Logo Spektakel

Home > Folklor >

Alkisah Sal Mencari Kang Mad

Alkisah Sal Mencari Kang Mad

Hormat Sepanjang Masa buat Biyung Sal Juli 1948, hampir tujuh puluh tahun lalu. Malam baru menjelang di Kampung Dukuh Kidul, jauh di sebelah baratdaya kota. Suasana sepi dan hening. Gelap pekat menyemuti seluruh kampung. Orang-orang tidak berani menyalakan lampu minyak karena keadaan sedang amat genting. Hanya tampak kelip-kelip pelita kecil di rumah Sal. Ibu 25 tahun itu sedang duduk di balai-balai sambil menyusui bayinya yang baru berumur satu bulan. Itu anaknya yang keempat. Suaminya, Kang Mad, jarang berada di rumah karena dia pejuang yang selalu menjadi incaran tentara Belanda. Mata-mata Belanda agaknya bahkan ada juga di Dukuh Kidul.

Kegentingan di Dukuh Kidul sudah berlangsung beberapa bulan sejak Belanda melancarkan apa yang mereka sebut aksi polisionil. Namun pihak Indonesia menyebutnya agresi militer. Gerakan itu untuk menumpas para gerilya Republik. Belanda mengerahkan pasukan dari brigade pribumi yang mereka namakan Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger atau KNIL. Dalam operasinya pasukan Belanda sering bertindak melebihi batas dengan menembak setiap lelaki yang mereka temui.

Malam itu Kang Mad, Santoyib, dan Kantun duduk mengelilingi meja dalam kegelapan. Mereka berbicara dengan berbisik agar suara mereka tidak menembus keluar dinding. Pemilik rumah adalah Nenek Nyami, janda renta. Ketiga lelaki itu masih terbilang cucunya.

Hanya karena hendak menggulung tembakau dengan kulit jagung, Santoyib menyuruh Kantun mencari dan menyalakan pelita. Nyala api kuning sebesar gabah menerangi ruangan. Muncullah tiga sosok dengan wajah waspada. Semua tampak siaga. Kang Mad kelihatan berselendang kain sarung. Ternyata bukan hanya Santoyib yang ingin merokok. Dan agaknya tembakau bisa membuat ketiga lelaki itu merasa lebih tenang. Mereka duduk menyandar dan mulai menikmati isapan-isapan pertama. Namun mendadak Kang Mad menegakkan punggung, wajahnya tegang, ketika terdengar burung bence mencecet terbang melintas di atas rumah. Bagi orang Dukuh Kidul, itu pertanda ada manusia bergerak di luar dalam kegelapan.

Kang Mad cepat meniup pelita dan segera melompat keluar melalui pintu belakang. Santoyib dan Kantun mengikuti Kang Mad, tetapi terlambat. Pintu depan didobrak dan tembakan-tembakan langsung menggema dalam kegelapan. Santoyib dan Kantun roboh dengan tubuh saling tindih di tanah. Kang Mad terus lari, tetapi dia pun menjadi sasaran tembak seseorang yang berjaga di luar. Si penembak samar-samar melihat ada tubuh roboh ke tanah.

(Terbit di Suara Merdeka, 12 Maret 2018)

Ahmad Tohari

Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 71 tahun) adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976). Tulisan-tulisannya berisi gagasan kebudayaan dimuat di berbagai media massa. Ia juga menjadi pembicara di berbagai diskusi/seminar kebudayaan.

Mari bergabung bersama kami berkontribusi memajukan seni budaya Indonesia. Kirimkan data kegiatan di sekitarmu ke kontak@spektakel.id

Menulis Untuk Kami

Editor: Redaksi