Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia >

Arcida Gentayangan

Arcida Gentayangan

Teks & Foto oleh: Dimas Jayasrana

Arcida Gentayangan

Nama 'Gentayangan' bukan sembarang nama. Gentayangan adalah nama kelompok mereka—berasal dari pekerjaan mereka yang membuat mereka keliling kota Jakarta secara acak, layaknya hantu gentayangan, mereka hadir di waktu dan tempat tanpa dapat diduga.

Tiap pulang dengan kereta commuterline terakhir jurusan Depok atau Bogor, saya sering berpapasan dengan sekelompok penjual sepatu keliling. Kami naik kereta dari stasiun Cikini, turun di Pasar Minggu. Berbarengan.

Tas besar gembolan berwarna biru usang, ada bolongan di sudut-sudut bawah, penanda telah dipakai bertahun-tahun membawa puluhan pasang sepatu. Beratnya sekitar 22-25 kilogram. Ada plastik yang mereka tenteng di tangan, bahan peraga untuk calon pembeli. Semburat keringat menemani wajah yang berminyak. Sering mereka menyindir satu sama lain, menyindir kehidupan mereka sendiri.

Salah satu penjual sepatu keliling dengan gembolan biru berisikan sepatu jajaannya.

Mereka menjual sepatu 'aspal' berbagai merk. dibagi dua jenis saja; sepatu kets kasual dan formal. Sepatu aspal kets kasual merk ternama macam Adidas dan Nike serta sepatu formal merk Yongki Komaladi adalah produk utama yang dijaja.

Kadang salah seorang dari mereka melintas depan kantor, menawari kami yang sedang merokok di teras, sambil lalu. Selalu ada penasaran dengan barang dagangannya, selalu penasaran dengan cerita yang mereka punya.

Suatu malam melintas penjaja sepatu keliling di depan kantor. Saya undang pemuda gagah ini untuk mampir. Dani Galideur Gentayangan, 29 tahun, asli Bandung. Begitu dia mengenalkan dirinya, loud and proud.

Berbincang kami, sembari saya melihat dan memilah sepatu yang sekiranya punya potensi untuk dibeli. Selayaknya marketer papan atas, Deni Galideur Gentayangan, mempresentasikan keunggulan produk yang diklaim sebagai "barang aseli dari pabrik".

"Palsu ah", ujar saya.

"Yeee, aseli ini mah A'!", balasnya.

"Barang aseli ga begini kali cuy", debat saya.

"Ini barang aseli dari pabrik", kukuhnya.

"Lu pernah dirazia ga? Dituduh jual barang palsu?".

"Sering A'! Berapakalilah ditanyain polisi!".

"Trus?".

"Ya saya bilang aja ini barang KW 2!".

"Trus?!".

"Ya udah A', ga diapa-apain. Tapi pernah, saya sampe dipukul di kepala pakai sepatu, sama polisi. Dikeplak-keplakin".

"Itu pas elu lagi jualan di mana?"

"Di Komdak (Samsat Polda Metro Jaya)! Saya nawarin sepatu di deket parkiran, eh taunya dia reserse!".

Saya ngakak.

 

*****

 

Deni Gelideur Gentayangan adalah satu dari sekian banyak penjaja sepatu keliling. Profesi Deni Gelideur Gentayangan sebelum menjadi markerter "sepatu aseli dari pabrik" adalah penjahit di konveksi kelas rumahan. Sayangnya dia harus mengakhiri karir karena sepupunya yang satu tempat kerja membawa kabur motor majikan. 

Deni tinggal bersama beberapa koleganya di satu kontrakan. Mereka semua punya bos yang sama. Mereka berbagi wilayah jajahan. Mulai beroperasi jam 5 pagi, biasanya pulang jam 12 malam, ada juga yang berangkat selepas waktu Ashar - tergantung trayek mana yang mereka ambil.

Nama 'Gentayangan' bukan sembarang nama. Gentayangan adalah nama kelompok mereka—berasal dari pekerjaan mereka yang membuat mereka keliling kota Jakarta secara acak, layaknya hantu gentayangan, mereka hadir di waktu dan tempat tanpa dapat diduga.

Itulah yang dituturkan Kang Ucha, yang nama aslinya Rahmat Hidayat - pemuda umur akhir 39 tahun. Menurut Kang Ucha, nama Gentayangan lengkapnya adalah Arcida Gentayangan. Arcida adalah akronim dari Anak Remaja Cinta Damai. 

Kang Ucha alias Rahmat Hidayat tergabung dalam Arcida Gentayangan, salah satu kelompok penjual sepatu keliling. Seperti namanya, mereka berkeliling kota Jakarta secara acak macam hantu gentayangan.

Kang Ucha sudah 20 tahun berprofesi sebagai penjaja sepatu keliling. Si Bos yang disebut-sebut oleh Deni adalah pelindung mereka dan Kang Ucha sudah nunut Si Bos sejak remaja hingga hari ini. Si Bos menyediakan kontrakan, jaminan kesehatan, serta modal dagang berupa unit sepatu yang siap dijual.

Sistemnya berdasarkan kepercayaan saja. Para penjaja tidak perlu menyetor uang garansi. Si Bos memberikan harga dasar sepatu yang kemudian dijual kembali oleh para penjajanya sesuai dengan kondisi lapangan. Kisarannya antara 100 hingga 200 ribu, namun bisa saja dijual 80 ribu bila kepepet.

Para penjaja bertanggung jawab sendiri untuk makan serta ongkos operasional mereka, walau kadang mereka pinjam uang ke Si Bos untuk modal ongkos kerja. Pasokan sepatu berasal dari Cibaduyut, Bandung, yang memang sudah lama terkenal sebagai sentra kerajinan sepatu di tanah Jawa.

Kang Ucha paling senior diantara Deni serta kawan-kawannya. Biasanya anak baru akan dilatih sebagai asisten dengan cara mengikuti seniornya berjualan. Orientasi wilayah hingga informasi transportasi publik serta jam operasionalnya menjadi kurikulum utama selain teknik menawarkan barang.

Setiap penjual sepatu keliling dibekali segembol sepatu oleh sosok yang dipanggil Si Bos. Tak ada kompensasi bagi Si Bos, ia hanya melepasnya dengan harga dasar untuk kemudian dijual para penjaja di kisaran 100-200 ribu.

Saat ini ada 7 orang dalam kelompok Kang Ucha. Mereka tinggal di Pasar Minggu, dekat stasiun, area yang dikenal dengan nama Kampung Jawa. Sebelumnya ada 40 orang dalam kelompok tersebut, tetapi perlahan mereka membuat "kelompok pecahan".

"Kelompok pecahan" bekas anak buah Si Bos, memutuskan untuk membuka usaha jaja sepatu keliling sendiri. Tidak ada konflik soal ini, semua bisa dibicarakan dan dimusyawarahkan, jelas Kang Ucha. Hampir semuanya berasal dari Sukabumi, termasuk Si Bos. Mereka dari satu 'kemanoran' (istilah wilayah kelurahan - gabungan beberapa desa dalam bahasa mereka) - dan tali persaudaraan primordial adalah mata uang utama. Semacam kontrak kerja otomatis. 

Sistem berdasarkan rasa percaya satu sama lain ini bukannya tidak rawan masalah. Penipuan dengan cara membawa lari barang dagangan pernah terjadi. Ada yang skala besar. Si Bos sendiri pernah tertipu, barangnya sebanyak satu mobil boks dibawa kabur. Ketika Kang Ucha saya tanya bagaimana Si Bos mengatasi persoalan semacam itu, jawabannya sederhana; "diikhlaskan saja", ujar Kang Ucha sembari tertawa.

Sejauh ini tidak ada persaingan frontal, bahkan antar kelompok biasanya saling memberikan informasi yang dirasa berguna untuk kepentingan dagang mereka. Bahkan kelompok Kang Ucha berjejaring dengan kelompok dagang lain, seperti kaos serta suvernir.

Informasi yang dipertukarkan seputar acara atau kegiatan yang memiliki potensi pembeli. Misalnya acara konvensi partai. Menurut Kang Ucha, acara seperti itu memiliki peluang dagang yang menggiurkan. Peserta konvensi datang dari berbagai penjuru Indonesia, dan bagi pedagang seperti Kang Ucha dengan sepatunya serta kelompok lain yang menjual kaos serta bendera, para peserta dari luar kota adalah target pasar.

Maka, sembari berjalan menyusuri jalan-jalan ibukota, mata mereka juga awas melihat sekeliling, sekiranya ada baliho besar, bendera, atau pernik lainnya yang mengindikasikan kegiatan partai atau ormas. Mereka akan mencatat, kemudian menelusuri lebih rinci dengan cara jelajah internet. Informasi-informasi inilah yang kemudian dipertukarkan dengan jaringan kelompok mereka.

Perbincangan saya dengan Kang Ucha harus berakhir, karena satpam Stasiun Kereta Pasar Minggu dengan sopan meminta kami untuk meninggalkan area karena sudah jam tutup operasi. Saya mengundang Kang Ucha untuk mampir ke kantor kami, sekiranya ia sedang melewati area Cikini - dan ia dengan senang hati menyambut undangan tersebut. Kami akan membahas perkara "bedanya merk sepatu yang ada hurup er dengan buletan dengan yang tidak".