“Pangan itu seperti roh dalam perjalanan hidup kita. Ketika kita butuh makan, sama seperti tubuh, kita butuh roh untuk membimbing perjalanan.” – Krisna, anggota tim Sumber Pangan Jaya)
Rentetan pesan singkat di aplikasi komunikasi membawa saya pada suasana sebuah pagi di Solo: “Bro, nek besok rodo gasik memungkinkan ra? (Bro, kalau besok lebih awal memungkinkan tidak?). Jam 10 atau 11 sampai Solo. Rencana besok aku mau belanja ke petani,” ketik seorang figur di ujung pesan. Figur tersebut adalah Mas Tiead (34), seorang tukang sayur asal Surakarta, pendiri Sumber Pangan Jaya. Ialah konduktor dari orkestrasi sayur yang akan saya saksikan selama dua hari “magang” di sana.
Waktu menunjukkan pukul 09.56. Garasi sebuah rumah di Jalan Jageran–beberapa ratus meter ke Barat dari Pasar Legi Surakarta–terlihat sangat sibuk. Ia dipenuhi sekumpulan mas-mas yang sibuk mengestafetkan plastik dan keranjang berisi beragam sayur. Baju mereka didominasi warna hitam-hitam, dengan dandanan agak mirip seperti mau datang ke gigs. Di depan rumah itu, armada motor dengan keronjo plastik warna hijau dan satu unit motor roda tiga silih berganti datang dan pergi. Salah satu pintu rumah tersebut ditempeli stiker simbol perdamaian dalam ilustrasi sayur, sebuah logo bertuliskan “Sumber Pangan Jaya Surakarta”. Di rumah kontrakan yang hiruk-pikuk itu, Mas Tiead bersama 12 orang anggota tim yang kurang lebih sebaya, melakukan gerak usaha distribusi sayur di Surakarta dan sekitarnya. Sebuah lelaku yang telah dimulai sejak 2020. “Sekarang tim kami umurnya kisaran 40 tahun ke bawah semua,” ujar Tiead.
Beberapa hari sebelum pertemuan kami itu, saya dan Mas Tiead sudah berkenalan. Saya dikenalkan kepadanya oleh Mbak Editor Spektakel. Mereka merupakan teman dari jaringan pendidikan alternatif. “Aliran apa lagi kah ini?” batin saya. Pasalnya, jaringan pendidikan alternatif mungkin bisa dibilang sebuah jaringan yang cukup unik untuk menghubungkan saya dengan seorang pemuda juragan sayur. Bahan bakar penasaran saya semakin tebal setelah melihat video bernada jenaka di akun sosial perusahaan sayur besutannya. Dalam video tersebut terlihat sekumpulan mas-mas gondrong sedang mempersiapkan dagangan hasil bumi dengan tulisan “laki-laki tidak bercerita, tapi oncek-oncek brambang (kupas-kupas bawang)“. Gatal rasanya, ingin menangkap atmosfer dan cerita dari lingkup keseharian mas-mas tukang sayur ini.
Salah satu sudut markas Sumber Pangan Jaya.
Langsung saja, kami lanjut berkorespondensi via pesan singkat. Mas Tiead menyambut dengan nada bersahabat ala mas-mas Solo. Seringkali jawabannya datang dalam bentuk pesan suara dengan latar hiruk-pikuk kerja. Dari sana, Sumber Pangan Jaya sepakat untuk menerima saya menginap dua hari untuk “magang”, ikut dalam keseharian mereka.
Sebelum kami berangkat bersama membeli sayur ke petani, Mas Tiead menyambut saya di “kantin” kantornya, sebuah angkringan/wedangan persis di seberang Sumber Pangan Jaya. Saat itu ia sedang dalam fase pengiriman sayur gelombang lanjutan. Mengurus sisa-sisa pesanan dari restoran, hotel, dan kadang supermarket yang masih belum lengkap dari gelombang pengiriman pertama, pada sekitar pukul 07.00. Ia masih sibuk dengan handphone dan tumpukan nota, mengabari tim dan menerima kabar dari pelanggan. Setelah lebih longgar, saya memarkir tas berisi surplus sayur beberapa hari ke depan di rumah Mas Tiead. Dengan mobil keluarga yang merangkap mobil niaga miliknya, kami berangkat ke Kopeng membeli sayur.
Jagad Sayur
Perjalanan tersebut sepanjang sekitar 120 km bolak-balik. Tempat yang akan didatangi merupakan gudang panenan seorang petani dan pemilik lahan bernama Mas Deni. Beliau merupakan satu-satunya jaringan hulu Sumber Pangan Jaya saat ini yang merupakan petani langsung, bukan pemborong atau pedagang sayur tangan kesekian yang ditemui di pasar. Perjalanan menuju sana diisi dengan obrolan panjang, diiringi hujan deras khas awal tahun di sepanjang liuk kaki Gunung Merbabu. Sambil menyetir Mas Tiead bercerita, ia mulai menceburkan diri ke dalam keseharian menjadi tukang sayur ini semenjak melepas pekerjaan lamanya sebagai fasilitator pendidikan. Di akhir umur 20-an, ia berhenti dari sebuah lembaga pemberdayaan anak di Bali, lalu pulang ke Jawa. Tadinya ia ingin tetap mengajar, beberapa institusi pendidikan alternatif di Jogja telah diincarnya. Namun karena terbentur beberapa faktor, ia mengurungkan niat tersebut. “Sembari di Jogja aku mulai sering meracik wedang uwuh untuk dijual. Bahan-bahannya belanja di Pasar Beringharjo. Dari sanalah mulai berkenalan dengan pasar,” ujarnya.
Tiead dalam perjalanan menuju kebun salah satu petani suppliernya di Kopeng.
Tak lama, ia memutuskan kembali ke akarnya di Solo. Di sini ia turut merintis sebuah sanggar dan memulai bisnis distribusi sayur. Dengan modal tabungan BPJS setelah keluar dari pekerjaan, ia memulai Sumber Pangan Jaya. Awalnya selain hotel dan restoran, ia juga menyambungkan rantai distribusi sayur dari pasar ke rumah-rumah; banyak dari pelanggan awalnya merupakan para anggota sanggar tempat ia banyak beraktivitas. Sedikit demi sedikit operasinya lebih menjurus ke hotel dan restoran. “Dengan hotel dan restoran biasanya dibayar seminggu setelah sayur dikirim. Dari situ marginnya memang lumayan dan mereka setiap hari pasti butuh dalam jumlah yang lumayan besar,” kenangnya. Sejak saat itu, menjadi tukang sayur mulai dilihatnya sebagai moda bertahan hidup yang cukup mumpuni.
Seiring langkah, mulai tergaris nadi sistem dagang Sumber Pangan Jaya. Tiead membentuk sebuah jaringan pemetaan pedagang pangan di pasar-pasar dan toko seluruh Solo dan sekitar, berikut dengan konsumennya. Pada awal-awal riset, bahkan ia pernah berjaga di Pasar Legi–pasar induknya Solo–sejak jam 10 malam sampai pagi untuk mencari pedagang yang cocok. Untuk mencari calon konsumen, ia menyisir situs web untuk booking hotel dan restoran dan mencari peluang dari sana satu per satu. Ia mengenang, pada tahun pertama akhirnya ia mulai dibantu oleh bapaknya. Baru setelah itu bergabung teman-teman lain anggota tim, silih berganti. Bahkan ada juga beberapa mantan anggota tim Sumber Pangan Jaya yang mendirikan bisnis distribusi serupa.
Secara peluang sumber penghasilan, bisnis distribusi sayur dan bahan pangan ini diakui cukup menguntungkan. Namun pada kesempatan lain, Mas Tiead sempat membagikan refleksinya melihat kekurangan dari bidang yang ia geluti. “Aku tuh orang yang nggak punya banyak uang. Modalku nggak banyak. Malah beberapa hutang di bank, di teman. Kemudian–dengan sistem kerja ini–aku malah menghutangi orang yang punya restoran. Terkadang, beberapa ada yang pembayarannya tidak lancar, bahkan ada yang berhenti,” bebernya. “Titik lelah mungkin di sana. Iki aku wong ra duwe duit, ngutangi wong sugih sing duwe restoran. Tapi iki tak jalani. (Ini aku orang tidak punya uang, menghutangi orang kaya yang punya restoran. Tapi ini kujalani.) Mau nggak mau harus menerima realitas itu. Ada kebanggan juga bisa berjalan demikian lama membagi penghidupan melalui Sumber Pangan Jaya,” lanjutnya.
Suasana pagi hari di Sumber Pangan Jaya saat tim sedang menyiapkan kiriman dan meladeni pelanggan lewat aplikasi pesan singkat.
Ia masih mantap untuk sat-set dalam kerja-kerjanya, menjadikan orkestrasi persayuran di Solo sebagai panggungnya bersama tim. Mas Tiead bahkan telah memiliki nama panggung. Saya mendengar mayoritas pedagang dan klien memanggilnya dengan nama Jagad. Jagad Sayur.
Tersat-set kedua se-Solo
Sesampai di tempat Mas Deni, perjalanan ini juga sempat tertambat pada segelas kopi panas. “Sekarang banyak orang yang minta sayur macam-macam, sayur eropa-nan–sayur untuk keperluan resep hidangan luar negeri. Nek aku sendiri sih malah nggak doyan,” kelakar Mas Deni di balik seruput kopi. Cerita yang panjang tadi belum cukup untuk mengiringi kami kembali menyentuh tanah Surakarta. Selain memilah-milih sayur yang dibutuhkan, kami juga mampir ke Pasar Getasan sembari jalan. Membeli beberapa bungkus besar wortel, tomat, dan terong untuk tambahan stok. Di kursi penumpang, terhitung tiga kali saya mengasisteni Mas Tiead untuk meneruskan daftar harga pangan yang selalu berubah kepada calon pelanggan. Perjalanan kami hari itu baru selesai setelah mengantar sebuah pesanan dadakan, sekantong besar cabai oranye ke restoran ayam geprek. Mobil baru bergerak kembali menuju rumah Sumber Pangan Jaya sekitar pukul 19.00. Malam itu, hangat kasur rasanya sangat menggoda.
“Nggak setiap hari seperti ini, tapi belanja ke Kopeng memang dijadwalkan dua kali seminggu,” ujar Mas Tiead pada sebuah kesempatan ngobrol yang lebih santai di rumah. Jadwal tersebut merupakan secuil dari rangkaian ritme kerja para tukang sayur yang menyebut diri tersat-set kedua se-Solo ini. Untuk menambah efisiensi, saat ini Sumber Pangan Jaya terbagi dalam beberapa tim dengan tugas khusus. Ada tim belanja, tim preparasi yang mengupas dan menyiapkan sayuran, tim runner yang mengirim, dan tim admin yang menerima pesanan.
Suasana belanja di Kopeng. Tepatnya di depot milik Mas Deni, seorang petani yang juga mendistribusikan langsung hasil panennya ke pemborong ataupun distributor seperti Sumber Pangan Jaya.
Menurut Mas Tiead, menjadi tukang sayur merupakan hal yang cukup menguras waktu, emosi, juga fisik. Tak heran sepanjang perjalanannya, ia dan tim selalu menyempurnakan pola kerja yang sesuai dengan pesanan, keadaan pasar, dan tim yang mengerjakan. “Harus melatih pengelolaan emosi juga. Susah kalau dibawa kenceng, serius, harus bisa membuat itu dijalani saja. Di lapangan akan ada banyak sekali benturan, harus bersiap apa pun yang terjadi. Misalnya udah pesen, tapi ternyata spesifikasinya nggak cocok. Padahal kerja-kerja ini menuntut barang yang sangat spesifik,” ujar Mas Tiead. "Tukang sayur itu vampir, Mas. Lihat aja mereka belom pada tidur dari subuh. Kena hujan, kena ini itu, sehat-sehat aja," timpal Bang Ambon (28), salah seorang tim Sumber Pangan Jaya. "Solo yang katanya slow living, aku malah nggak. Ritmeku ritme Jakarta," ujar Mas Tiead.
Ritus kehidupan vampir pengantar sayur
Esok hari datang cukup dini. Hari ini merupakan kesempatan saya untuk mengikuti keseharian para vampir pengantar sayur. Pukul 04.00 terdengar alarm berkumandang dari beberapa perangkat handphone di kantor-rumah Sumber Pangan Jaya. Beberapa anggota tim bermalam di sana. Di garasi, sudah ada tim preparasi yang datang membawa sekarung bawang kupasan hasil pekerjaan rumah. Ada pula tim belanja yang memasang keronjo ke motor, lalu tancap gas menuju Pasar Legi.
Perjalanan saya hari itu dimulai dengan mencari sarapan tahok (semacam kembang tahu) di Pasar Gede, bersamaan dengan agenda Mas Tiead mencari buah-buahan untuk suplai supermarket. Dari sana, pulang sebentar untuk ganti kendaraan dan pergi ke Pasar Legi. Sesampai kembali di kantor Sumber Pangan Jaya, saya kembali ke Pasar Gede bersama Mas Krisna (29), salah satu anggota tim Sumber Pangan Jaya yang tinggal di kantor. Sat-set. Lalu langsung lanjut mengikut Mas Yova mengirim ke hotel. Lanjut lagi ikut Mas Adit naik motor roda tiga untuk mengirim beberapa tempat di Mall Solo Paragon. Minimal jarak yang ditempuh pagi itu sekitar 17 km, bolak-balik menjahit jalan-jalan Solo. Hebatnya, semua dilakukan sebelum jam 10-11 siang.
Tim Sumber Pangan Jaya sedang berbelanjan di Pasar Gede Solo untuk mengambil sejumlah pesanan.
“Biasanya aku bisa lebih cepat daripada ini. Cuma butuh 5-10 menit buat menamatkan Pasar Gede,” ujar Mas Krisna. Pada kesempatan lain, Bang Ambon, kawan sejawatnya bercerita bahwa untuknya keseharian menjadi vampir tersebut juga cukup menyenangkan. “Rasanya kayak main game, ada misinya tiap hari.”
Berjaya bersama
Saat ini operasi distribusi Sumber Pangan Jaya melebar ke Depot Sayur Sejahtera, depot sayur yang digarap dalam kolaborasi dengan Bang Ambon. Ia hadir sebagai lahan eksperimen menyediakan sayur untuk dapur-dapur rumah tangga, buka dari jam 6 pagi hingga 10 malam. Di sini, Bang Ambon sedikit banyak mengaplikasikan pengalaman dan jaringannya selama berorganisasi di skena punk dan Vespa. “Tapi masih belum untung ini, baru mulai jalan. Ngeliat aja bakal kayak gimana pasarnya,” ujar Bang Ambon. Dengan operasi ini para tim dihadapkan dengan kenyataan bahwa tidak semua bahan pangan terutama sayuran bisa terserap pasar. Seringkali di lapangan banyak sayur terbuang. “Dua tiga hari aja udah banyak yang rusak, hitam-hitam, jadi gak bisa dijual. Padahal sebenernya sih masih bisa dimakan.” Bang Ambon bercerita, mimpinya kalau sang depot sayur tersebut bisa berjalan secara berkelanjutan, ia ingin membuat warteg yang mengolah sayur-sayur agar tidak terbuang. “Ya mimpinya kalo nggak masuk perut ya paling nggak bisa kepake jadi pakan ternak,” lanjutnya. Hampir tiap malam ia dan tim penjaga depot mengolah sayur-sayur tidak layak jual jadi makan malam mereka. “Aku jadi naik 3 kg, padahal baru 10 hari kerja di sini,” ujar Kipli, seorang anak Vespa berbadan kurus, salah satu penjaga depot.
Depot Sayur yang digagas oleh Tiead dan Bang Ambon. Misinya adalah menjadikan Depot Sayur sebagai lumbung pangan sekaligus koperasi, baik bagi sesama distributor sayur maupun para petani di sekitar area Solo.
Lebih dalam, refleksi Mas Tiead selama menjalani langkah menjadi distributor sayur melabuhkannya pada sebuah mimpi. Ia bermimpi untuk bisa mendirikan koperasi bersama bagi para pelaku distribusi sayur. Kenapa koperasi? Karena, ujarnya, dengan menggabungkan kepentingan, jaringan, dan langkah banyak distributor sayur di kota akan berpotensi tercipta ruang bersama yang lebih efisien dan adil. Jaringan bersama, pesanan bersama. Harga bisa jadi lebih baik, bagi pihak produsen dan konsumen, dan komunikasi permintaan bisa lebih disesuaikan dengan pasar: mengurangi penimbunan stok atau permainan harga.
Sumber Pangan Jaya sendiri selalu punya mimpi untuk bisa mengambil sayur langsung dari petani, tapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah karena sulit sekali menemukan petani yang mau melepas sebagian dari panennya untuk para distributor. Yang teramati di lapangan, mereka lebih memilih menjual seluruh panennya pada tengkulak walaupun dengan harga yang berpotensi lebih tidak menentu. Lagi-lagi koperasi dilihat Mas Tiead sebagai salah satu jalan keluar dari masalah tersebut. Dengan kekuatan membeli dari beberapa distributor, akan lebih mudah untuk membeli hasil bumi langsung ke petani. “Masalah pangan itu di orang-orang kayak aku ini, di sistem distribusi. Kan asyik itu, ‘Koperasi Sayur Kota’, menjadi penghubung antara desa dan kota,” tutup Mas Tiead.
Sayangnya, mimpi tersebut bukanlah hal yang mudah dicapai. Upaya-upaya Mas Tiead selama ini untuk mengumpulkan teman-teman distributor sayur saja belum pernah disambut serius. “Diajak wedangan aja masih susah,” ujarnya. Para petani pun belum tentu bisa menyambut ide ini dengan mudah. Sebuah celetukan bernada gemas dan agak sedih diutarakan Mas Tiead sepulang ngopi di gudang sayur Mas Deni. "Mase aja tadi gak tertarik koperasi. Mungkin kita masih belum biasa dengan kepentingan komunal ya."
Makan bersama menjadi salah satu rutinitas wajib di Sumber Pangan Jaya, maupun Depot Sayur. Mereka kerap memasak stok-stok sayur yang sudah mulai tidak layak jual.
Pangan, tuntunan jiwa
“Makanya Sumber Pangan Jaya motonya: ‘Jaya Jaya Jaya’, sesuatu yang diulang, sesuatu yang berlanjut dan tidak berhenti di satu kata,” begitu statement dari Mas Krisna saat diwawancara sehabis mengemban tugas jadi tim belanja.
Keesokan paginya, hari ketiga saya di Solo, saya kembali main di pasar. Kali ini tidak berangkat dari kantor Sumber Pangan Jaya. Menonton kehidupan pasar sejak tengah malam hingga pagi. Tak jarang berpapasan dengan para tim Sumber Pangan Jaya di tengah hiruk pikuknya. Ada Mas Tiead, Mas Krisna, Bang Ambon, dan Mas Vian. Semua tersebar di sudut-sudut pasar. Rasa asyik bertemu mereka di pasar mengingatkan saya pada rasa seru bertemu kawan di gigs atau pameran. Rasa di mana tanpa janjian saja kita sudah yakin akan bertemu mereka di sana. Lalu, saya jadi membatin sesuatu, “Skena apa pun itu, pasti ada pahit-pahit dan penyok-penyoknya juga ya... Mau seni-senian, pangan-panganan, pendidikan, semua punya potensi untuk berkontribusi baik pada khalayak luas, dengan sekian panjang pekerjaan rumahnya. Tinggal bagaimana kuat ngelakoni-nya saja… dan jangan sampai lupa bertahan hidup sambil melakukan itu.”
Untung mereka vampir. Semoga panjanglah umur roh semangatnya. Berpijak dari tiap keronjo, plastik besar, dan keranjang bambu berisi bahan pangan yang mereka kirim. Menuntun dan dituntun belantara sumber pangan agar merasakan jaya bersama. “Mungkin ke depannya Sumber Pangan Jaya operasinya bakal ngene-ngene wae (begini-begini saja), tapi ya inginnya membangun sistem support seperti koperasi itu tadi,” tandas Mas Tiead.