“I smell kretek! I can recognize it, there’s nothing smell like kretek! So I was looking around and I saw you – well, just a wild guess when I call and ask you if you’re from Indonesia!”,
Tahun 2005, di bandara Frankfurt yang menurut saya muram serta membosankan itu, saya menghabiskan waktu 7 jam transit – menunggu penerbangan ke Mexico City. Saya tidak membawa uang, hanya berpegang pada per diem yang akan saya terima setiba di Meksiko. Lelah berjalan berkeliling bandara yang membosankan, untuk kesekian kalinya saya masuk ke ruangan merokok. Sebagai perokok, membawa segambreng bungkus rokok kretek adalah keharusan.
Habis sebatang samsu, saya memutuskan untuk pergi ke gerbang tunggu untuk cari bangku dan selonjoran. Sambil berjalan, saya mengkhayal bisa minum kopi dan makan donat – amboi! Pasti nikmat! Saya tak menyadari saat itu ada suara memanggil dari kejauhan – terus melangkah gontai, sampai suara itu terdengar jelas sekali di belakang saya.
“Excuse me. Maaf, tunggu”, begitu suara memanggil, dengan Bahasa Indonesia yang kaku.
Saya menoleh dan tergagu melihat pria pirang tinggi, membuat saya mesti mendongak untuk melihat wajahnya.
“Yes?”, balas saya ragu.
“Indonesia? Dari Indonesia?”, begitu tanya dia.
Saya manggut-manggut sembari bertanya bagaimana dia bisa tahu? Tampang saya ini bisa jadi dituduh Filipina – karena kita memang banyak mirip. Saya pernah bertemu orang Filipina di bandara Paris yang wajahnya sungguh mirip tukang bakso langganan saya.
Cengkeh adalah komponen penting dalam rokok kretek. Foto: bolehmerokok.com
“I smell kretek! I can recognize it, there’s nothing smell like kretek! So I was looking around and I saw you – well, just a wild guess when I call and ask you if you’re from Indonesia!”, jawab dia sambil tertawa.
Saya ikut tertawa.
Rupanya dia pernah tinggal di Indonesia selama 6 bulan untuk keperluan bisnis, beberapa tahun sebelumnya. Dia sempat berkeliling beberapa wilayah, baik untuk keperluan bisnis maupun plesiran. Dari semua hal yang ia dapatkan selama di Indonesia, rupanya bau kretek adalah hal yang paling kuat terekam di memorinya. Bahkan ia bukan seorang perokok.
“Well, happy to hear that. You know what,? Here, this is for you”, ujar saya setelah mendengar ceritanya sambal menyodorkan sebungkus samsu kepadanya.
“Oh wow, really? I happily take this present!”, jawabnya bersemangat. Mata terlihat berbinar dan ia juga menjelaskan lagi bila samsu tentunya kretek yang paling familiar untuknya. Tak lupa kami bertukar nama, dan tetiba dia bilang;
“Hey, I still have time before my flight. Let me invite you for a coffee”, undang dia.
Pucuk dicinta, kopi pun tiba! Rezeki anak kretek! Tentu saja undangan itu saya amini sambil manggut-manggut kencang. Singkat cerita, kami menghabiskan waktu 20 menitan lanjut ngobrol, sambal menyeruput kopi, dan ya, makan donat!
Foto: bolehmerokok.com
Pengalaman kecil namun menarik karena kretek bukan sekali itu saja. Di beberapa perjalanan saya ke luar negeri, selalu ada momen-momen kecil yang lucu atau membuat haru. Di sebuah kafe kecil di Paris, pramusajinya bertanya sama saya – apa yang saya hisap.
“Oh no worry, this is legal”, jawab saya sambil tertawa.
Dia juga tertawa, bahkan lebih keras. Dia bilang baunya menarik sekali. Saya bilang bahwa yang saya hisap adalah rokok kretek Indonesia. Saya jelaskan sedikit tentang sejarahnya, apa beda dengan rokok-rokok lain di dunia, dan kenapa kretek menjadi spesial. Kemudian saya beri dia sebatang untuk mencoba. Saat itu, saya sungguh tidak tahu bila harga rokok di Prancis mahal sekali. Jadi, buatnya, pemberian saya sungguh berarti.
“I will try this now. I’ll tell my manager that I’ll take a minute break – so I can smoke it”, ujarnya sembari tersenyum lebar.
Saya melanjutkan ritual kopi dan rokok saya. Pramusaji itu tidak pernah kembali ke meja, kemudian saya lihat dia dari kejauhan dan kami bertukar pandang. Sambil tersenyum, dia mengacungkan jempol. Saya tersenyum lebar. Ketika hendak membayar, dia menghampiri saya dan bilang bila tidak usah membayar kopinya, karena ia yang traktir.
Muantap pakdhe!
Berbagai jenis merk yang beredar di pasaran. Banyak dari merk tersebut hanya beredar di wilayah tertetu. Foto: komunitaskretek.or.id
Tentu tidak semua pengalaman saya manis-manis gurih seperti rasa kretek. Ada kalanya orang menunjukan ketidaksukaannya sangat karena bau kretek. Saya pun pernah diusir dari kafe karenanya. Waktu itu saya rada mabuk (kata “rada” disini sekedar penghalusan saja) – dan dengan gagahnya, saya bilang ke pramusaji yang mengusir saya, meminjam cerita diplomasi kreteknya H. Agus Salim;
“You’ve to know, this is the reason why your people come to my country hundred years ago to took our land! Overdomeh!”, ujar saya heroik sembari menyorongkan sebatang kretek ke wajahnya. Hanya keajaiban yang membuat saya tidak berakhir di kantor polisi malam itu.
Menjelaskan soal kretek ke orang asing selalu mengasyikan buat saya. Bukan, bukan karena saya perokok – tetapi dalam catatan sejarah serta budaya, kretek mendapatkan tempat khusus sebagai salah satu identitas kuat Nusantara.
Serat Subasita karangan Ki Padmasusastra (1914) menjelaskan budaya mengolah tembakau menjadi rokok kretek adalah cerminan dari perilaku kesantunan orang Jawa. Sementara serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814, menyebut olahan tembakau dengan kata “ses” atau “eses”. Hingga hari ini, sebagian besar orang Jawa menyebut rokok dengan nama itu.
Centhini mengisahkan bahwa tembakau adalah hidangan wajib bagi para tamu di Jawa karena dengan menghisap tembakau (rokok kretek) segala jarak dan perbedaan diri dapat dihilangkan. Obrolan menjadi lebih cair dan memunculkan aspek kekeluargaan yang kental.
Sedangkan sebutan “udud” diduga berasal dari Babad ing Sengkala tahun 1602, yang menyebut masuknya tembakau ke Jawa dan aktivitas merokok berbarengan dengan tahun kematian Panembahan Senopati (1601). Liriknya berbunyi Kala seda Panembahan Syargi, ing Kajenar pan anunggal warsa, purwa sata sawiyose, milaning wong ngaudud, yang artinya Waktu panembahan meninggal, di gedung kuning tempatnya, bersamaan tahun di mana tembakau muncul, setelahnya orang mulai merokok.
Serakan catatan sejarah menyebutkan kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tidak ada asal-usul yang akurat, namun banyak kisah di kalangan pekerja pabrik rokok, kretek bermula dari penemuan Haji Djamari, sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, Haji Djamari merasa sakit pada bagian dada. Kemudian ia mengoleskan minyak cengkih di dadanya dan merasa sakitnya pun reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkih dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Singkat cerita, kabar mengenai obat kretek ini menyebar dan lambat laun permintaan untuk dibuatkan kretek a la Djamari ini bertambah.
Nitisemito dijuluki 'Sang Raja", tutup usia ditahun 1953. Kisah hidupnya dituliskan dalam novel Sang Raja oleh Iksaka Banu.
Namun bukan Djamari yang kemudian tercatat sebagai pengusaha kretek pertama di Indonesia. Adalah warga Kudus lain bernama Nitisemito yang menjadi entrepreneur di bisnis rokok kretek. Bersama istri, ia membangun kerajaan bisnis rokoknya. Awalnya ia melabeli produknya dengan nama “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Rokok cap Kodok Makan Ular). Namun karena label itu jadi bahan tertawaan dan dianggap tidak membawa hoki, Nitisemito menggantinya dengan nama Tjap Bulatan Tiga.
Ilustrasi kemasan rokok Tiga Bal. Sumber: komunitaskretek.or.id
Kotak pembungkus rokok ini bergambar tiga bulatan mirip bola, kemudian merek ini lebih dikenal pasar sebagai Bal Tiga. Merek Bal Tiga ini akhirnya menjadi merek resmi rokok produksi Nitisemito, dengan nama lengkap Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito. Secara resmi Bal Tiga lahir pada tahun 1914 di desa Jati, Kudus.
Hari ini 3 merk utama yang menguasai pasar domestik, namun kretek industri rumahan (banyak tanpa cukai) tetap memiliki porsi besar, terutama untuk kalangan menengah-bawah. Budaya tingwe (linting dewe – melinting sendiri) juga masih ada, walau tak sekuat masa lampau. Terlepas dari perdebatan soal kesehatan, bagaimanapun kretek adalah warisan budaya.
Pengepakan kretek tempo dulu. Foto dokumentasi Sampoerna.
Mengingatkan saya akan momen bertahun lampau, makan di warteg bilangan Tebet. Siang itu cukup ramai, mayoritas pelanggannya adalah supir bajaj. Ketika sedang asyik makan, bapak di sebelah saya minta tolong diambilkan korek, hendak menyalakan rokoknya.
“Nunsewu dek, ganggu. Arep udud. Soale bar mangan ora ngudud, matine ora sampurno!” (Maaf dek, mengganggu. Mau merokok. Soalnya, setelah makan tidak merokok, matinya tidak sempurna!), cerocos si bapak sambil ketawa mangap.
Monggo paaaaak, lanjuuuuutttt!