Home > Ini Indonesia > Komunitas >
Part 1: Rasan-rasan Tutupan Pameran Eko Nugroho: Jogja, Seni, dan Ekspresi
Part 1: Rasan-rasan Tutupan Pameran Eko Nugroho: Jogja, Seni, dan Ekspresi
Terselip di tengah hiruk-pikuk Galeri ROH Jakarta, Eko Nugroho menyempatkan bertemu dengan seorang teman lama yang sudah cukup lama tidak bertemu. Kebetulan hari itu merupakan hari terakhir pameran tunggalnya di sana. Dalam pertemuan itu, perupa kelahiran 1977 yang berkesenian lewat bermacam medium termasuk lukis, patung, desain, dan komik ini rasan-rasan bersama sang teman, Dimas Jayasrana. Sebuah sesi tukar rasa dan cerita melihat kembali sepak-terjang menjadi pelaku di ekosistem seni dari masa-masa pergantian milenium sampai dewasa ini.
“Mas, benar gak ya ini terjadi, 2006 saat Jogja gempa aku punya memori aku terbangun di pagi hari, lalu ditelepon Mas Eko. Ngomongnya cepet, ‘Dim aku gak bisa lama, Jogja gempa. Aku baik-baik saja tapi gak tahu kondisi yang lain.’ tiba-tiba putus, tak. Soalnya memori ini datang dan pergi…” Begitu pembicaraan mereka dibuka, menerawang jauh ke belakang sekitar 15 tahun.
Waktu itu, 2006 internet sudah ada, namun belum sedahsyat sekarang jangkauan dan kemampuannya menyalurkan berita. Dengan sumber informasi yang terbatas, panik dan bingungnya sungguh terasa. Eko Nugroho turut mengenang masa itu, “Waktu itu beberapa teman memang saya telepon, salah satunya jenengan. Waktu itu ada isyu gede airnya naik, mau tsunami. Aku ngabarin terus aku lari, sekeluarga naik motor ke area tinggi. Tapi terus sampai di ringroad kami teringat Merapi juga sedang aktif. Jadinya hanya menunggu beberapa saat di ringroad, lalu akhirnya pulang.”
Kebetulan gempa tersebut terjadi tiga tahun setelah Eko Nugroho pindah ke rumahnya sendiri. Tidak lama setelah menikah, Ia memboyong keluarga kecilnya ke rumah di Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul. Sebuah desa di Selatan Jogja, masih berada di dalam ringroad, meskipun di bagian paling ujungnya. Tatanannya cukup berbeda bila dibandingkan dengan tempat Eko Nugroho dulu tinggal, di Prawirodirjan; sebuah kampung tengah kota yang dengan tetangga beda RT saja sudah tidak saling kenal.
Suasana penutupan pameran "Cut the Mountain and Let It Fly" oleh Eko Nugroho di ROH Gallery. Dimas Jayasrana dan Eko Nugroho berbincang melepas kangen sekaligus membicarakan berbagai hal tentang seni, hidup berkesenian, dan identitas.
Sejak 2003 rumah tersebut merangkap menjadi studio hingga saat ini. “Waktu pindah di situ, gempa jadi hal yang banyak membantu dekat dengan masyarakat. Masyarakatnya solid, kompak banget. Kalau Covid memisah, yang dulu (gempa) itu malah mempererat.” Ia mengenang bagaimana pada bulan-bulan setelah gempa warga kampungnya bergotong-royong memitigasi kerusakan, membuat dapur umum, bahkan sempat mengungsi bersama di lapangan. Keberadaannya di tengah warga desa kala itu pun cukup disambut hangat. Ia sempat jadi ‘terkenal’ karena turut membantu menyalurkan bantuan logistik dari Jakarta yang jumlahnya lumayan, sampai bisa dialokasikan ke desa-desa tetangga. “Saya tinggal di desa, diterima dengan baik, memahami sifat kerja-kerja dengan perangkat-perangkat desa. Dan dekat dengan pemuda, itu yang paling penting.”
Gempa membukakan gerbang buat membuka perspektifnya tentang kehidupan di desa. Berkenalan dengan potensi tetangga yang ternyata bisa bikin patung borongan, ada yang bisa menjahit; baik mereka yang sekolah maupun yang tidak sekolah. Dari sanalah ia mulai mencoba membuat proyek-proyek yang dikerjakan bersama orang lain.
Relasi yang terbangun selepas gempa tersebut membawa empat orang anak muda desa sekitar untuk terlibat bekerja di studio, semacam side project. Membantu dalam eksperimen-eksperimen, turut terlibat dalam proses penciptaan karya, walau saat itu fokus pengkaryaan Eko Nugroho baru dalam bentuk medium lukisan. Sejak saat itu, saat rasan-rasan ini dilakukan kini terdapat 13 orang yang turut bekerja di studio Eko Nugroho.
Muda-mudi dan Ekspresi
Cerita tentang pemuda dan desa tersebut merupakan sebuah topik yang menggelitik untuk dirambati pertanyaan tentang dinamika pemuda lain di Jogja. Satu kata yang kerap kali muncul, entah sambil lalu ataupun gencar di sosial media maupun media konvensional; klitih. “Aku jadi ada pertanyaan cukup tendensius, yang sebenarnya tidak terpikirkan untuk ditanya sebelumnya. Bila kita tarik ke masa sekarang, kenapa klitih jadi marak?”
Tim Studio Eko Nugroho yang tengah membereskan karya selepas pameran di ROH Gallery.
“Ini kayak era ya, di era saya dulu bentuknya geng-gengan. Joxzin, Qzruh, Keproex, dan teman-temannya. Tapi geng-geng itu sekarang sudah establish. Sudah tua. Dapat kerja sebagai tukang parkir, security, bahkan event organizer. Bagusnya mereka tidak regenerasi lah. Tapi sampai hari ini tetap bisa dibaca bahwa pernah ada pengelompokan Muhammadiyah sebagai Joxzin, yang non-Muhammadiyah Qzruh, lalu kelompok-kelompok kecil sisanya yang datang dan pergi. Masih dapat dilihat kehadirannya dalam graffiti-graffiti.” timpal Eko.
Dari yang ia ikuti, nama geng-geng tersebut sudah bukan menaungi kegiatan gengster lagi, walaupun orang-orangnya mungkin masih sama. Bahkan Joxzin sempat ditemui mencetak spanduk mengucapkan “selamat lebaran” di sebuah sudut Jogja. Sebuah ironi yang bisa ditertawai.
Hal ini membuka ruang untuk generasi baru untuk skena kekerasan jalanan di Jogja. Muncullah klitih. Pasca perkembangan internet dan penggunaan Facebook yang mulai marak, Jogja mulai diwarnai eksistensi anak-anak ini. Umumnya, tiap akhir pekan mereka akan membuat janji untuk bepergian dengan sepeda motor di sore hari. Berkeliling Jogja, dengan agenda saling serang selayaknya tawuran. Penyerangan pun dilakukan kepada anak-anak yang sama-sama berseragam, yang dianggap se-level. Konon, mereka memiliki sebuah peraturan: apabila ingin menjadi bagian dari kelompok tersebut, mereka harus pernah melukai orang terlebih dahulu. Maka dari itu, operasi tersebut biasanya dijalankan berdua; satu orang mengendarai motor sebagai saksi, satu lagi yang dibonceng sebagai pelaku yang melukai. Walau akhirnya tidak menutup kemungkinan, pada beberapa kasus bahwa kekerasan tersebut dilakukan sendiri.
Peliknya, semakin klitih berkembang, tidak hanya mereka yang berseragam sekolah, orang-orang awam pun semakin rawan untuk turut kena serang. Spekulasinya, sentimen sasaran gebuk/celurit sudah berpindah dari perseteruan antar geng jadi sebatas orang dengan motor yang lebih bagus, atau yang bergaya lebih keren. Aksi mereka pun menjadi semakin acak, beberapa darinya sudah tidak berombongan lagi. Hanya ada beberapa ciri khas semu yang bisa dibaca, seperti mereka biasanya naik motor-motor tertentu seperti KLX dan Mio di atas pukul 10 malam; jam-jam setelah waktu normal beraktivitas. Pergerakannya pun tidak persis di pusat kota, walau terkadang ditemui juga di pusat kota.
Pada satu sisi, sebetulnya klitih sendiri merupakan terminologi yang wajar digunakan sebelum istilah tersebut ‘dipinjam’ oleh anak-anak ini. Lepas dari stigmatisasi kriminal atau kekerasan. Pada masanya, kata tersebut dapat digunakan untuk mendeskripsikan aktivitas keluar malam, di luar jam normal orang-orang beraktivitas, entah untuk mencari alkohol atau sekedar hangout.
“Kalau dilihat dari Jogja dan image yang dibawanya, hal-hal ini kayak cabe rawit yang paling pedas. Sorotan seperti klitih, atau kost-kostan mesum. Belum lagi ada pembunuhan di dalam kost, mutilasi dan segala macam. Kalau dirunut kita seperti membaca tren jatuhnya edukasi dari fenomena-fenomena tersebut. Klitih sebagai aktivitas pelajar, dan kost, sebagai tempat yang otomatis berhubungan erat dengan pelajar; mahasiswa,” tukas Eko.
Ruang Identitas Para Entitas Jogja
Lingkaran permasalahan yang menyangkut pemuda di Jogja ini menyimpan sebuah kontras yang cukup ironis. Di sudut-sudut lainnya, kota Jogja dan provinsi DIY merupakan tempat digelarnya segudang acara-acara aktivasi kesenian, yang notabenenya juga dekat dengan dunia anak muda. Acara-acara tersebut muncul silih-berganti sepanjang tahun, setiap bulan, bahkan pada beberapa waktu sampai menumpuk dalam satu hari. Dari sana dapat terlahir sebuah pertanyaan yang agak menggelitik, “Kok kemudian jadi seperti ada segregasi antara yang ada kegiatan dan yang gak ada kegiatan. Klitih jadi seperti kelompok yang tidak masuk ke Utara, Selatan, atau tengah. Mungkinkah klitih ini semacam jadi ‘lost group’ yang bikin porosnya sendiri lewat cara berekspresinya sendiri?” timpal Dimas turut mencoba membaca.
Menurut Eko, kalau dilihat-lihat, walau area cakupan permasalahannya berada di wilayah anak muda, hampir pasti seruan mereka terlahir dari dasar budaya dan kondisi psikologi yang berbeda-beda. Seruan-seruan seperti klitih bisa dibilang datang dan pergi dengan cepat. Anak-anak yang sedang dalam proses aktualisasi diri dan berencana untuk mencari porosnya sendiri mungkin memang ingin menyuarakan, ‘ah, aku gak suka melihat Jogja yang kalem seperti ini’. Meskipun, bisa saja hal ini terjadi dalam rangka mencari legitimasi diri di komunitas, sebagai bagian dari proses aktualisasi diri itu tadi—ingin dicap bahwa dirinya ‘oke’.
Kalau ia tarik kembali, pergaulan di Jogja tidak bisa jauh-jauh dari perkara identitas. Identitas yang menonjol di Jogja ini bisa dilihat dari baik aspek kesenian maupun edukasi—tidak bisa ditelaah sesederhana menjadi menonjol secara finansial, karena identitas ini lebih ke arah apa kemampuan yang ditonjolkan, what you can do. Ini juga kemungkinan sebagai respons dari bagaimana dalam sektor bisnis Jogja tidak begitu kuat, dengan lebih langkanya kemudahan berbisnis bila dibandingkan di Jakarta, pada akhirnya identitas merupakan nilai tukar yang cukup berharga. Karena itulah, Jogja dalam atmosfernya yang terlihat ‘kalem’ dan ‘adem’, sebetulnya sering saling berlomba mencoba membuat banyak inovasi dalam berbagai ruang ekspresi.
Salah satu contoh sederhananya dapat dilihat dari teman-teman seniman graffiti dan street art yang terlihat bebas menghiasi sudut-sudut Jogja, yang sebetulnya memiliki semacam ‘pantangan’ untuk menghapus dua jenis karya street art, yakni adalah tulisan tagging dari geng dan suporter bola. Bila satu dari dua karya ini sudah duluan bertengger di dinding yang ingin mereka gambari, biasanya mereka memilih untuk melipir atau geser dari tempat yang sudah diisi dengan karya-karya ini, dengan alasan “Males, mending cari sampingnya atau apa,” kelakar Eko. Hal ini semakin menggarisbawahi dinamika tarik-ulur pengekspresian identitas di Jogja. Pengekspresian identitas entitas-entitas di Jogja ini gaungnya dapat didengar dimana-mana, bahkan sampai di luar Jogja sekalipun—terlihat dari tagging Joxzin dan Brajamusti dapat ditemui sampai Muntilan.
Di sisi lain, dalam ruang-ruang lainnya, dewasa ini identitas pemuda Jogja banyak dibangun dalam aktivitas-aktivitas yang digelar di kafe, atau rata-rata di sebuah tempat yang ada kopinya, di bawah atap bisnis-bisnis privat. Seiring berjalannya waktu, ruang-ruang umum seperti Jalan Malioboro pun mulai banyak diprivatisasi oleh turisme. Hal ini menyisakan Jogja dengan ruang ekspresi tak beratap, aksesibel, dan gratis yang semakin sempit.
“Ambil contoh Malioboro, kebanyakan anak-anak metal sudah tidak main di sana lagi. Dulu di Malioboro Utara ada ‘trash metal’, di tengah ada ‘anak punk’, lalu ke Selatan lagi ada grup lain. Tapi, mereka sekarang sudah malas karena tempat berkumpul tersebut sudah ‘cantik’. Dulu, bahkan di Malioboro banyak anak [komunitas] sepeda dan anak motor, sekedar kumpul dan berkeliling setiap hari. Tapi, banyak patroli juga sekarang, membuatnya semakin jarang. Entah bergeser ke mana mereka, tapi sejauh ini tidak lagi diberitakan keberadaannya. Mungkin nongkrongnya sudah tidak lagi di tempat-tempat yang jadi center of interest,” tutup Eko.
Sesi ras-rasan bersama Eko Nugroho berlanjut di artikel Part 2: Eko Nugroho: Dihidupi & Menghidupi Seni.