Home > Ini Indonesia >
Saya Belum Jadi Guru yang Baik
Saya Belum Jadi Guru yang Baik
Bagi guru yang bisa bekerja dari rumah; mengajari siswa secara virtual, dan menerima kiriman fail atau foto tugas siswa lewat WhatsApp, atau aplikasi lain, memang kelihatannya nyaman. Tapi tidak bagi Avan yang mesti berkeliling ke rumah-rumah siswanya demi memberikan materi pengajaran karena minim akses teknologi.
Ternyata saya belum jadi guru yang baik.
Sudah beberapa minggu saya berada dalam posisi dilematis. Bukan masalah rindu dengan rutinitas mengajar di kelas. Melainkan tentang imbauan Mas Menteri untuk bekerja dari rumah. Ini jelas tidak bisa saya lakukan, sebab murid saya tidak punya sarana untuk belajar dari rumah. Mereka tidak punya smartphone, juga tidak punya laptop. Jika pun punya, dana untuk membeli kuota internet akan membebani wali murid.
Salah satu cerita yang membuat saya dilema terjadi pekan lalu. Ada salah seorang wali murid yang bilang ke saya, ia akan mencari pinjaman uang demi membeli smartphone. Ini karena ia mendengar kabar bahwa rata-rata, anak-anak harus belajar dari HP cerdas. Saya terkejut mendengar penuturannya. Lalu pelan-pelan saya bicara. Saya melarangnya. Saya memberikan pemahaman bahwa belajar di rumah tidak harus lewat HP. Siswa bisa belajar dari buku-buku paket yang sudah dipinjami dari sekolah. Saya bilang, bahwa sayalah yang akan berkeliling ke rumah-rumah siswa untuk mengajari.
Mendengar itu, ada raut kegembiraan di wajahnya. Lega.
Avan Faturrahman dalam perjalanan menuju rumah-rumah siswanya. Tak hanya jarak yang cukup jauh, medan rutenya pun kadang sulit untuk dilewati.
Jadi begitulah, di masa pandemi ini, saya harus keliling ke rumah-rumah siswa. Setidaknya tiga kali dalam seminggu. Medan yang saya tempuh juga lumayan menantang. Selain jarak antar-rumah siswa memang jauh, jalan menuju ke masing-masing rumah siswa bisa dibilang kurang bagus. Bahkan jika hujan, saya harus jalan kaki ke salah satu rumah siswa.
Saya sadar ini melanggar imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah. Tapi mau bagaimana lagi? Membiarkan siswa belajar sendiri di rumah tanpa saya pantau, jelas saya kurang sreg. Bukan tidak percaya dengan orangtua mereka. Tapi saya tahu, sekarang tengah mereka sibuk. Ini masa panen padi.
Setiap hari para orangtua siswa harus bekerja di sawah. Ikut gotong-royong panen padi dari tetangga yang satu ke tetangga yang lain. Kebiasaan ini mereka bilang 'otosan'. Jadi anak-anak harus belajar sendiri dari pagi ke siang hari. Lalu malamnya, mereka ke langgar. Maka sayalah yang harus hadir untuk mendampingi mereka begiliran meski sebentar. Menjelaskan materi, memberikan petunjuk tugas, mengoreksi tugas yang diberikan sebelumnya, termasuk memberikan apresiasi atas pekerjaan mereka.
Avan mengesampingkan imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah untuk memastikan siswa-siswanya tetap mendapat pengajaran yang layak di rumah. Meksi tanpa akses teknologi yang memadai.
Saat TVRI menyediakan tayangan edukasi untuk siswa, saya sedikit lega. Kemudian dengan penuh semangat, saya menjelaskan pada siswa dan orangtuanya untuk mengikuti pelajaran di TVRI itu. Ini akan membantu, pikir saya. Tapi, lagi-lagi saya harus menelan ludah. Tiga dari lima siswa saya tidak punya televisi di rumahnya. Akhirnya saya tidak melanjutkan kampanye belajar dari TVRI ke siswa yang lain. Biarlah.
Bagi guru yang bisa bekerja dari rumah; mengajari siswa secara virtual, dan menerima kiriman fail atau foto tugas siswa lewat WhatsApp, atau aplikasi lain, memang kelihatannya nyaman. Benar-benar bisa bekerja dari rumah. Lah saya? Saya harus melanggar imbauan pemerintah.
Jadi jelas, saya belum menjadi guru yang baik. Tidak memberikan contoh yang baik bagi siswa karena melanggar imbauan pemerintah. Saya bukan tidak takut Corona. Takut juga. Tapi bagaimana lagi? Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua dari wabah penyakit, termasuk COVID-19. Amin...