Seperti yang pernah kuceritakan di waktu lampau, ada beberapa tukang ojek di depan stasiun Pasar Minggu yang menjadi langganan tidak resmi. Tidak satu pun yang kukenal namanya, dan hampir tak pernah aku berbincang dengan mereka. Terlalu letih, menjadi alasan utamaku. Dari sekitar 3 tukang ojek yang biasa mengangkutku, ada satu yang aku berikan nama, dalam hati, Cak Sampang. Cak Sampang, dari Sampang, Madura. Sesederhana itu.
Cak Sampang pengendara motor yang tidak terlalu lihai. Sering gamang, di tengah jalan. Tidak ke kiri, tidak juga ke kanan. Tidak pernah melaju kencang, pindah jalur dengan ragu. Beberapa kali kami ada di situasi berbahaya karenanya. Tapi Cak Sampang ingat jalur menuju rumah, yang memang rutenya cukup rumit. Banyak pecahan jalan kecil dan bila malam hari cukup menyulitkan.
Cak Sampang tidak pernah membuka perbincangan, oleh karena itu aku senang. Malam ini, Cak Sampang mengangkutku. Tak ada banyak beda, kecuali lajunya lebih lamban dari biasa. Aku menikmati perjalanan sembari mendengarkan lagu. Kadang melihat pemandangan malam, kadang melongok ke handphone.
Hingga kami tiba di jalan kampung menuju rumah. Di pertigaan yang biasa kami lalui, tetiba Cak Sampang berhenti, tepat di bagian lagu Sublime yang tengah berkumandang:
All I really want to know, I already know
All I really want to say, I can't define
It's love that I need, My soul will have to wait...
Mendongak dan kubertanya ada apa gerangan. Cak Sampang menjawab, dengan suara yang ragu, sungguh ragu; dia salah ambil jalan. Tidak, Cak Sampang tidak salah ambil jalan. Ia hanya meyakini bahwa ia salah ambil jalan. Aku tegaskan itu. Aku bilang; Cak, kau sudah antar aku lebih dari 20 kali, dan ini jalan yang selalu kita lewati.
Linglung ia terlihat jelas. Kemudian, aku melihat air mata. Cak Sampang menangis. Kutatap dan aku bertanya ada apakah gerangan. Cak Sampang menjawab lirih; tarikan sepi - sepanjang hari ia mangkal. Persaingan meningkat, dan ada banyak masalah di kampungnya. Cak Sampang menangis - Cak Sampang putus asa. Aku terdiam.
Kami melanjutkan perjalanan. Tak lama, kami tiba di depan rumah. Malam ini terasa senyap. Jalanan basah, tersiram hujan. Wajah Cak Sampang basah, tersiram air mata.
Aku bayar ongkosnya, kasih lebih sedikit. Cak Sampang meminta maaf dan berpesan; jangan kapok ya bos! Begitu ucapnya. Aku mengangguk dan berpesan agar hati-hati di jalan.
Tegarlah kau Cak, kelakianmu tak luntur oleh air mata. Aku temani kau menangis, karena aku pun tengah mengira salah ambil jalan.