Logo Spektakel

Home > Sorotan > Komunitas >

Joget dengan Senang Bersama OM Lorenza!

Joget dengan Senang Bersama OM Lorenza!

Teks & Foto oleh: Eksan Hartanto

Joget dengan Senang Bersama OM Lorenza!

Beberapa minggu belakangan ini, berseliweran konten gigs dangdut yang agak berbeda dengan yang sedang menjamur sejak kemunculan Inul Daratista di tahun 2003. Sekumpulan orang tengah berjoget ria dengan santuy-nya. Gurat-gurat kebahagiaan terlihat lewat senyum sumringah mereka saat bergoyang dalam balutan kostum-kostum lawas nan jenaka, diiringi ketukan kendang dangdut yang membawa para penggemarnya ke era Evie Tamala. Cuplikan-cuplikan video itu diambil dari berbagai pelosok Solo Raya. Apa gerangan yang tengah mewabah di sana? Ternyata bibit siklon dangdut lawasan yang dibawakan oleh OM Lorenza.

Suatu siang beberapa minggu yang lalu, saat sedang mengaso sepulang dari sawah, sambil duduk dan merokok di teras rumah, saya berselancar di layar hp, mencari-cari yang sedang hits dan membuat saya penasaran beberapa hari terakhir ini: video-video lucu para penggemar OM Lorenza. Setelah menemukannya, saya tunjukkan video pendek itu kepada istri saya, “Buk, lihat ini lagi seru. Nanti malam main di dekat sini, lho. Stasiun Delanggu ngetan. Spektakel apa enggak mau ngeliput?” Dia mengangguk, tahu bahwa ini adalah panggilan hati suaminya sebagai penggemar dangdut, selain karena dia berkepentingan sebagai editor di media SBY ini (Seni BudaYa).

Orkes Melayu asal Sukoharjo yang tengah viral ini sudah eksis sejak 2007, didirikan oleh Budi Aeromax, lalu sempat vakum dan akhirnya pada 2012 diberikan kepada Murjiyanto, seorang jenius yang berhasil melirik celah untuk memoncerkan Orkes Melayunya. Dahulu, OM Lorenza juga mengusung dangdut koplo, genre dangdut modern yang sangat berjaya sejak fenom-Inul dua dasawarsa lalu. Namun, persaingan di “kolam” yang sama menyempitkan peluang tawaran manggung. Terlebih saat pandemi, banyak senimannya yang kehilangan pekerjaan. Saat menganggur itulah, Murjiyanto bersama anggota orkesnya iseng berlatih repertoar dangdut lawasan dan mengunggahnya di media sosial. Tak disangka ternyata banyak yang suka, bahkan banyak yang menyarankan supaya mereka melanjutkan konsep ini. Rezeki COVID-19, OM Lorenza sejak saat itu beralih ke dangdut retro murni, membawakan lagu-lagu tahun 70 sampai 90-an.

Malamnya, istri saya memilihkan kemeja paling genjreng yang ada di lemari, lalu menyelempangkan tali kamera yang baterainya sudah terisi full sedari sore ke bahu saya. Sergap sekali ia mengirimkan kontributornya ke sana. Tepat jam setengah tujuh malam, saya pun meluncur ke TKP, naik motor di tengah gerimis hujan yang sumuk. Di sepanjang jalan yang lumayan sepi, saya jadi teringat momen-momen masa remaja saya saat menghadiri pentas-pentas dangdut di sudut-sudut kampung. Suasana yang sudah tidak bisa saya temukan lagi saat ini di tengah gempuran skena dangdut modern. 

Suasana pentas OM Lorenza yang ramai namun damai. Para penonton terlihat asyik bergoyang bersama kawan di kanan-kiri, meningkmati alunan musik Orkes Melayu yang enak di kuping dan ramah di pinggang.

Sudah sekian lama pecinta dangdut seperti saya ini rindu dengan suasana pentas dangdut yang damai. Ambiens ini yang saya dapati ketika menonton video-video pentas OM Lorenza. Selain itu, kesederhanaan lirik-lirik lagunya yang dekat dengan realitas kehidupan rakyat jelata membawa saya flashback ke masa lalu sebagai seorang yang lahir dan besar di desa. Sebut saja beberapa lagu jadul yang masih enak didengar sampai sekarang, misalnya lagu "Anak Singkong" ciptaan AT Mahmud, "Pria Idaman" dan "Terkesima" karya raja dangdut Rhoma Irama, atau lagu "Bimbang" yang dulu populer dibawakan ratu dangdut Elvy Sukaesih. Komposisi lagu-lagu tersebut sangat relevan bagi remaja yang tumbuh di era tahun 80an–90-an. Bagi saya, dangdut jadul masih belum tergantikan—setidaknya, hingga saat ini selalu menemani jam-jam rebahan siang hari sepulang dari sawah.

Waktu menunjukkan pukul 19.00 ketika saya tiba di lokasi gigs OM Lorenza, di Joglo Karyo 44, Juwiring, Klaten. Saya datang bersamaan dengan ratusan penggemar lainnya. Di tepi jalan, ratusan sepeda motor diparkir berderet; tak kurang dari 7 sepur kelinci—kereta mini yang sering disewa untuk pergi berombongan di desa—berjejer rapi di sepanjang jalan dan halaman rumah warga yang dijadikan lokasi parkir acara. Sayup terdengar suara merdu check sound tanpa iringan vokal penyanyi, merambat hingga ujung lokasi parkir yang berjarak sekitar 200 meter dari sumber suara. 

Suasana kegembiraan terlihat dari senyum bahagia para penggemar yang datang. Tampak mereka memakai sepatu pantofel, kemeja bermotif kotak-kotak ataupun bergaris dengan kancing bagian atas terbuka dan ujung kemeja yang dimasukkan ke dalam celana cutbray hasil modifikasi sambungan kain, lengkap dengan gespernya yang mentereng. Kadang dimeriahkan juga dengan wig bermodel gondrong atau kribo, atau sapu tangan yang diselipkan di saku belakang celana—yang ujungnya sengaja disembulkan keluar. Malam itu, tua, muda, bocah, laki-laki dan perempuan, semua berdandan dalam tema fesyen jadul. Saya seolah diajak masuk ke dalam mesin waktu era 80an–90an.

Yang menarik lagi dari para penggemar OM Lorenza ini, mereka juga membawa beberapa aksesori ala remaja tempo dulu ketika hendak berdisko, seperti tape recorder mini atau radio jadul berantena yang diusung di bahu. Ada juga aksesori absurd semacam koper tenteng kulit, seruling bambu hingga pompa ban sepeda. Sebuah upaya luar biasa dari penggemar skena musik dangdut akar rumput. Outfit saya kiranya jauh dari maksimal malam itu jika dibandingkan dengan mereka.

Ekspresi fesyen para penggemar OM Lorenza saat menunaikan ibadah tontonannya di Klaten. 

Saya memutuskan untuk berjalan ke arena dekat panggung, berharap bisa bertemu dan mengobrol dengan orang-orang yang menarik. Betul saja, saya berkenalan dengan Agus Sa’bani dengan kacamata bulatnya dan topi flat cap. Dari dia saya jadi tahu bahwa acara malam itu digelar dalam rangka tasyakuran soft opening Joglo Karya 44 milik seorang pengusaha kain lokal Gombal 44, bernama Wahyu Dwi Mulyanto yang juga penggemar Orkes Melayu. Agus kemudian permisi sebentar. Ia berkoordinasi dengan musisi di atas panggung. Tak lama kemudian, terdengar suara serak dan basah lantang menyapa, sapaan khas dari Mas Joko Tambal Ban (panggilan akrab MC OM Lorenza) yang langsung disambut riuh tepuk tangan penggemar. Saat nada pertama dimainkan, jantung moshpit langsung dipenuhi mereka yang berjoget selow mengikuti irama ketukan kendang yang ramah pinggang. Goyangan mereka, saya yakin, keluar dari endapan memori puluhan tahun lalu yang mengingatkan kita ketika menonton Warkop DKI di tahun 90-an.

Suasana semakin pecah ketika OM Lorenza membawakan hits andalannya yang tengah viral, berjudul Tambal Ban. "Mak jedoor, mak jedoor, mak jedoor... Door... Ono ban pecah!" suara penyanyi di panggung berbalas lirik dengan para penonton. Mereka datang dari berbagai kabupaten/kota di Solo Raya, banyak yang tak saling kenal, namun mereka sangat mudah berbaur. Tak terlihat kuda-kuda dipasang ketika mereka saling bersenggolan; juga tidak terlihat jajaran pihak keamanan: linmas, polisi maupun TNI di sekitar panggung utama. Sebuah kondisi yang kontras bila merujuk pada suasana panggung-panggung hiburan musik dangdut modern sekarang ini.

OM Lorenza di atas panggung tampil menghibur para penggemarnya yang kini sudah tersebar di berbagai wilayah di sekitar Sukoharjo.

Saat asyik berjoget sambil jeprat-jepret di emperan pendopo, saya berkenalan dengan seorang pria paruh baya. Kamera yang saya pegang menarik perhatiannya, kami jadi bercakap-cakap lumayan lama. Namanya Suparno—akrab dipanggil Nano, seorang petugas irigasi pertanian di wilayah Bekonang, Sukoharjo. Nano sudah sejak dua tahun lalu hobi mendatangi pentas-pentas OM Lorenza, jauh sebelum trending di jagat dunia maya. Sampai awal Februari ini saja, setidaknya ia sudah tiga kali bertandang ke gigs OM Lorenza, rata-rata di kawasan Sukoharjo. Baru malam ini ia bergeser ke wilayah Klaten. Nano tidak kesulitan untuk mendapatkan jadwal pentas OM Lorenza sebab ia bertetangga dengan salah satu personelnya. “Sekarang juga sudah tidak sulit untuk melihat jadwal manggung OM Lorenza. Di Tik Tok sudah banyak berseliweran,” timpalnya berseloroh. Alasan Nano mengikuti perjalanan OM Lorenza adalah karena ia ingin mengulang memori indahnya saat remaja, mendatangi hiburan Orkes Melayu, dangdutan, dan pulang tanpa keributan setelahnya.

Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya lainnya menghampiri kami. Ia mengenakan topi koboi layaknya seorang blantik hewan ternak di pasar. Beruntung sekali sebab ternyata ia adalah Ketua Fanbase Pusat OM Lorenza. Haryanto namanya, berdomisili di kawasan Polokarto, Sukoharjo. Dari bercakap-cakap dengannya, saya jadi tahu latar belakang para penggemar OM Lorenza yang rata-rata berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ada yang profesinya bakul bumbon di pasar, ada yang kesehariannya tukang ngarit pakan ternak, bahkan dari kalangan yang berprofesi sebagai makelar jual-beli sepeda motor. Sudah bisa dibayangkan, betapa luar biasanya jejaring fanbase mereka. Selain berekreasi menikmati OM Lorenza, kalau perlu apa, mereka tahu harus menghubungi siapa.

Haryanto dan kawan-kawannya penggemar dangdut jadul mendirikan fanbase OM Lorenza sejak 2022. Tanggal 12 Desember 2024 kemarin, mereka baru merayakan ulang tahun ke-2 dengan menggelar konser OM Lorenza. Konsistensi OM Lorenza membawakan lagu-lagu dangdut jadullah yang membuat Haryanto dan teman-temannya mendirikan Fanbase Pusat OM Lorenza. Bila tak ada jadwal manggung pun, saban Rabu malam Kamis, mereka selalu hadir menemani OM Lorenza latihan di basecamp di kawasan Ngemul, Bendosari, Sukoharjo. Dari situlah mereka mendapatkan informasi A1 tentang jadwal pentas OM Lorenza. Untuk memudahkan komunikasi antarfan, Fanbase Pusat OM Lorenza membuat grup di Facebook Messenger.

Biarpun membawakan genre dangdut lawas, penggemar OM Lorenza datang dari berbagai generasi. Termasuk anak-anak dan remaja.

Saat ini sudah ada beberapa fanbase wilayah yang dikoordinasi Haryanto dan rekan-rekan pengurusnya. Di antaranya, fanbase wilayah Lalung, Ngombakan, Karangwuni, Kerten, dan Jati, Karanganyar. Menariknya, fanbase ini tidak diikuti oleh generasi tua saja. Banyak anak muda dari kalangan Gen Z dan milenial yang sudah mulai terhipnotis oleh virus dangdut lawasan ini. Anak-anak muda itu sangat bangga datang ke gigs OM Lorenza dengan outfit retro mereka. Sebuah kebanggaan pula bagi Haryanto sebab selama ini kebanyakan anak muda lebih suka dengan skena dangdut modern. 

Bagi Haryanto sendiri dan rekan-rekannya, berjoget dan berdendang diiringi lagu-lagu dangdut lawas merupakan kesenangan yang mengingatkan mereka pada masa lalu yang penuh kenangan. Suasana berjoget yang bersahaja untuk melepas penat setelah seharian beraktivitas. Datang bersenang-senang, pulang tanpa keributan apalagi cari lawan adalah slogan fanbase yang mereka dirikan. Meskipun demikian, kemunculan anak muda dalam skena mereka, mereka anggap sebagai pencarian ruang untuk aktualisasi, bukan sebagai counter culture terhadap skena dangdut modern atau koplo yang dianggap sebagian besar masyarakat cenderung rusuh dan tidak nyaman karena acapkali ribut di tengah jalannya pementasan.

***

Suasana penuh kegembiraan di malam itu belum habis ketika acara selesai. Sesama penggemar berjabat tangan erat sebelum akhirnya berpisah. Tidak tampak botol-botol plastik satu setengah literan bekas wadah minuman alkohol lokal. Yang jelas terlihat adalah raut senang tanda kepuasan setelah tiga jam tanpa henti berjoget dengan riang. 

Bagi saya, kemunculan OM Lorenza dan para penggemarnya yang menyebarkan virus cinta damai dengan cara berjoget santai di sebuah pementasan dangdut, seakan membawa kembali masyarakat Solo Raya kepada khitah orkes musik dangdut yang pernah mereka gandrungi. Orkes musik dangdut yang riang gembira, yang aman bagi perempuan dan tidak membuat orang tua di rumah deg-degan. Mereka mempunyai cara sendiri untuk bahagia.