Home > Ini Indonesia > Tradisi >
Di Antara Kepulan Asap Mbako Mbah Marto
Di Antara Kepulan Asap Mbako Mbah Marto
Di antara hiruk-pikuk Pasar Manis Karangmoncol - Purbalingga, terlihat kepulan asap dari tiga titik. Di situlah para penjual mbako garangan atau tembakau bakar membuka lapaknya. Di lapak-lapak ini, mereka tidak sekadar melakukan transaksi jual-beli. Tetapi juga menjadi tempat pertukaran percakapan. Mulai dari hal remeh-temeh, hingga urusan negara.
Waktu menunjukkan pukul 07.20 pagi dan Pasar Manis Karangmoncol sedang ramai-ramainya. Penjual dan pembeli tumpah di dalam pasar, saling melontarkan tawaran. Keriuhan pasar merambat di udara pagi Karangmoncol, beradu dengan kepulan asap dan sayup percakapan dari lapak-lapak penjual mbako garangan. Salah satunya dari lapak milik Mbah Marto. Bapak tua berusia 73 tahun yang selalu sigap meladeni para pelanggan dibantu sang istri.
Seperti namanya, Pasar Manis Karangmoncol hanya buka setiap hari Manis alias Legi dalam penanggalan Jawa. Di Jawa Tengah, nama pasar berdasarkan hari pasaran memang hal yang lumrah - fungsinya sebagai patokan bagi para penjual yang menetapkan hari jualan berdasarkan perhitungan weton mereka seperti Mbah Marto yang hanya berjualan setiap Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Ketika tidak berjualan di Pasar Manis Karangmoncol, bapak tua ini berjualan berkeliling ke Pasar Makam Purbalingga atau ke daerah Semampir.
Di Karangmoncol, ia adalah salah satu dari tiga penjual mbako garangan di pasar ini. Masing-masing dengan settingan yang berbeda. Ada yang hanya bermodal alas terpal dan dingklik, ada pula yang menjajakan ragam mbako miliknya dalam kios semi permanen. Mbah Marto termasuk kategori yang pertama. Lapaknya sederhana, meski tidak seminimalis itu.
Mbah Marto kala berinteraksi dengan para pelanggan. Membicarakan berbagai jenis tembakau dan persoalan hidup.
Mbah Marto menyusun kiosnya sedemikian rupa hingga membentuk panggung pendek dengan kerangka kayu. Letaknya cukup strategis di tengah-tengah pasar, namun dengan pencahayaan minim. Hal yang justru membuat lapak bapak tujuh anak ini menarik perhatian. Suasana temaram lapaknya, kontras dengan situasi pasar yang kebanyakan benderang, menciptakan hawa yang intim dan intens antara ia dan para pembeli.
Suasana akrab di lapak mbako garangan memang hal yang tak terelakkan. Pada masa kejayaannya di periode pasca 1950-an hingga awal 1980-an, mbako garangan bahkan dijual di toko yang fungsinya serupa kedai. Aneka tembakau dijajakan, diracik, dan dihisap di tempat diselingi berbagai cerita tentang keseharian para pelanggan dan persoalan-persoalan lainnya. Hasil panen, rencana pernikahan anak, hingga persoalan negara tidak luput dibicarakan.
Budaya yang berakar dari tradisi ngudud mbako di kalangan petani di lereng timur Gunung Slamet di daerah Purbalingga. Buku Tembakau di Purbalingga, menjelaskan bagaimana menanam tembakau jadi semacam tradisi dari generasi ke generasi. Bukan untuk dijual, melainkan untuk ngudud saat ngaso di kebun. Di saat jeda, para petani ini saling berbagi mbako dan meracik udud mereka dengan taburan kemenyan sebelum dibungkus daun papir.
Para pelanggan bebas mencoba berbagai mbako yang dijajakan. Boleh dibeli, tidak jadi pun tak apa.
Dalam proses itulah cerita mereka tumpah, menjalin keakraban antara satu sama lain. Maka dari itu proses ngudud mbako dengan metode linting dewek atau tingwe tidak pernah jauh dari suasana yang hangat. Mbako juga menjadi simbol silaturahmi antara sesama mereka ataupun dengan sanak kerabat. Selain untuk konsumsi pribadi, mbako juga kerap disimpan untuk menjamu saudara atau tamu yang tengah berkunjung. Lumrah bagi tuan rumah untuk memberikan sepotong mbako sebagai buah tangan.
Kembali ke Pasar Manis Karangmoncol hari ini, di antara ketiga penjual mbako garangan yang kami jumpai, lapak Mbah Marto memang yang paling ramai. Pelanggan hampir tidak pernah putus mampir ke tempatnya. Beberapa adalah kuli pasar, beberapa lainnya adalah rekan sesama pedagang, atau bapak-bapak yang hendak menjual ayam ke tempat pemotongan di seberang lapaknya—bisnis yang ia pernah geluti sebelum akhirnya banting setir menjadi penjual mbako selama 40 tahun terakhir.
Baca: Petualangan Tembakau Garangan
Aneka tembakau ia jajakan. Mulai dari kisaran Rp20.000 per potong kecil hingga Rp300.000 per batang kecil. Tidak perlu ahli-ahli amat untuk melakukan transaksi di lapak-lapak mbako semacam milik Mbah Marto. Pelanggan bebas mencoba dan memilih mbako mana yang kiranya cocok di lidah dan kantong. Mbah yang satu ini pun dengan senang hati akan menjelaskan perbedaan mbako yang satu dengan yang lain. Raut wajahnya yang ramah selalu sumringah setiap kali ditanyai soal harga, karakter, hingga kualitas tiap-tiap mbako. Sementara tangannya yang keriput sigap mengiris mbako pilihan pelanggan untuk dicoba terlebih dulu. Urusan jadi beli atau tidak, itu urusan belakangan.
Tembakau di Purbalingga
Empat dekade sudah Mbah Marto menggantungkan hidupnya dari berjualan mbako garangan dengan berkeliling dari pasar ke pasar. Hasilnya memang lumayan. Terbukti ia sanggup menghidupi ketujuh anaknya dari hasil berjualan mbako, sampai anaknya yang tertua juga masih berminat mengikuti jejak dia berjualan mbako garangan.
Pabrik GMIT yang di masa kejayaannya sempat membuat Purbalingga sentra penghasil tembakau untuk produksi cerutu.
Sebelum pandemi, misalnya, pendapatan Mbah Marto misalnya dalam sehari bisa mengantongi sekira Rp300 ribu sampai Rp3 juta jika hari sedang baik. Namun rerata pendapatannya dari satu kali sesi jualan sekitar Rp900 ribu - Rp1,5 juta. Bahkan pernah ia meraup Rp3,5 juta dalam sekali melapak. “Entah karena apa tiba-tiba jadi sangat ramai. Makanya saya bilang, jualan mbako itu susah-susah gampang,” katanya.
Baca Juga: Kretek dan Saya
Meski tidak begitu populer, industri tembakau punya sejarah panjang di Purbalingga. Sisa-sisa kejayaannnya tergurat di tembok-tembok bangunan PT. Indokores Sahabat. Dahulu area tersebut merupakan tempat berdirinya PT. Gading Mas Indonesian Tobacco (GMIT), salah satu pengekspor tembakau jenis Na-Oogst, setipe dengan Vorsterlanden, yang diperuntukan sebagai pembungkus cerutu premium di Eropa. Sejarah industri tembakau di Purbalingga bahkan bisa dirunut terus hingga ke masa kolonial Belanda kala pasokannya berkontribusi sebesar 37% terhadap total pengiriman tembakau dari Karesidenan Banyumas ke Belanda pada 1904.
Iklan tembakau oleh perusahaan Belanda yang menjadi cikal bakal PT GMIT.
Industri mulai meredup pada akhir dekade 1970-an seiring meredupnya GMIT ketika mulai diberlakukan Kepres RI nomor 23 tahun 1974 tentang Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang. Pergantian pengelolaan perusahaan membuat jalannya perusahaan terseok. Ditambah dengan respons Belanda terhadap aturan tersebut berupa penutupan pasar ekspor tembakau Indonesia ke Rotterdam dan Amsterdam.
Industri tembakau Purbalingga kemudian boleh dibilang runtuh, tetapi tradisi tembakau rakyat kabupaten ini terus ada. Sampai hari ini petani-petani seperti di Desa Bambangan masih menyisakan barang sepetak lahannya untuk menanam tembakau. Tidak untuk dijual, tetapi untuk diedarkan di kalangan sendiri. Data dari Dinas Pertanian, lahan tanaman tembakau di Purbalingga hanya tersisa sekitar 12 hektar, sebagian besar di Desa Kutabawa dan Serang, Kecamatan Karangreja. Dan seiring dengan itu pula budaya linting dewek di lapak-lapak mbako garangan milik Mbah Marto tetap ada dan bertahan beserta cerita-cerita yang mengalir di antara mereka.