Setelah pandemi mulai berangsur baik, aku pulang mudik dari kota perantauan. Seperti tradisi pada umumnya di hari raya, kami sekeluarga berkunjung ke rumah-rumah orang terdekat. Bersilaturahmi.
Selesai mengunjungi rumah nenek-kakek dari ibu yang juga masih tetangga, kami berziarah ke makam nenek-kakek dari ayah sebagai destinasi lebaran terkahir. Tapi karena sendi kaki ibu nyeri, ibu dan adik urung untuk ikut. Akhirnya, hanya aku dan ayah yang akan motoran ke sana. Ia bilang sekitar jam satuan kami akan berangkat.
Ayah, seperti keluarga konservatif lainnya, adalah pria yang ogah mengurusi pekerjaan domestik. Kesehariannya adalah bekerja, mencari uang, memberi jatah ibu, dan selesai. Segalanya yang berbau pekerjaan rumah tak pernah diembannya. Dari jam delapan pagi ia sudah berangkat kerja, pulang jam lima sore, bebersih diri, lalu pergi lagi untuk mengisi pundi-pundi rezeki, dan pulang jam sepuluh malam ketika ibu, aku dan adik sudah terjaga dalam mimpi. Karena itu, aku—mungkin adik juga—begitu berjarak dengannya. Bagiku, ia serupa manusia yang paling dingin di dunia.
Lain dengan ibu, yang mudah mencairkan segalanya seperti jajanan es di depan SD. Ibu adalah perempuan yang penurut pada ayah. Tapi, sering juga ibu menurutiku jika aku mulai merengek tidak dibelikan mainan di depan sekolah waktu kecil. Dibanding ayah, ibu lebih dekat denganku—meski kedekatan itu lama-lama pudar juga seiring berjalannya waktu. Ibu paling tidak tega melihatku menangis. Biasanya, jika ada mainan yang ingin kubeli, tapi ibu tidak mengizinkannya, aku langsung menangis saja. Itu adalah cara paling ampuh melihat perasaan ibu lumer seperti pisang coklat. Dengan ibu, aku lebih nyaman untuk minta apa-apa daripada ayah. Jika pada ayah aku meminta sesuatu, jawabannya langsung dilempar kepada ibu.
Aku mengerti bahwa ayah-ibu punya peranan masing-masing sebagai anggota keluarga. Meski tetap bagiku kasih sayang ibu lebih besar dibanding ayah, tapi ayah selalu mengupayakan apa-apa yang anaknya ingin capai. Misal, waktu aku ingin kuliah di luar kota, ia mengupayakan segalanya agar aku bisa kuliah di sana. Beberapa tahun belakangan, aku baru tahu bahwa ia sempat menggadai motornya untuk biaya kuliahku.
***
Di atas motor, kami tak sekalipun membuka percakapan. Aku dingin, ayah beku. Kami bagai dua kutub es yang ingin mencair tapi matahari tak nampak dari langit. Aku harap pemanasan global bisa membantu kami. Aku yakin, tak hanya aku yang memiliki hubungan macam begini dengan orangtua, mungkin dari kalian juga ada.
Sedari aku kecil, kami tak pernah mempunyai percakapan yang dalam—begitu pula ibu. Ia biasanya hanya menanyakan kabarku, nilai sekolahku, atau pertanyaan-pertanyaan sederhana, seperti, udah makan belum.
Tak pernah ada perkelahian besar di antara kami, pun perkelahian kecil terjadi begitu saja, dan juga selesai dengan begitu saja. Jika ada perdebatan kecil atau besar yang terjadi, biasanya perkara itu bisa diselesaikan dengan mudah, terutama karena ibu.
Ibu serupa jalan tengah yang memberi penerangan pada kami yang dirundung kemarahan. Ia dengan mudahnya melerai kami, lalu menasehati aku, lalu membujuk ayah, dan tanpa salah satu maaf dari aku atau ayah, kemarahan kami berangsur surut begitu saja. Tapi, itu dulu. Aku tumbuh dewasa, sementara ayah dan ibu kian menua. Mungkin ini saat yang tepat untuk mencairkan dua kutub es di tubuh kami.
Aku memantik percakapan, “Yah, kaki Ibu, gimana?” tanyaku sambil mendekatkan mulutku pada sisi kanan helm.
“HA?” angin kencang di atas motor membuat pertanyaanku ikut terhempas.
“Kaki Ibu, gimana?” aku mengulang pertanyaan dengan suara yang lebih keras.
“Alhamdulillah.”
“Kalau Ayah, gimana?”
“Ayah gimana apanya?” ia balik bertanya memastikan.
“Ayah sehat, gak?”
“Alhamdulillahh.”
“Sering-sering cek gula, Yah.”
“Iyaaa,” kali ini ucapannya bernada rendah dan sedikit panjang, seperti tidak ingin menjawab lebih. Karena itu aku tak melanjutkannya.
Sesampainya di makam, sebelumnya ayah menyuruhku untuk beli air mawar dan kembang tujuh rupa di pinggir jalan komplek pemakaman. Kemudian ayah mulai melamatkan doa di depan nisan nenek-kakek yang bersebelahan. Aku mengiringi apa yang diucap mulutnya. Doa-doa terbang ke langit, bunga-bunga jatuh ke tanah makam, dan kedua telapak tangan kami membasuh wajah, mengaminkan doa. Setelah itu ayah memberi isyarat pergi, dan kami berdiri meninggalkan makam.
Tak seberapa jauh dari pemakaman, ayah menepi, memberhentikan motornya di restoran cepat saji. “Makan dulu, Ayah laper,” ucapnya kala standar motor mendarat di aspal. Saat ia bertanya makanan apa yang kuinginkan, aku bilang, "Samain aja sama Ayah." Selagi ia mengantri, aku mencari tempat duduk. Mengingat ayah biasanya yang habis makan merokok, kupilih duduk di luar. Tak berapa lama kemudian ayah membawa nampan bersama hidangan di atasnya. Kami makan dengan hikmat, dengan sepi, dengan sunyi.
Suara sendawaku memecah kesunyian. Aku mengambil minuman di atas nampan dan menyesapnya. Dan di waktu yang sama kami mengeluarkan bungkus rokok beserta koreknya. Suasana menjadi canggung. Di siang menjelang sore yang panas ini, kami dingin kembali. Ayah mengeluarkan rokoknya lebih dulu dan menyulutnya. Tak lama kemudian aku menyusulnya. Asap bergantian mengepul dari mulut kami. Kulihat ayah ingin mengucapkan sesuatu, dan benar saja.
“Kalau kamu gimana?” tanyanya tiba-tiba bersama asapnya yang keluar dari mulut.
“Gimana apanya, Yah?” balikku bertanya heran.
“Kabarmu.”
“Alhamdullillah, baik.”
“Abis kuliah mau ngapain lagi?”
“Kerja kantoran paling, Yah.”
Ia mengangguk, kemudian menghisap rokoknya lagi sambil berucap, “Abis kuliah, kerja di sini aja. Ibu kasian, sendiri ngurusin adek.”
Ucapannya ingin kubalas, “Kan, ada Ayah.” Tapi aku tak mau membuat gaduh restoran cepat saji ini, apalagi ini hari raya, lantas kujawab, “Iya, Yah.”
Percakapan terputus, begitu saja. Suasana membeku lagi. Tak ada yang ingin melempar pertanyaan lebih lanjut. Kami kembali sibuk menghisap rokok, dan berharap asap itu melahirkan obrolan hangat seperti gorengan dua ribu tiga.
Aku memang tidak tumbuh dari keluarga yang membicarakan sesuatu secara mendalam. Ibu tak pernah tahu apa mimpiku, ke mana aku harus bercerita, kapan aku bersedih, kepada siapa kesedihanku harus teruraikan. Apalagi ayah. Ayah yang paling jarang di rumah, ayah yang paling jarang ada waktu denganku, adik, maupun ibu. Tapi aku tahu, ia yang membikin hidup kami bisa bertahan selama ini.
Ayah mematikan rokoknya pada asbak yang tersedia. Kemudian ia beranjak, mengajak pulang.
Kali ini perjalanan di atas motor tak membawa kami menepi ke tempat apapun. Jalanan di hari raya membuat kota ini sepi seketika. Awan sore sedikit mendung, cahaya matahari memudar. Sepanjang jalan aku bergumam, apa ada yang salah dari hubungan kami? Apa hubungan ayah-anak macam ini memang normal-normal saja? Apa interaksi macam ini yang kami inginkan? Aku berkilah, mengalihkan perhatianku, melihat kota mengabu bersama awan mendung, beberapa kendaraan mendahului, dan ayah menggeser spion kanan dan kiri. Lalu tangan kirinya melepas kompling dan menaikkan kaca helm. Tangannya seperti habis mengusap sesuatu di wajahnya.