Logo Spektakel

Home > Sorotan > Situs >

Petualangan Tembakau Garangan

Petualangan Tembakau Garangan

Serat Subasita karangan Ki Padmasusastra (1914) menjelaskan budaya mengolah tembakau menjadi rokok kretek adalah cerminan dari perilaku kesantunan orang Jawa. Sedangkan serat Centhini mengisahkan bahwa tembakau adalah hidangan wajib bagi para tamu di Jawa karena dengan menghisap tembakau (rokok kretek) segala jarak dan perbedaan diri dapat dihilangkan. Obrolan menjadi lebih cair dan memunculkan aspek kekeluargaan yang kental.

Pemuda lajang yang menyukai fotografi produk asli Purbalingga, Cahyo Prihantoro adalah sobat saya yang gemar berkeliling kabupaten Purbalingga dengan acak. Berteman Vespa tua rakitan sembarangan, menyusuri Purbalingga hingga ke pelosok-pelosoknya. Salah satu petualangan membawanya ke Pasar Manis Karangmoncol dan bertemu dengan penjual-penjual mbako (tembakau) keliling. 

Ketika bos saya, Shuli, tiba dari Jakarta – Cahyo bercerita dengan semangat tentang para penjual mbako keliling tersebut. Maka kami tetapkan sebagai agenda wajib kunjungan kerja non uang dinas. Dua belas kilometer jarak yang akan kami tempuh, berangkat pukul 6 pagi agar tak tertinggal jam operasi pasar yang selesai pukul 08.00.

Maka pagi itu kami bertiga menerpa angin pagi yang dingin. Kantuk pun sirna karenanya, juga sebab pemandangan dusun serta persawahan yang kami lalui. Durasi perjalanan cukup 35 menit saja, tanpa macet – hanya sesekali menghindari kerumunan kambing di pinggir jalan. 

Area persawahan yang menemani perjalanan kami dari Kota Purbalingga menuju Karangmoncol. Foto: Shuliya Ratanavara.

Jam menunjukkan pukul setengah tujuh lebih sedikit dan pasar sedang ramai-ramainya. Terselip di antara penjual tas anyam, sayur, dan ayam potong, tiga lapak mbako sudah ramai dihampiri para pelanggan. 

Lapak-lapak mbako ini beroperasi layaknya warung kopi. Tersedia bangku panjang atau jongkok panjang di lapak yang lain untuk pembeli datang dan menyicip jenis-jenis mbako yang ditawarkan. Para pembeli boleh datang, duduk, melinting mbako, sembari ngobrol dengan si empunya lapak, sebelum akhirnya memutuskan apakah akan membeli mbako atau tidak. Biasanya mereka adalah rekan sesama pedagang di pasar hingga kuli panggul. Tak peduli siapa yang datang dan apapun keputusannya, semua tetap dilayani dengan sepenuh hati. 

Penjual tembakau dari Batak yang menjual tembakau per gulung sekitar 1920. 

Dulu kala, rokok kretek tidak hadir siap saji tetapi dijajakan keliling. Para pembeli akan melinting sendiri atau istilah populernya ‘tingwe’ alias linting dewe (melinting sendiri). Maka ketika Haji Djamari asal Kudus menawarkan rokok kretek lintingan siap saji, orang-orang mentertawakannya. Waktu yang membuktikan, ide “gila” tersebut kemudian menjadi bisnis konglomerasi. Bukan Haji Djamari yang tercatat sebagai pengusaha sukses pertama, namun warga Kudus lain bernama Nitisemito yang menjadi entrepreneur di bisnis rokok kretek.

Baca juga: Kretek dan Saya

Bersama istri, ia membangun kerajaan bisnis rokoknya. Awalnya ia melabeli produknya dengan nama “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Rokok cap Kodok Makan Ular). Namun karena label itu jadi bahan tertawaan dan dianggap tidak membawa hoki, Nitisemito menggantinya dengan nama Tjap Bulatan Tiga.

Shuli memamerkan lintingan mbako saya, setelah gagal mencoba melinting mbako sendiri. Foto: Cahyo Prihantono.

Kembali ke lapak mbako di Pasar Manis Karangmoncol, pemandangan yang hadir seperti mesin waktu yang membawa kami ke romantisme masa lampau. Terasa magis. Lapak ini bukan sekedar tempat membeli tembakau, namun lebih berfungsi sebagai ajang sosial. Bertukar celoteh, dari persoalan sawah hingga kehidupan terbicarakan di sini. Tentu saja, sembari menghisap lintingan tembakau dengan khidmad.

Tentu tidak mungkin kami tak turut serta menyicip selinting dua mbako sembari merasakan suasana. Mbako yang dijajakan akrab disebut ‘mbako garangan’. Penampilan mbako ini memang seperti habis digarang atau panggang. Warnanya hitam kelam di bagian luar serta mengeluarkan sedikit bau hangus. Tak lupa juga kemenyan yang jadi pelengkap.

Baca juga: Tutur Cerita Tembakau Srinthil

Lapak Pak Marto (73) jadi pilihan kami. Meskipun tempatnya cenderung gelap dan tersembunyi, kepulan asap konsisten terlihat. Mbako ia tawarkan dengan harga beragam. Mulai dari kisaran Rp5.000 per potong hingga Rp80.000 per potong—atau yang biasa dijual Rp300.000 per lempeng kecil dan Rp1.500.000 per lempeng besar. Ketika ditanya apa yang membedakan, jawaban Pak Marto kalem dan sederhana: rasanya. Saya manggut-manggut.

Dua kuli panggul Pasar Manis Karangmoncol, pelanggan di lapak mbako milik Pak Marto. Transaksi mbako tidak berlangsung cepat, melainkan penuh perbincangan. Foto: Shuliya Ratanavara.

Karena penasaran, kami putuskan untuk menyicip satu per satu tembakau yang dijual. Sebagai perokok aktif dengan pemasukan pas-pasan, saya menjadi satu-satunya yang bisa melinting di antara kami bertiga. Bagaimana lagi, tingwe merupakan salah satu metode penghematan agar mulut dan dapur sama-sama tetap ngebul di masa sulit seperti sekarang. Semahal-mahalnya mbako garangan atau rajangan tetap terhitung lebih hemat ketimbang merokok hasil pabrikan.

Layaknya vodka, mbako yang lebih mahal cenderung lebih halus dan yang paling murah tentunya terasa lebih kasar. Sebagai perokok aktif, saya langsung terbatuk-batuk dihisapan pertama tembakau murah. Sementara, ketika menyicip mbako dengan harga tengah, bisa dihisap dengan cukup mulus. Baru ketika mencoba mbako termahal yang dijajakan Pak Marto, rasanya sangat halus dan terasa hangat di dada.

Perbedaan lainnya ada pada aroma. Mbako yang lebih murah menguarkan bau hangus khas mbako pada umumnya. Namun, pada mbako yang lebih mahal tercium wangi tembakau yang lebih kuat. Ketika diisap, aroma asapnya pun tidak begitu mengganggu. Kemudian dari segi tekstur, mbako yang lebih murah cenderung lebih keras dan padat sehingga sulit dipotong. Pula ketika diremas agar menjadi halus saat akan dilinting. Nah, semakin mahal harganya, teksturnya tidak padat dan mudah dihaluskan.

Macam-macam jenis mbako yang ditawarkan di lapak Pak Marto. Yang paling bawah dihargai paling mahal, yaitu Rp5.000 per potong. Semakin atas, semakin mahal. Hingga yang termahal diletakkan tepat di sebelahnya. Foto: Shuliya Ratanavara

Semua jenis tembakau merupakan hasil dari proses dan periode penyimpanan yang berbeda. Perbedaan proses ini juga menyebabkan perbedaan warna dari tiap-tiap jenis mbako. Mbako dengan kisaran harga Rp5.000/potong - Rp30.000/potong cenderung punya warna yang tidak rata. Hitam di bagian luar, cokelat di bagian dalam dengan sedikit warna putih. Sedangkan mbako dengan banderol harga Rp80.000/potong memiliki warna hitam dan cokelat yang lebih pekat dengan semburat warna oranye sebagai penanda umur mbako. 

Baca juga: Tembakau dan Tradisi Warga Lamuk Legok

Setelah puas icip-icip, ternyata biarpun mbako garangan terhitung lebih murah dan bisa membantu usaha-usaha penghematan, toh sensasi rasanya tidak murahan. Merokok mbako garangan tentu memberikan rasa tembakau yang lebih kuat dan pekat ketimbang rokok-rokok pabrikan atau tembakau baur/rajangan yang karakter rasanya tidak jauh berbeda.

Rupa-rupa peralatan tingwe yang dijajakan Pak Marto. Mulai dari kemenyan, korek, papir, hingga dompet dari anyaman daun bambu atau slepen. Foto: Shuliya Ratanavara

Kami berpamitan saat waktu menunjukkan pukul 07.30. Tak lupa kami membeli mbako termahal Pak Marto dan seperangkat alat melinting berupa kemenyan, korek, dan wadah dari anyaman daun bambu. Waktu operasional Pasar Manis hampir usai, Pak Marto berujar setelah ini dirinya akan melanjutkan berdagang di Pasar Karangmoncol. Jika pembaca yang budiman sedang singgah di Purbalingga dan ingin mampir ke lapak mbako Pak Marto, beliau kerap menjajakan dagangannya di Pasar Manis Karangmoncol, Pasar Karangmoncol, Pasar Pekiringan, Desa Makam dan Desa Semampir di Kecamatan Rembang.