Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Komunitas >

Stanley Tulung: Mencari & Merawat Musik-Musik Masa Lalu.

Stanley Tulung: Mencari & Merawat Musik-Musik Masa Lalu.

Pengetahuan dan kekayaan intelektual yang tersusun dari waktu ke waktu tersebut seperti kumpulan perpustakaan yang sedang terbakar seiring waktu. Jangan sampai kita membiarkannya dan hanya tinggal kebagian abu.

Menjelang matahari turun, pelan-pelan warna langit berganti. Di bawah itu Stanley duduk sambil melempar obrolan tipis-tipis di resto milik aktris Jenny Rachman, di jalan Surabaya, Menteng, berseberangan dengan deretan toko-toko yang menjual barang antik. Selagi memilih menu, Stanley melanjutkan cerita tentang ikhtiarnya menelusuri jejak-jejak musik masa lalu.

Pria paruh baya ini memulai Ikhtiarnya pada tahun 2009. Namun jauh sebelum itu, sedari kecil Stanley memang sudah mencintai musik. Hal tersebut mulai terpancar dari masa kecilnya ketika dia les gitar. Jatuh cintanya kepada musik membawanya lebih dalam lagi ketika dia menyaksikan pertunjukan musik jazz oleh Les Paul di New York City, Amerika.

Suatu waktu ia pergi menyaksikan musisi jazz papan atas asal Amerika itu di Iridium Jazz Club. Tempat tersebut sebenarnya merupakan basement dari sebuah hotel di jalan Broadway, terbilang cukup kecil untuk jumlah pengunjung yang hendak menonton Les Paul. Kala itu Stanley membatin, “Bagaimana bisa seorang musisi jazz yang sudah luput dimakan zaman masih tetap relevan dan masih ditonton banyak orang?”

Kegundahannya akan minim catatan terkait musisi Indonesia era 50-60an, membawa Stanley ke pertemuan-pertemuan tak terduga.

Dari Les Paul Ke Jopie Item

Pertanyaan itu membawanya kepada satu jawaban: karena Les Paul masih tetap ditulis. Di negeri adidaya sana, bukan hal sulit mencari literatur sejarah dari seorang tokoh, dan orang-orang masih tetap ingin menulisnya. Pengaruh Les Paul terhadap skena musik jazz Amerika itu masih tetap digaungkan di mana-mana. Dari Amerika kepala Stanley terlempar jauh ke tanah airnya, “Gue mencoba melihat kembali, apa yang terjadi di skena musik Indonesia, di mana tidak ada literatur yang memadai yang menulis tentang musisi senior di Indonesia.”

Sebelum ia mulai menelusuri jejak-jejak musik masa lampau dan orang-orang menyebutnya sebagai pengamat musik 50-60an, Stanley sempat bekerja sebagai pegawai restoran dan hotel di Amerika. Lalu ketika memutuskan kembali ke Indonesia, dirinya memulai perjalanan mencari artefak-artefak musik 50-60an, sembari menyambi sebagai manajer restoran di Sarinah hingga Hard Rock Cafe Plaza Indonesia.

Yopie Item, salah satu gitaris legendaris Indonesia yang menjadi pintu pertama Stanley untuk bertemu banyak musisi senior Indonesia.

Jopie Item, Benny Mustafa, dan Sadikin Zuchra adalah musisi Indonesia generasi 50-60an yang pertama ditemui Stanley saat ia memulai ‘peziarahan’ menelusuri jejak musik Indonesia era transisi tersebut. Pertemuan itu cukup berkesan baginya, terutama dengan Sadikin Zuchra atau yang kerap Stanley sapa dengan Om Ikin. “Sadikin Zuchra itu dihormati karena skill musiknya bagus, attitude-nya keren. Bahkan seorang Jopie Item aja manggil dia om karena bapaknya Jopie aja main sama dia,” ujar Stanley mengingat-ingat obrolannya di rumah Sadikin Zuchra, di Jalan Probolinggo, Menteng.

Mencari Artefak Musik Masa Lalu Adalah Endorfin

Tidak ada maksud tertentu Stanley memilih musisi tersebut sebagai titik awalnya menjadi pengarsip. Dirinya tak ambil pusing, “Lebih ke siapa yang mau menerima gue duluan aja.” Dan di saat itu pula dia semakin tenggelam lebih jauh lagi dengan musik di tahun 50-60.

“Gue merasa setiap gue kali ketemu dengan tokoh-tokoh ini jadi (sumber) endorfin buat gue. Seperti dahaga yang sudah terpuaskan”, kata Stanley penuh semangat. Ia terpukau oleh sudut pandang dan cerita-cerita legendaris para musisi, seperti misalnya cerita dari Idris Sardi yang diutarakan kepada Stanley saat manggung di Osaka Expo, Jepang pada tahun 1970.

Di rumahnya, tertumpuk berbagai berkas serta foto-foto langka musisi Indonesia era 50-60an yang Stanley banyak dapatkan langsung dari tangan pertama.

Saat Idris memainkan biola dengan mengadaptasi teknik bermain rebah, seketika Canlo Ponti, seorang produser ternama asal Italia berlari kecil mendekat ke panggung. Canlo tampak khusyuk dan terpukau dengan apa yang dimainkan oleh Idris. Selesai manggung Idris diminta foto oleh Canlo Ponti. Mendengar itu Stanley sedikit curiga, ia meminta bukti lebih lanjut soal fotonya. Ketika benar apa yang diucap Idris bukan candaan, Stanley takjub, “Sebenarnya musisi-musisi kita ada di level yang sama seperti musisi dunia. Hanya memang, harus diakui, kiblat musik tidak di sini.”

Grup Musik Besutan Soekarno

Cerita tersebut berlanjut kepada grup musik The Lensoist, grup musik besutan presiden pertama RI. Pada rentang waktu 50-60an kegiatan berkesenian memang tidak bisa dipisahkan dari agenda-agenda politik. Invasi budaya Barat dengan The Beatles-nya memengaruhi hegemoni budaya populer di Indonesia. Atas dasar itu lahirlah The Lensoist, grup musik yang berisikan oleh Bing Slamet, Titiek Puspa, Nien Lesmana, Munif A. Bahasuan, Idris Sardi, Jack Lesmana, dan Bubi Chen, diinisiasikan langsung oleh Soekarno.

Debut lagu The Lensoist dirilis di tahun 1965 dan dinyanyikan oleh Rita Zaharah, Nita Lesmana, Bing Slamet dan Titiek Puspa. Pada tahun yang sama, lahir sebuah album kompilasi bertajuk “Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso”.

Pada saat itu Soekarno mengajak The Lensoist untuk tampil dalam acara Konferensi Asia Afrika di Aljazair. Tapi na’as, saat baru tiba di bandara The Lensoist urung untuk tampil karena terjadinya kudeta militer di sana.

Upaya yang dilakukan Soekarno untuk menggantikan tren musik dan tarian dari budaya asing yang biasanya kerap dijumpai dalam ballroom atau kelab akhirnya diwujudkan melalui gagasan grup musik The Lensoist dan tari lenso.

Pada medio 50an, Soekarno memang cenderung sengit dengan musik Barat. Produk kultur tersebut dianggap kontra-revolusioner, dan ia berikan cap musik ‘ngak-ngik-ngok’. Pesan tersebut banyak dipropagandakan lewat siar-siar radio. Lebih lanjut, pada tahun 1959 sempat dibuat peraturan yang melarang pemutaran lagu-lagu rock dan sejenisnya yang berasal dari luar negeri, terutama Barat. Melihat fenomena tersebut dibentuklah The Lensoist sebagai wujud representasi dari musik khas Indonesia. Namun seiring kudeta militer oleh angkatan darat yang berjalan lancar, perlahan budaya Barat juga masuk secara subur, dan The Lensoist tergantikan.

Dari musisi-musisi yang terbit pada rentang tahun 50-60an, penerus mereka seperti Damon, Koes Plus, Keluarga Item, Bragi, Om Gatot, Deva mulai bermunculan menghiasi industri musik generasi selanjutnya. Namun titik fokus Stanley hanya jatuh pada pengarsipan musik Indonesia hanya berfokus pada musisi 50-60an saja.

Kontribusinya Kepada AMI Awards

Perjalan pengarsipan Stanley membawanya hingga pada keikutsertaannya di dalam pemilihan awarding di Anugrah Musik Indonesia atau AMI Awards. Sebagai pengamat musik masa lampau, Stanley dimintai saran atas kandidat yang akan masuk kategori awarding. Ada 2 kategori yang didiskusikan bersama Stanley, yakni untuk Lifetime Achievement Awards dan Legend Awards.

Menurutnya seorang tokoh yang layak mendapatkan penghargaan ialah mereka yang berdedikasi kepada musik Indonesia. Para seniman yang memiliki konsistensi dalam berkarya, dan lagu-lagu mereka hidup lama di telinga pendengarnya.

Berdasarkan catatan Frans Sartono pada 19 September 2021, Empat Nada pernah mengiringi sederet biduan top selama kurun 1967-1968. Mereka antara lain Tetty Kadi, Anna Mathovani, Lilies Suryani, Ernie Djohan, Deddy Damhudi, Ronie Yus, dan The Begoes. 

Memegang KTP Para Musisi 50-60an

Perjumpaannya dengan banyak musisi masa lampau membikin Stanley berelasi cukup dekat dengan sejumlah keluarga musisi yang telah menghiasi belantika musik Indonesia. Hal itu bukan tanpa alasan, Stanley kerap membantu menyelenggarakan hajat silaturahmi antar keluarga musisi-musisi tersebut. Beberapa kali ia pun turut menjembatani musisi-musisi masa lalu dengan membuatkan beberapa acara yang berkaitan dengan musik dari generasi 50-60an. Bahkan Stanley memegang beberapa kartu identitas KTP (Kartu Tanda Penduduk) milik para musisi senior di tahun 50-60an.

Kartu identitas para musisi senior yang dipegang oleh Stanley itu dipergunakannya untuk membantu mengikutsertakan mereka dalam program BPJS ketenagakerjaan, seperti yang disarankan padanya oleh Candra Darusman. Candra Darusman sebagai Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia atau FESMI, memang bekerjasama dengan BPJS untuk menjaring musisi-musisi senior untuk masuk dalam program perlindungan tenaga kerja tersebut.

Harapan Stanley dalam melakukan penelusuran sejarah musik Indonesia 50-60an ini, agar di masa-masa selanjutnya semakin banyak anak muda yang sadar untuk merawat sejarah musik-musik masa lampau. Karena masih banyak lagi yang perlu digali dan ditulis tentang tokoh-tokoh musisi dan skena musik masa lampau. Terutama selagi para pelakunya masih ada. Pengetahuan dan kekayaan intelektual yang tersusun dari waktu ke waktu tersebut seperti kumpulan perpustakaan yang sedang terbakar seiring waktu. Jangan sampai kita membiarkannya dan hanya tinggal kebagian abu. 

Ignasius Satrio Krissuseno

Ignasius Satrio (l. 2004) Adalah seorang pelajar lepas yang belum berencana mentas belajar. Memilih untuk berhenti memakan bangku sekolah sejak kelas 2 SD, dan memutuskan untuk belajar di mana-mana. Di semak, di kampung, di kota. Pertama mengenal fotografi semenjak diberi kamera oleh bapak ibu saat berumur 4 tahun. Dalam perjalanan belajarnya, jatuh cinta pada dunia mencari dan meneruskan cerita. Telah mencoba medium tulis-menulis, fotografi, film dokumenter, dan beberapa medium eksperimental lainnya.

Mari bergabung bersama kami berkontribusi memajukan seni budaya Indonesia. Kirimkan data kegiatan di sekitarmu ke kontak@spektakel.id

Menulis Untuk Kami

Editor: Redaksi