Kalau kalian tanya, bagaimana rasanya menjadi Cindo, saya hanya bisa jawab; linglung. Saya tidak tahu selain kesipitan mata saya, kecinaan macam apa yang saya punya. Kulit kuning langsat? Langsat mana dengan model iklan produk Korea? Walau dia bukan orang Korea. Lidah saya bahkan tidak bisa melafalkan bahasa Cina selain yang umum-umum saja; seceng – goceng, kamsia.
Jangan tanya saya soal rasa, isinya hanya ironi. Sewaktu saya di SD, teman teman memberikan satu julukan ke saya – dan hanya satu; C – I – N – A, dengan lafal yang tegas. Coba kalian sembari membayangkan cara mengucapkannya: C-I-N-A, tiap huruf jelas, tegas, lugas.
Hingga suatu ketika, ada cara pengucapan yang membedakan antara C-I-N-A Indonesia (yang hari ini menjadi terma CINDO) dengan Cina yang ada di negara Cina sana. Coba sambil bayangkan pengucapannya; CHAYNA. CINA bukanlah CHAYNA dan CHAYNA berbeda dengan CINA. CHAYNA terasa lebih terhormat.
Sempat juga ada yang memanggil saya Panlok alias Panda Lokal – yang ternyata merujuk pada: “Perempuan Indonesia, yang tidak mesti Cindo tetapi terlihat seperti Cindo dan berprofesi sebagai prostitut (kata perek sudah tak zaman lagi)."
Jadi kembali ke pertanyaan awal, apa rasanya jadi Cindo? Kadang saya ingin menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan juga, misal; Apa rasanya jadi Papua? Apa rasanya jadi Togutil? Apa rasanya jadi Rote? Tidore? Sikka? Anak Dalam? Boti?
Apakah kalian berharap ada jawaban yang politis? Kalian sial sekali, karena saya lahir di generasi yang apolitis. Tragedi 98 terdengar sayup, bahkan keluarga saya tidak pernah benar-benar membicarakannya. Yang saya tahu, saya terlahir dengan mata sipit dan kulit kuning langsat, mbrojol di rumah sakit bilangan Jembatan 5, bertetangga dengan ragam orang yang semuanya merujuk pada satu entitas; orang Jakarta.
Tapi saya Cina, begitu menurut orang-orang yang mengenal saya. Apakah saya se-cina laptop Lenovo atau Xiaomi? Mungkinkah se-cina Wiuling seri termurah yang dibeli dengan kredit pula?
Saya masih belum bisa menjawab pertanyaan kalian. Tapi saya bisa ungkap seperti ini; Cina di kepala saya rasanya rendah, buruk, nista, dan entah kenapa – bersalah. Konon katanya ekonomi Indonesia dikuasai Cina. Entah Cina yang mana, karena bila merujuk ke Cinanya saya, segalanya pas pasan belaka. Keluarga saya tidak miskin, tapi jelas jauh dari kaya. Konon, pribumi – yang entah merujuk ke suku yang mana, dimiskinkan oleh para tauke-tauke keparat bermata sipit dan kulit kuning langsat.
Suatu hari, saya makan mie ayam di Bakmi Roxy bilangan Sabang. Disajikan dalam mangkuk bergambar ayam jago, yang identik dengan mie ayam dan bakso. Mangkuk ayam jago ini konon dulunya buatan orang Hakka dari provinsi Guangdong. Hakka di Indonesia disebut juga sebagai Orang Khek dan konon suku terbesar nomor 2 yang ada di Indonesia setelah Hokkian.
Selama gelombang imigrasi mulai tahun 1850 sampai tahun 1930, orang Hakka adalah yang paling miskin di antara para perantau asal Tiongkok lainnya. Hakka tersebar di Aceh, Belitung, Bangka, dan Kalimantan Barat. Kalau orang Hakka di Jakarta ini biasa banyak mendiami bagian Jakarta Barat. Oleh sub-grup lainnya, orang Hakka yang tinggal di Jembatan Lima, Glodok, Krendang, Jembatan Besi dikenal sebagai “Cina Kota”. Biasanya bekerja sebagai pemilik toko dan rumah makan.
Saya, konon, keturunan Hakka. Ini mangkuk jangan-jangan bikinan moyang saya, sebagai buruh tentu saja. Buruh pabrik mangkuk ayam jago di Guangdong, ratusan tahun lampau sebelum akhirnya mereka memutuskan; “Ah fuck off, cabut aja gua ke Endonesa!” Berlayarlah mereka sembari jadi kacung geladak, tiba di Nusantara, beranak pinak, hingga menjadi saya hari ini.
Sembari menunggu mie ayam saya disajikan, perhatian saya tertumpu ke sekelompok om-om (pribumi! Hah!) yang tampak seperti pebisnis ulung, berdiskusi sembari menyantap mie ayam di dalam mangkuk ayam jago. Entah bisnis macam apa yang dibicarakan, tetapi ada ungkapan mereka yang membuat saya jadi memperhatikan; “Orang-orang sipit”, ujar mereka.
Saya tidak mau kepedean kalau yang mereka maksud sebagai “orang orang sipit” itu adalah Cindo. Teman saya, Prayudi, orang Palembang, matanya sipit. Dia dulu juga sering disangka Cindo. Bahkan ketika ia menyangkal dengan keras pun, teman-teman yang lain tetap memanggilnya C-I-N-A. Kasihan dia, bukan Cindo tapi dipanggil Cina. Masih mending saya.
Om-om yang tampak seperti pebisnis ulung itu masih seru bercuap. Disela santapan mie ayam yang lihai mereka masukan ke dalam mulut dengan sumpit. Kelihaian mereka makan mie ayam di dalam mangkuk ayam jago dengan sumpit, sungguh Cindo sekali. Salah satu dari mereka tampak menyadari kalau saya memperhatikan. Ia memberi kode ke yang lain dan mereka serempak melihat ke arah saya. Saya malah jadi salting. Untung mie ayam pesanan saya mendarat di meja, jadi pengalih perhatian saya dan pura-pura tidak tahu bila om-om yang tampak seperti pebisnis ulung menatap saya.
Setelahnya, suara mereka tidak sekeras sebelumnya. Kalimat “orang-orang sipit” tidak lagi terdengar. Tak lama mereka membayar mie ayam yang disajikan dalam mangkuk ayam jago mereka, dengan tambahan pangsit rebus sekian porsi serta es teh – kemudian pergi.
Saya tidak ambil hati, karena sudah terbiasa. Sangat terbiasa. Bukan yang pertama, dan jelas tidak akan jadi yang terakhir. Mungkin jawaban dari pertanyaan tentang rasanya jadi Cindo ada di mie ayam dalam mangkuk ayam jago ini; satu porsi kurang, dua kebanyakan. Nyam.