Home > Ini Indonesia > Kuliner >
Mendoan Itu Harus Setengah Matang, Titik.
Mendoan Itu Harus Setengah Matang, Titik.
Mending neng desa, egin teyeng mangan mendoan, nyigit cengis karo ndelengna ko (Lebih enak di desa, masih bisa makan mendoan dan cabai sambil lihat kamu).
Kalimat diatas saya ambil dari dialog di film ‘Mentari di Sambirata’ karya pelajar dari SMA N 1 Rembang, Purbalingga. Bagi banyak orang, kalimat diatas mungkin hanya sekedar gombalan tak bermutu, seharusnya sudah ditinggalkan sekian puluh tahun lalu. ‘Hidup di desa, makan mendoan dan cabai’ apa yang spesial dari hal itu sampai disandingkan dengan perempuan cantik? Apa enaknya makan mendoan dan cabai? Apa itu mendoan? Apa bedanya mendoan dengan gorengan? Mungkin pertanyaan semacam itu muncul di kepala banyak oranng, terutama orang-orang di luar wilayah Banyumas Raya.
Hampir seluruh umur saya dihabiskan di Purbalingga, kabupaten serba ‘nanggung’ di wilayah Banyumas Raya yang jarang orang tahu. Dari semua potensi ‘branding’ kabupaten Purbalingga, entah itu pengrajin rambut, tempat kelahiran Jenderal Soedirman, Indro Wakrop dan Parto Patrio, justru ada satu sosok yang berhasil mengenalkan Purbalingga ke masyarakat Indonesia, yaitu Sumanto Sang Kanibal. Jadi saya sangat paham bagaimana posisi mendoan dalam khasanah kehidupan masyarakat Banyumas Raya, tsaahhh.
Sekarang mari mulai bahas tentang mendoan, dimulai dari jenis tempenya. Untuk mengetahui tentang dunia per-tempe-an, saya menghubungi maestro pembuat tempe asal Desa Pliken, Banyumas, yaitu Pak Slamet Solikhin. Desa Pliken yang berada di kecamatan Kembaran menjadi sentra pembuat tempe di kabupaten Banyumas, hampir seluruh warganya menjadi pembuat dan penjual tempe. Pak Slamet mulai berbisnis tempe sejak tahun 1990an, mengikuti jejak orang tua dan kakeknya. Dengan dibantu istri dan dua karyawannya , hampir setiap hari Pak Slamet akan mengolah 25 kg kedelai (yang tentu saja impor) untuk diolah menjadi tempe. Ada tiga jenis tempe yang diproduksi oleh Pak Slamet: tempe khusus mendoan, tempe lentreng dan tempe gundil. Pada dasarnya semua tempe bisa dibuat menjadi mendoan, hanya saja tempe khusus mendoan ini lebih praktis karena dibuat dengan ukuran yang sudah disesuaikan. Sedangkan untuk jenis tempe lain biasanya harus dipotong dulu tipis-tipis disesuaikan dengan ukuran yang diinginkan. Hal ini kemudian memunculkan dua mahzab penikmat mendoan, ada yang harus menggunakan tempe khusus mendoan dan yang tidak peduli jenis tempenya yang penting bisa dibuat mendoan.
Pak Slamet Solikhin, maestro pembuat tempe dari Desa Pliken, Banyumas, sedang memperlihatkan salah satu tempe hasil buatannya.
Menurut Pak Slamet, kebersihan proses pembuatan menjadi penentu kualitas tempe yang baik, dari mulai proses pencucian sampai dengan penyimpanan untuk fermentasi. Misalnya jika air yang digunakan untuk mencuci kedelai tidak bersih, maka dipastikan kedelai akan menjadi tempe bosok (tempe busuk) yaitu tempe tidak layak konsumsi yang biasanya diberikan ke ternak. Setelah tempe dianggap matang, Pak Slamet akan membawa tempe olahannya pada dini hari ke pasar Sokaraja untuk dijual langsung ke pelanggannya. Dalam sehari biasanya Pak Slamet mampu menghabiskan 350 bungkus tempe khusus mendoan.
Tempe Pliken sendiri kebanyakan masih dijual secara tradisional ke pasar maupun warung di wilayah Banyumas, Purbalingga dan Cilacap. Distribusi yang terbatas ini salah satu faktornya karena daya tahan tempe yang sebentar sehingga pembuat tidak mau ambil resiko mengirim ke luar kota. Untuk membuat tempe dengan kualitas terbaik, tempe harus dikonsumsi pada hari ke 2 atau 3 setelah pemberian ragi. Setelah hari ke 3 biasanya tempe akan berubah menjadi semangit yaitu tempe yang sudah kadaluarsa dengan ciri-ciri mulai berbau asam dan mempunyai rasa yang pahit. Tempe semangit ini sudah tidak layak untuk dibuat mendoan, biasanya dipakai sebagai campuran untuk sayur.
Proses membuat mendoan sebenernya sangat sederhana, saking sederhananya membuat mendoan adalah kemampuan wajib bagi setiap keluarga di Banyumas Raya. Kemampuan ini sama pentingnya dengan kemampuan memasak air atau memasak mie instan bagi orang Indonesia. Poin penting dari membuat mendoan adalah harus dan wajib dimasak setengah matang, tidak boleh matang apalagi sampai kriuk. Konon, kata mendo sendiri dalam bahasa Banyumas mempunyai arti setengah matang atau lembek. Saya masih ingat dulu saat kecil jika ada anak laki-laki yang tidak lincah atau terkesan feminim akan diejek ‘Bocah lanang koh mendo’ (anak laki-laki kok lembek). Setengah matang dan lembek inilah pembeda utama antara mendoan dan gorengan tempe, yang sayangnya sering diabaikan hanya karena ‘yang penting sama-sama tempe dikasih tepung dan digoreng’. Jika sedang bepergian ke luar kota, saya sering kecewa saat memesan mendoan tapi yang datang adalah gorengan tempe yang kriuk. Bagi orang Banyumas Raya, kekecewaan ini sama dengan saat kita melihat kaleng Khong Guan tapi begitu dibuka berisi rengginang atau peyek kacang.
Nah untuk tahu perihal membuat mendoan, saya menemui Mbak Sias, pemilik warung mendoan di Purbalingga. Mbak Sias belum terlalu lama membuka warung mendoan di depan rumahnya, kurang dari 5 tahun. Walaupun begitu, warungnya sering ramai oleh pelanggan yang mengantri untuk membeli mendoan, padahal tidak jauh dari warungnya juga terdapat penjual mendoan lain. Jika diperhatikan, pembeda utama dari kedua warung tersebut adalah jenis tempe yang digunakan.
Mbak Sias tengah menyiapkan adonan untuk membuat tempe mendoan.
Mbak Sias menggunakan tempe khusus mendoan, sedangkan kompetitornya menggunakan tempe biasa yang kemudian diiris tipis-tipis. Menurut Mbak Sias, pembeli memang lebih banyak mencari yang menggunakan tempe mendoan dibanding tempe biasa, walaupun sebenarnya lebih menguntungkan jika menggunakan tempe biasa. Untuk adonannya beliau menggunakan campuran tepung beras dan tepung terigu, kemudian untuk bumbunya yaitu bawang putih, ketumbar dan garam, ditambah daun bawang agar rasanya semakin gurih.
Selama masih hangat, sebenernya mendoan bisa tetap dinikmati tanpa tambahan apapun. Tetapi jika ingin melipatgandakan kenikmatan itu, cabai hijau dan sambal kecap adalah solusi terbaik. Hampir setiap warung mendoan pasti menyediakan salah satu atau keduanya, jika tidak ada berarti saat itu harga cabai sedang tinggi. Di hampir setiap tempat makan di wilayah Banyumas Raya menyediakan mendoan sebagai salah satu menunya, dari mulai warung pinggir jalan sampai rumah makan. Anehnya, mendoan justru sangat jarang ditemukan di tukang gorengan, bahkan sampai sekarang saya belum menemukan ada tukang gorengan yang menjual mendoan.
Banyaknya penjual mendoan menjadikan beberapa pedagang melakukan inovasi terhadap makanan ini, beberapa masih dinikmati sedangkan yang lain kadang membuat dahi saya berkerut. Beberapa diantaranya, mendoan bakar biasanya dijual di angkringan, mendoan raksasa, mendoan pinky, mendoan mozzarella dan mendoan Green Tea. Tapi ada satu inovasi yang berhasil membuat saya mengerutkan dahi, yaitu mendoan stroberi, sederhananya mendoan tapi diberi toping buah strawberry. Masalah bentuk tidak saya persoalkan, tapi kalau masalah kombinasi rasa sepertinya perlu dipertimbangkan. Suatu saat teman saya mencoba memesan mendoan stroberi karena penasaran, setelah memakan satu gigit saya menanyakan bagaimana rasanya mendoan itu, jawaban dia simple: “unik”. Dari sekian kosakata yang bisa menggambarkan rasa makanan, mulai dari enak, gurih lezat, manis sampai asin entah kenapa dia memilih kata “Unik” yang multitafsir untuk menggambarkan rasanya.
Tempe mendoan serta adonan tepung mendoan. Biasanya adonan mendoan menggunakan tepung khusus yang sudah dicampur oleh berbagai bumbu. Tepung tersebut lalu dicampur dengan air serta daun bawang sebagai lapisan tempe mendoan.
Bagi kami masyarakat Banyumas Raya, mendoan tidak bisa digolongkan sebagai lauk atau cemilan, kami lebih suka menyebutnya dengan klangenan (sesuatu yang disukai). Keberadaan mendoan dibutuhkan hampir di setiap aktivitas masyarakat Banyumas, dari mulai teman melamun sambil memikirkan tagihan cicilan sampai selametan karena berhasil lolos tes CPNS. Penikmatnya pun tidak memandang strata ekonomi maupun status sosial, dari mulai tukang becak yang sedang menunggu penumpang sampai pertemuan pengusaha dan pejabat untuk membahas proyek, semuanya akan senang jika dihidangkan mendoan. Bagi saya dan mungkin bagi banyak orang lain, makan mendoan dengan cabai adalah cara paling sederhana untuk menikmati hidup, paling tidak itu tafisran saya.
Pramoedya Ananta Toer dalam novel Rumah Kaca menulis kalimat “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya”, izinkan saya sedikit mengubah kalimat tersebut “Mendoan sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya”.