahu harus merasa apa, selain bahwa ia mesti menyelamatkan diri.

Seperti sudah menduga kedatangan ibu dan anak itu, Pak Dukun menyambut mereka di pekarangan rumahnya. Tanpa banyak basa-basi Mbok Srini lantas menceritakan maksud kedatangan mereka: mencari cara menyelamatkan Timun Mas dari cengkraman Buto Ijo. Mendengar itu Pak Dukun menarik napas panjang dan masuk sebentar mengubek-ubek lemari tuanya. Tak berapa lama ia keluar membawa empat kantung kecil dan menyerahkannya kepada Timun Mas. Masing-masing berisi biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Ini nduk. Jika si Buto datang menjemputmu, kau larilah dan tebar satu per satu isi dalam kantong-kantong ini,” begitu pesan Pak Dukun.

Timun Mas dan Mbok Srini tak menghabiskan waktu lama di rumah Pak Dukun. Mereka segera bergegas kembali ke desa. Sesampainya di desa mereka tinggal punya satu hari sebelum ulang tahun ke-17 Timun Mas. Biarpun pamali, Mbok Srini memutuskan membuat selametan kecil-kecilan untuk mereka berdua. Sebab tak ada yang tahu apakah keduanya masih bisa makan bersama esok hari.

Mereka tak banyak bicara sepanjang malam. Kecuali untuk mengingat-ingat kembali rencana mereka. Tepat tengah malam Timun Mas akan lari ke arah sawah. Dan Mbok Srini akan menahan Buto Ijo sebisanya. Setelah selesai bersantap dan beberes, mereka berdua berbaring di dipan dalam hening. Timun Mas dengan pakaian lengkap sudah siap pergi kapan waktu.

“Mbok minta maaf Timun…” ucap Mbok Srini lirih. Belum Timun sempat menjawab, waktu sudah menunjukkan tengah malam. Sesuai rencana Timun lantas bergegas lari. Dan tak berapa lama, seperti perkiraan Buto Ijo tiba di rumah Mbok Srini.

“SRINI! MANA ANAK GADISKU?!”

“Kau terlambat Buto! Anak gadis kita sudah kabur entah ke mana!”

“Pembohong! Dasar sundal tahu terima kasih!” Buto Ijo geram. Ia marah dan lapar. Bisa-bisanya Mbok Srini membiarkan santapannya kabur. Tapi ia masih mencium bau Timun Mas. Anak itu belum jauh. Ia pun lari mengejarnya.

Dengan kekuatan gaibnya, Buto Ijo dengan sekejap berhasil menyusul Timun Mas. Melihat Buto Ijo yang semakin mendekat, Timun Mas pun melemparkan isi kantung pertama: biji mentimun. Begitu mengenai tanah, biji mentimun seketika berubah jadi batang tanaman timun yang menjalar. Buto Ijo kaget dan jatuh terjerembab. Tapi tak berapa lama sudah kembali bangkit mengejar Timun. “Ahhhh kau mau main-main rupanya! Baiklah! Hahahaha,” seru Buto Ijo girang. Badannya lantas membesar, larinya semakin cepat.

Timun Mas terus berlari sekencang yang ia bisa. Kakinya sudah hampir copot dan paru-parunya sudah panas. Tapi ia tak bisa berhenti. Ia lalu melemparkan segenggam jarum dari kantong kedua. Dalam sekejap, jarum-jarum berubah jadi kebun bambu yang menusuk-nusuk kaki Buto Ijo. Melihat perlawanan Timun Mas, Buto Ijo semakin girang. Badannya kian membesar.

“Sial!” Timun Mas hanya bisa mengumpat sambil megap-megap, mencoba mengatur napas. Ia coba lagi melempar isi kantung ketiga dari Pak Dukun. Segenggam garam ia lemparkan dan seketika hamparan tanah lapang di belakangnya berubah jadi lautan. Buto Ijo kaget dengan lautan yang tiba-tiba terbentang di depannya. Ia pun tersandung dan jatuh. Sesaat Timun Mas lega. Ia berhenti untuk mengambil napas. Ia pikir Buto Ijo tak cukup sakti untuk bisa berenang. Asumsi yang kelewat polos karena kemudian ia melihat Buto berenang dengan kecepatan maksimum menghampirinya.

Timun Mas kembali berlari. Ia bahkan sudah tak mampu mengumpat. Kali ini badannya benar-benar akan menyerah. Paru-parunya serasa mau meledak, dan ia sudah tak lagi bisa merasakan kakinya. Hampir separuh malam itu ia berlari keliling desa. Kantung keempat dari Pak Dukun ini menjadi harapan terakhirnya. Diambilnya terasi dari dalam kantung dan dilemparnya ke arah Buto Ijo. Seketika itu pula tanah tempat jatuhnya terasi meleleh, berubah menjadi lautan lumpur panas seperti yang ada di berita-berita televisi. Buto Ijo yang jumawa tak melihat ada kubangan lumpur mendidih menantinya di depan. Ia pun terjerembab ke dalamnya. Begitu Buto Ijo terjebak di kolam lumpur, tanah yang meleleh itu kembali mengeras dan Buto Ijo terjebak di dalamnya. Selamatlah Timun Mas dari kejaran Buto Ijo.

Saat Timun Mas menyadari apa yang terjadi ia berhenti berlari dan ambruk ke tanah, tepat saat matahari menyingsing. Timun Mas lantas ditemukan tergeletak tak sadarkan diri dan bersimbah keringat oleh sekelompok petani yang hendak ke sawah. Mereka mengenalinya sebagai anak gadis Mbok Srini. Diantarnya Timun Mas pulang.

Seharian itu Timun Mas tidur, dan begitu bangun ia menemukan Mbok Srini di samping dipan. Mukanya lega bukan main. Belum pernah ia melihat si mbok begitu bahagia. Keduanya tak kuasa menahan haru dan mendekap satu sama lain. Kini keduanya bisa hidup bahagia tanpa dihantui rasa cemas akan kehilangan lagi.