Pandemi COVID-19, kebijakan lockdown, dan kelangkaan tempe membuat seorang ekspatriat Indonesia di Negeri Jiran merenungkan kerinduannya akan rumah dan makna pulang.
“Is it the only alley for tempe?”
Pertanyaan tadi aku lontarkan dengan nada kesal ke salah satu petugas di supermarket organik kelas atas di Kuala Lumpur Malaysia. Stok mereka ludes. Yang tersisa tinggal tiga bungkus kecil. Itu pun keduluan diambil sepasang remaja berkebangsaan Indonesia dengan koper ukuran besarnya.
Jelas saya bukan satu-satunya orang Indonesia yang menggantungkan harapan kepada tempe hari itu. Dan bukan pula yang terakhir. Sebab tak lama datang pula tiga orang mengecek rak tempe yang melompong sembari menggerutu dalam bahasa Indonesia. I feel you, guys.
Rak tempe yang kosong melompong diburu para migran Indonesia di kawasan Bangsar South, Kuala Lumpur.
Tempe bukan satu-satunya bahan pangan Indonesia yang habis diborong rekan-rekan seperantauan. Cabai hijau, Indomie, Mie Sedaaap, dan bawang merah juga terpantau kosong di supermarket ini.
Begitu kurang lebih keadaan di Kuala Lumpur jelang periode kurung (lockdown) merespons pandemi COVID-19 per 18-31 Maret. Di momen inilah saya baru menyadari betapa esensialnya tempe. Bukan cuma bagi saya, melainkan juga para migran asal Indonesia lainnya.
Alasan yang paling praktikal adalah bahwa tempe termasuk bahan makanan yang awet untuk disimpan dalam jangka Waktu panjang. Kami akan terisolasi di rumah masing-masing selama dua pekan (dan mungkin lebih). Jadi, tempe tentu pilihan yang masuk akal. Di samping itu, tempe bagi saya pribadi bisa mendekatkan diri dengan rumah. A taste of home. Apalagi di situasi serba tegang seperti sekarang.
Sebagaimana di Indonesia, stok bahan pangan di pusat-pusat perbelanjaan di Kuala Lumpur pun kosong. Semua menyiapkan kebutuhan untuk berdiam di rumah selama dua pekan. Termasuk para migran Indonesia.
Terlepas dari periode kurung, saya sendiri sehari-hari memang sering memasak. Dan betapa pun saya senang bereksperimen dengan masakan-masakan Barat atau Asia Timur. Pada akhirnya sambal tempe, atau sambal telur, menjadi andalan yang tak pernah gagal memuaskan lidah dan mengobati sedikit rindu akan rumah.
Saat berbagi cerita ini dengan teman-teman migran Indonesia yang lain. Mereka pun merasakan hal serupa. Salah satunya Indira dan Aldo, pasangan asal Indonesia yang menyetok cabai dan tomat demi memastikan mereka tetap bisa membuat sambal selama masa periode kurung. Meskipun sambal termasuk salah satu makanan yang praktis karena bisa bertahan hingga beberapa hari. Nyatanya alasan mereka memprioritaskan itu jelang lockdown adalah familiaritas. “Biar enggak stres karena enggak bisa pulang,” begitu katanya.
Indonesia, Apakah Kamu Rumah?
Makanan rumah memang bisa menjadi sedikit penenang saat keadaan di ambang krisis seperti sekarang. Persebaran COVID-19 yang telah resmi dinyatakan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO) ini tentu membuat kebanyakan perantau mencemaskan keadaan keluarga di kampung halaman.
Apalagi informasi seputar perkembangan terakhir situasi COVID-19 di Indonesia tak henti-hentinya berseliweran di grup-grup percakapan WhatsApp. Penerbangan dari dan ke Malaysia pun sudah ditutup. Sehingga tidak ada yang bisa “pulang ke rumah”. Jadilah kami hanya bisa memantau lewat berita-berita daring serta kabar teman dan keluarga.
Teman-teman migran seperantauan yang menjadi keluarga ke-2 di negeri orang.
Bicara soal rumah, bagi saya rumah adalah manifestasi fisik dari harapan dan ketakutan diri. Sedangkan pulang merupakan konsep tentang rasa aman dan nyaman. Kedua prinsip ini yang memunculkan dilema acap kali ditanya “Adakah rencana untuk pulang ke Indonesia?” Tentu ada! Hanya saja masa-masa seperti sekarang inilah yang sering membuat saya dilema.
Menjadi tenaga Kerja Indonesia, atau kerennya disebut ekspatriat Indonesia di Malaysia membuat saya bimbang. Saya tahu, saat ini tidak ada pilihan selain untuk tetap di Kuala Lumpur. Toh semua akses keluar dan masuk sudah ditutup. Akan tetapi misalnya ada pilihan, apakah kiranya saya akan pulang ke Indonesia untuk menjaga dan memantau orangtua di rumah? Ataukah tetap di sini dengan segala jaminan kesehatan dan fasilitas yang memadai dan memboyong ibu, bapak, serta adik?
Antara Tempat Tinggal dan Tempat Singgah
Sehari sebelum larangan mobilitas nasional di Malaysia, saya menerima surel yang menjelaskan aturan main work from home selama dua minggu ke depan. Ada catatan penting di bagian akhir dokumen petunjuk berbunyi “don’t overwork.” Wow, perhatian sekali! Saya memang tamu di Negeri Jiran ini, tetapi ternyata di perantauan saya bisa bekerja dari rumah dengan nyaman dan aman. Sumber sandang, pangan, papan, hingga jaringan juga terjamin.
Suasana sekitar kawasan Bangsar South, Kuala Lumpur nampak lengang sepenuhnya selama periode kurung yang diberlakukan Pemerintah Malaysia.
Sedangkan di Indonesia, banyak kawan-kawan berinisiatif untuk bekerja dari rumah tanpa aturan jelas di tengah situasi COVID-19 yang makin meresahkan. Bahkan ada juga yang masih harus kerja datang ke kantor! Seperti salah satu teman kuliahku yang kini menjadi jurnalis di media mode dan gaya hidup kenamaan ibukota. Ia terpaksa masih memiliki mobilitas tinggi mengurus sesi pemotretan di tengah angka kematian COVID-19 Indonesia yang mencapai 38 orang (red—jumlah terakhir saat artikel ini disunting). Tak lain dan tak bukan karena memang belum ada aturan tegas pemerintah terkait karantina wilayah, periode kurung, atau sekadar pembatasan gerak dalam merespons pandemi global ini. Bila sudah begitu, pada akhirnya saya harus bertanya kembali, apakah Indonesia adalah tempat tinggal yang ideal?
Unsur penting dari tempat tinggal tak sekadar soal wilayah untuk dihuni. Ia juga menyoal kepercayaan dan kenyamanan. Layaknya soal hati, is it for a good time or a long time? Buat saya, berlibur ke Indonesia seperti Labuan Bajo, Jogjakarta, dan Bali akan selalu menjadi hal menarik. Namun ketika dihadapkan dengan komitmen untuk tinggal menetap, cara “rumah” saya menghadapi krisis global di skala nasional seperti ini membuat saya masih enggan.
Ya, ya, ada pepatah bilang, “Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.” Tapi apa mesti begitu? Bagaimanapun, Indonesia tetap menjadi identitas diri yang tak bisa saya mungkiri adanya. Sebagaimana saya tak memungkiri betapa enaknya nasi diaduk dengan sambal tempe sembari menunggu giliran conference call berikutnya.