Masyarakat Togutil sejatinya adalah para nomad yang menjalani hidup dengan berburu dan meramu. Namun, semenjak era 1990-an banyak orang Togutil yang telah menukar gaya hidup nomaden mereka dengan tinggal di rumah-rumah dalam perkampungan buatan Pemerintah atau sekadar tinggal berdekatan dengan kampung modern itu.
Orang Togutil. Sebagian dari kita lebih senang menyebut mereka sebagai masyarakat Tobelo Dalam. Terbagi dalam banyak klan dan tinggal menyebar di pedalaman Pulau Halmahera, Maluku Utara, masyarakat Togutil sejatinya adalah para nomad yang menjalani hidup dengan berburu dan meramu.
Pemburu yang ulung, serta peramu yang handal. Untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya, mereka biasa berbarter dengan masyarakat di luar komunitas mereka.
Perkampungan Pemerintah
Semenjak era 1990-an banyak orang Togutil yang telah menukar gaya hidup nomaden mereka dengan tinggal di rumah-rumah dalam perkampungan buatan Pemerintah atau sekadar tinggal berdekatan dengan kampung modern itu. Namun, mereka masih mengandalkan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hampir setiap hari mereka pergi ke dalam hutan.
Masih ada dego-dego ‘gubuk’ mereka di tengah hutan, tempat mereka melepas lelah setelah meramu sagu atau berburu hewan hutan. Dego-dego ini pun menjadi lambang kepemilikan. Jika telah ada dego-dego berarti sebaiknya kawasan itu dihindari, karena telah ada pemiliknya. Tak sembarangan seseorang dapat memasuki dego-dego yang bukan miliknya, jika dilakukan maka pelanggaran adat berat terjadi. Sanksi yang dianggap memalukan siap menunggu.
Di sekitar dego-dego tadi biasanya telah dibuka ladang, terutama oleh masyarakat Togutil yang tinggal di perkampungan pemerintah. Ladang yang ditanami pohon-pohon kelapa, singkong, atau ubi. Kelapa untuk dibuat kopra, sementara singkong dan ubi dijadikan makanan pengganti sagu. Beberapa telah ada pula yang menanam pala, cabe, dan cengkeh.
Berbagai komoditas tadi jika telah dipanen akan dibawa ke perkampungan transmigrasi yang terletak tak jauh dari perkampungan Togutil. Ada beberapa transmigran yang menjadi bandar hasil bumi dan siap menerima panen mereka.
Pemenuhan Kebutuhan
Sagu dan singkong memang sengaja ditanam oleh orang Togutil untuk makanan pokok mereka. Kebun sagu banyak terdapat di pinggiran kampung, sebelum memasuki kawasan hutan primer. Singkong dibudidayakan di ladang atau halaman rumah. Pemenuhan kebutuhan hidup selain karbohidrat didapatkan masyarakat Togutil di hutan Halmahera.
Jerat binatang dan tombak berpeluncur menjadi alat untuk mendapatkan protein hewani. Jaring pun telah mulai dipakai untuk mencari ikan dan udang air tawar di sungai-sungai yang membelah kawasan hutan. Selain untuk bertahan hidup, hutan pun menyediakan berbagai tanaman yang dapat digunakan untuk obat-obatan.
Akibat hidup selama ratusan generasi ditengah hutan, keterampilan membuat obat herbal dari tanaman yang tersedia mereka kuasai dengan baik. Ada daun-daun yang dapat digunakan untuk mengobati demam. Ada beberapa tanaman yang jika dicampur akan mampu mengobati sakit perut. Bahkan ramuan untuk mengobati luka terbuka atau infeksi yang timbul mereka punyai. Selain itu hutan juga menyediakan beberapa produk yang masih bisa didapatkan dengan lestari oleh orang Togutil, seperti rotan atau hasil sadapan pohon damar.
Tuntutan menjaga kelestarian hutan pun jatuh ke masyarakat Togutil. Karena saat ini, terutama di bagian tengah pulau Halmahera, hutan-hutan Togutil telah dijadikan kawasan Taman Nasional. Meski tanpa tuntutan sustainability ini pun mereka paham bahwa hutan harus dijaga, karena itulah “rumah” mereka.
Beberapa konflik dengan para perambah hutan ilegal sempat terjadi beberapa kali di masa lalu, karena mereka merasa bahwa para perambah itu secara serampangan telah merusak “rumah” masyarakat Togutil.
Seperti telah disebut secara singkat diatas, ruang hidup orang Togutil saat ini telah terkepung. Selain oleh perkampungan transmigrasi yang tersebar di banyak lokasi, berbagai perusahaan skala besar telah mendapatkan konsesi di sekeliling hutan Togutil. Utamanya perusahaan tambang mineral dan perusahaan kayu. Akibat skill yang dipunya dirasa kurang pantas, orang Togutil hanya mendapatkan pekerjaan yang sepele saja. Baik dari para transmigran maupun oleh perusahaan-perusahaan besar tadi.
Pemberdayaan sumber daya manusia lokal memang belum menjadi concern dari para pembuat kebijakan di Halmahera. Para pekerja berlisensi atau mempunyai skill khusus biasanya didatangkan dari luar pulau. Jelas bukan orang asli Halmahera. Namun tak selamanya hal buruk yang datang bersama orang luar.
Selain menerima hasil bumi masyarakat Togutil, para transmigran mengajarkan teknik bercocok tanam hortikultura dan pengolahan lahannya. Karena bertanam padi belum menjadi pilihan orang Togutil, meski lahan yang ada cocok untuk budidaya padi. Sedangkan kemampuan mengoperasikan alat-alat berat diajarkan oleh perusahaan-perusahaan besar tadi. Pun mengenai manajemen keuangan dasar, berguna paling tidak untuk mengetahui cara mengelola keuangan keluarga.
Masyarakat merdeka?
Maklum jika kita kemudian mengira bahwa segala hal “baik” yang dibawa orang luar tadi akan membuat kehidupan masyarakat Togutil berkembang positif. Namun ternyata tidak. Hal-hal asing tadi mereka kunyah sungguh perlahan. Tidak memberi banyak arti bagi kesentosaan yang diinginkan.
Generasi selanjutnya masih hidup di tengah mereka, belum terlihat mempunyai potensi yang jelas. Pendidikan dasar yang disediakan pemerintah ternyata bukan menjadi satu “fair trade” bagi keluarnya mereka dari ruang hidup sebelumnya. Hutan-hutan Halmahera yang hijau dan sentosa. Kentalnya napas hidup orang Togutil dengan hutan Halmahera membuat masyarakat ini gagap saat “dipaksa” menghadapi modernitas.
Hembusan modernitas yang datang bersama stigma negatif mengenai masyarakat pedalaman, menderu dalam berbagai rupa dan rasa: agama, pangan, rumah, pakaian, uang, dan berbagai konsep lainnya. Gagasan-gagasan baru ini tentu saja masuk, awalnya, dalam bungkus kedermawanan dan kepedulian, menganggap gaya hidup masyarakat Togutil barbar dan harus berubah.
Langgam yang umum dipakai di berbagai tempat di dunia. Langgam yang juga digunakan para kolonialis. Dengan memaksakan modernitas sebagai satu-satunya jalan hidup alih-alih merangkul jati diri mereka, seperti itulah kemerdekaan masyarakat Togutil dirampas. Rampasan yang entah digunakan untuk memerdekakan siapa.