Pantai Aia Manih di tanah Minang terlihat cerah. Debur ombak bersahutan menemani teriakan burung laut yang berputar mencari kesempatan mencuri ikan dari nelayan yang sedang berlabuh. Mestinya hari itu membawa ceria, tetapi tidak untuk Malin Kundang, remaja kurus dan lusuh. Wajahnya nampak murung.
Malin tinggal bersama ibunya, Mandeh Rubayah. Bapak Malin sudah lama tiada, sejak Malin masih bayi. Laut memakan tubuh Bapak Malin, ketika mencari ikan. Malin tumbuh sebagai anak pantai yang suka damai, membantu nelayan mencari ikan, menambal kapal yang bocor, atau merajut jaring yang rusak. Apa pun ia lakukan untuk menyambung hidup bersama ibunya. Malin memang dikenal sebagai anak rajin dan penurut.
Mandeh Rubayah sang ibu sudah tua. Tetapi ia seorang perempuan tegar. Sejak ditinggal mati suaminya, Mandeh Rubayah melakukan semua jenis pekerjaan untuk menyambung hidup dan membesarkan anaknya. Kini diusianya yang renta, Mandeh Rubayah membuka warung lontong pical dan katupek untuk menghidupi diri dan anaknya.
Hari berganti, Malin semakin gelisah dengan situasi yang ia hadapi. Miskin, tak bisa sekolah. Ia ingin merantau ke kota untuk mencari peruntungan, tetapi tidak punya uang untuk ongkos pergi. Mau berjalan kaki, Malin tak berani karena kata orang-orang, di luar kampungnya banyak begal.
Mandeh Rubayah bukan tidak tahu akan kegelisahan anak semata wayangnya. Selain tak punya uang, Mandeh Rubayah juga tak ingin anaknya pergi ke kota. Ia takut anak semata wayangnya celaka. Para tetangga cerita bila di kota, segalanya mungkin terjadi. Yang kaya tambah kaya, yang miskin semakin miskin. Yang baik jadi jahat, yang jahat tambah jahat.
Ia takut Malin terjerumus ke hal-hal negatif, seperti yang ia dengar dari pejabat kampungnya ketika penyuluhan. Katanya, anak muda sekarang mudah terjerumus ke hal-hal negatif, walau Mandeh Rubayah tidak pernah dijelaskan, hal-hal negatif itu apa - cukup membuatnya takut.
* * *
Tak dinyana, kesempatan merantau ke kota akhirnya tiba. Sebuah kapal penangkap ikan yang cukup besar berlabuh di pantai Aia Manih dan tersiar kabar bila kapten kapal membutuhkan anak buah baru. Seketika mendengar kabar itu, Malin langsung mendatangi kapal tersebut. Awalnya kapten kapal ragu karena Malin terlihat kurus dan lusuh. Tetapi setelah mendengar rekomendasi dari nelayan lokal tentang Malin, akhirnya kapten kapal menerimanya.
Malin girang bukan kepalang. Dibawanya kabar tersebut sambil berlari kencang ke rumah.
"Mandeh! Mandeh! Aku diterima jadi anak buah kapal, Mandeh! Aku akan ke kota setelahnya!", ucap Malin sembari berteriak.
Mandeh Rubayah terkejut bukan kepalang. Kabar itu bukan kabar yang menggembirakan untuk dirinya.
“Jangan Malin, Mandeh takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah saja di sini, temani Mandeh,” ucapnya sedih setelah mendengar kabar tersebut.
"Tenanglah Mandeh. Aku bisa jaga diri. Aku pergi untuk mengubah nasib. Aku capek jadi orang miskin, Mandeh!", ujar Malin dengan tegas.
Mandeh Rubayah melihat mata anaknya menyalang, tanda keputusan yang tak bisa diubah.
“Baiklah, Mandeh izinkan. Cepatlah kembali, Mandeh akan selalu menunggumu Nak,”, kata ibunya sambil menangis.
Meski dengan berat hati, Mandeh Rubayah mengizinkan anaknya pergi. Malin dibekali dengan lontong pical dan katupek sebanyak tujuh bungkus, “Untuk bekalmu di perjalanan,” katanya sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu berangkatiah Malin Kundang ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.
* * *
Sepeninggal anaknya, hari-hari Mandeh Rubayah terasa lamban berlalu. Setiap pagi dan sore Mandeh Rubayah memandang ke laut, “Sudah sampai manakah kamu berlayar Nak?” tanyanya dalam hat. la selalu mendoakan anaknya selalu selamat dan cepat kembali.
Hari berganti hari, menjadi tahun berganti tahun. Kabar yang ditunggu tak kunjung tiba. Mandeh Rubayah semakin renta. Ia terlihat lusuh, walau para tetangga setia menjenguknya. Warungnya sudah lama tutup, karena ia tidak lagi kuat mengurus. Hidupnya kini tergantung belas kasih para tetangga.
Suatu hari, sebuah kapal ikan besar berlabuh di pantai Aia Manih. Seperti biasa, tiap kapal besar yang labuh, Mandeh Rubayah akan bertanya kepada pekerja kapal tentang Malin. Banyak yang mengira Mandeh Rubayah sudah kehilangan kewarasannya.
“Apakah kalian melihat anakku, Malin? Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia pulang?” tanyanya. Rupanya kali ini kapal yang labuh dibawa oleh nakhoda yang dulu membawa Malin. Nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mandeh Rubayah.
“Mandeh, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang bangsawan yang sangat kaya raya di kota,” ucapnya.
Hati Mandeh berbunga mendengar kabar Malin masih hidup dan bahkan telah beristri. “Malin cepatlah pulang kemari nak, Mandeh sudah tua Malin, kapan kau pulang…,” rintihnya pilu.
Harapan Mandeh Rubayah terpenuhi. Beberapa minggu kemudian, datanglah kapal besar nan mewah. Bersandar di pantai Aia Manih, membawa rombongan yang terlihat seperti bangsawan.
Orang kampung berkumpul, berdecak kagum menyaksikan kapal beserta para penumpangnya. Pasangan muda yang terlihat kinclong, berdiri di anjungan kapal. Amboi, sungguh terlihat mewah sekali mereka! Begitu decak kagum orang-orang kampung pantai Aia Manih berucap.
Mandeh Rubayah ada di antara kerumunan, berusaha melihat dengan matanya yang mulai rabun. "Apakah itu Malinku?", tanyanya kepada orang-orang.
Warga yang berkerumun mencoba untuk memastikan, bila pria gagah disamping pasangannya yang cantik jelita adalah benar Malin Kundang, anak kurus lusuh yang biasa membantu mereka mengurus kapal dan jaring. Tetapi sulit sekali mereka memastikannya. Tampilan pemuda itu gagah, dengan bajunya yang mewah. Sulit untuk mengatakan bahwa ia adalah Malin Kundang yang mereka kenal.
Jantung Mandeh Rubayah berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu mulai turun anjungan. Ia yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang. Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Mandeh Rubayah terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat, ia takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku. Kau benar anakku kan?” katanya menahan isak tangis karena gembira, “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
Pemuda tersebut terkejut karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang—camping. Sebelum ia sempat berkata-kata, istrinya langsung menjawab dengan ketus.
"Hey perempuan tua, jangan kau sembarangan memanggil orang. Suamiku ini bergelar Datuak Rajo Nan Panjang, bukan Malin Kundang seperti yang kau sebut tadi!", ujarnya sembari menarik lengan suaminya agar menjauhi Mandeh Rubayah.
Naluri keibuan Mandeh Rubayah sangatlah kuat. Walaupun berganti rupa, sandang, serta perilaku, Mandeh Rubayah tetap bisa merasakan bila pemuda tersebut adalah Malin Kundang, anaknya semata wayang.
Istri Datuak Rajo Nan Panjang kembali berkata, dengan sinisnya. “Wanita jelek inikah ibumu?! Mana mungkin aku punya mertua yang tidak sederajat!".
Mendengar kata-kata tersebut, Datuak Rajo Nan Panjang terlihat gugup dan panik. Ia kemudian mendorong Mandeh Rubayah hingga terguling ke pasir, “Wanita gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya kasar.
Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya. “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!” Datuak Rajo Nan Panjang tidak menjawab dan memalingkan wajah. la tampak malu pada istrinya. Mandeh Rubayah beringsut hendak memeluk Datuak Rajo Nan Panjang, namun disepaknya sambil berkata, “Hai, perempuan tua gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!” Mandeh Rubayah semakin tersungkur di pasir dan menangis.
Orang-orang yang meilhat terpana. Mereka membantu Mandeh Rubayah bangkit dan membawanya pulang. Kerumunan tersebut perlahan membubarkan diri. Setiba di rumahnya yang reyot, Mandeh Rubayah menangis hingga tertidur.
Rupanya urusan kapal Datuak Rajo Nan Panjang beserta rombongannya di kampung tersebut hanya sebentar. Datuak Rajo Nan Panjang datang hanya untuk meminta dukungan tetua desa agar ia dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tak lama kemudian, kapalnya kembali sauh.
Sementara, Mandeh Rubayah terbangun di dipan tidur reyotnya. Setengah sadar, ia bergumam, membaca doa - memohon kepada Tuhan. Wajahnya mengadah ke langit dan mulutnya berujar.
“Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis.
Kehidupan kota yang gemerlap mengubah seorang Malin Kundang yang dulu dikenal rajin serta penurut, menjadi angkuh dan jahat. Ia melupakan akarnya, bahkan menafikan ibunya sendiri. Gelar Datuak Rajo Nan Panjang ia dapatkan hanya karena menikahi anak seorang saudagar, tempat ia bekerja. Istrinya hamil tanpa tahu siapa bapaknya. Untuk menutup malu, ia dinikahkan dengan Malin Kundang.
Gemerlap harta telah membutakan nurani Malin Kundang. Kehidupan foya-foya di kota setelah menjadi mantu saudagar, membuatnya lupa diri. Walau hidup tidak bahagia dikekang istri, Malin Kundang, alias Datuak Rajo Nan Panjang mengabaikan itu semua demi harta yang ia dapatkan. Judi serta minuman keras menjadi kehidupannya sehari-hari.
* * *
Tak lama kapal Datuak Rajo Nan Panjang bersauh, tiba-tiba langit yang cerah berubah menjadi gelap. Penduduk kampung pun bergegas mengikat kapal-kapal, mengamankan jaring, menutup pintu serta jendela rumah rapat-rapat. Tanpa diduga, badai akan datang!
Angin kencang berhembus, ombak besar menghantam kapal. Seluruh penumpang kapal menjadi panik. Beberapa terhempas, jatuh ke laut ganas. Datuak Rajo Nan Panjang dan istrinya berlindung di kamar mereka. Perasaan takut menyergap, langit bergemuruh dengan cahaya kilat yang menyeramkan datang bertubi-tubi.
Nahkoda coba menyelamatkan kapal, berputar balik ke arah pantai. Tetapi badai tampaknya tak punya belas kasih, seperti mengurung kapal tersebut hingga tak ada jalan keluar. Langit semakin gelap, bila kita lihat dari pantai, maka kita akan melihat kapal tersebut seperti sedang dimain-mainkan oleh Dewa Laut, dilempar kesana-kemari.
* * *
Setelah malam panjang yang menyeramkan, matahari pagi muncul di ufuk timur - badai telah reda. Dari kaki bukit terlihat kepingan kapal berserakan dimana-mana. Anehnya, banyak dari kepingan kapal tersebut berubah menjadi batu.
Itulah kapal Malin Kundang alias Datuak Rajo Nan Panjang! Tidak lagi tampak kemewahan! Banyak tubuh para awak kapal terdampar di pantai, beberapa masih bernapas. Warga kampung pantai Aia Manih berbondong-bondong menolong awak kapal yang masih hidup.
Mandeh Rubayah berjalan tertatih menyurusi pantai, diantara serpihan kapal yang membatu. Ia masih berharap bila Malin Kundang, anaknya selamat. Mandeh Rubayah melihat sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Naluri keibuannya muncul kembali, ia hampiri batu tersebut.
Itulah tubuh Malin Kundang anaknya yang lupa diri. Mandeh Rubayah duduk bersimpuh di depan batu tersebut, menangis meraung-raung. Bagaimana pun, ia tetap merasa kehilangan anaknya walau hatinya telah disakiti sedemikian rupa.
Hingga hari ini, batu itu tetap di sana. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang alias Datuk Rajo Nan Panjang.
Penduduk di sana percaya, jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia. Terkadang bunyinya seperti meratap menyesali diri.
“Ampun, Bu…! Ampuun!” konon itulah suara si Malin Kundang, anak begajulan yang durhaka pada ibunya.