Paguyuban Wayang Orang Bharata adalah satu dari sedikit kelompok seni tradisi yang bertahan. Paguyuban ini bertarung dengan zaman, dipersenjatai keinginan kuat untuk mempertahankan jati diri.
Pertemuan kami pertama kali terjadi tahun 2017, Sabtu malam di bulan Februari kala pertunjukan berjudul 'Alap-alap Sukeksi' berlangsung. Bertempat di gedung yang terhimpit di bilangan Senen, Jakarta—tepatnya di Jalan Kalilio No. 15, Senen, Jakarta Pusat, Gedung Wayang Orang Bharata.
Pak Marsam Mulyo Atmojo (70 tahun), ketua Paguyuban Wayang Orang Bharata (PWOB) menyambut kami. Paguyuban ini adalah satu dari sedikit yang tersisa di Indonesia, Sriwedari di Solo serta Ngesti Pandawa di Semarang adalah salah duanya.
Bapak Marsam Mulyo Atmojo, ketua Paguyuban Wayang Orang Bharata.
Berdiri pada 1963 PWOB bermula dengan nama Wayang Wong Panca Murti—berpusat di gedung Rialto Theater (sekarang menjadi Gedung Wayang Orang Bharata), kawasan Senen, Jakarta Pusat. Pada tahun 1972 kelompok Wayang Wong Panca Murti harus meninggalkan gedung tersebut, karena suatu sebab. Namun beberapa anggota memilih tetap tinggal dan membangun ulang kelompok wayang orang.
Mereka kemudian mengajak Djadoeg Djajakusuma, salah satu sutradara ternama Indonesia kala itu. Sebabnya, pada tahun 1967 Djajakusuma menyutradarai film berjudul Bima Kroda, berkolaborasi dengan Wayang Orang Panca Murti. Film ini bercerita tentang konfrontasi Indonesia - Malaysia terkait Serawak dan Kalimantan Utara. "Arsip filmnya hilang, kemungkinan salinan film dibawa oleh keluarga Bapak Jenderal Harsono", jelas Pak Marsam.
Pada 5 Juli 1972, resmi berdiri Wayang Orang Bharata hingga kini dalam bentuk paguyuban. PWOB menaungi seratus lebih penari, pengrawit, dan sinden lintas generasi, menampilkan pertunjukan secara rutin tiap akhir pekan.
Penampakan Gedung Wayang Orang Bharata, Senen - Jakarta.
Bertarung Dengan Zaman
"Tahun itu saya mengajak anak-anak dari keturunan pemain WOB maupun bukan untuk berkumpul. Saya bilang bahwa orangtua mereka datang dari segala penjuru Jawa, membawa kesenian ini. Mau tidak bantu untuk melestarikan? Kalau tidak, berarti Wayang Orang Bharata sampai di sini saja. Karena orangtua kalian sudah manula bahkan sudah ada yang wafat", cerita Pak Marsam mengenai perjalanan paguyuban ini.
Lebih lanjut beliau menambahkan, bila ajakannya ini tidak ditanggapi, maka di masa depan kalau mau belajar kesenian tari Jawa dan Wayang Orang, jangan-jangan kita malah harus ke luar negeri. "Mereka sudah mempelajari kesenian ini secara mendalam dan menguasai", jelasnya. Mereka pun bersepakat untuk melestarikan kesenian ini dan berkomitmen untuk meluangkan waktu dan tenaganya, seminggu sekali berkumpul untuk latihan serta mementaskan pertunjukan, hingga hari ini.
Seorang aktor cilik tengah bersiap pentas.
Sejak awal PWOB tidak menjanjikan adanya honor, semua dijalankan secara sukarela. "Kami jual tiket yang hasilnya kami bagikan ke para anggota paguyuban, ditambah subsidi dari pemerintah (DKI) dengan jumlah seadanya". Pak Marsam bersama wakilnya, Pak Kenthus, selalu memutar otak agar para anggota Paguyuban bisa mendapatkan pemasukan walau seadanya.
Bantuan dalam berbagai rupa selalu datang, berasal dari orang-orang yang peduli dengan kelangsungan hidup paguyuban. Seperti bantuan pendokumentasian foto dan video, desain grafis, hingga promosi daring pertunjukan diberikan oleh berbagai pihak. "Memang tidak ada yang berlanjut dalam jangka waktu lama, karena mereka meluangkan waktu di tengah kesibukan mereka sendiri. Ya kami tetap bersyukur masih ada yang mau bantu", ujar Pak Marsam.
Suasana belakang panggung.
Promosi jadwal pertunjukan memang jadi kendala tersendiri. PWOB punya jaringan penonton setianya, diberitakan via SMS atau WhatsApp. Namun untuk menyentuh publik lebih luas, mereka kewalahan. Para pengurus sudah sepuh dan jauh dari teknologi kekinian, tidak paham bagaimana mengelola website dan sejenisnya.
Sejak awal 2018, Spektakel membuatkan serta mengelola website Paguyuban Wayang Orang Bharata - termasuk membuatkan materi promosi untuk kebutuhan media sosial hingga hari ini. Menurut Pak Marsam hasilnya lumayan meningkatkan jumlah penonton baru, setidaknya publik bisa tahu lebih awal jadwal pertunjukan melalui website tersebut.
* * *
Gedung Wayang Orang Bharata milik Pemerintah DKI Jakarta dan paguyuban diberikan 'tumpangan'. Tahun 2000 - 2004, gedung ini direnovasi. Bisa dibilang saat ini gedung WOB punya fasilitas yang mumpuni serta terawat. Kapasitas penonton 280 kursi termasuk area balkon, dengan tata suara dan cahaya yang layak. Panggung memiliki fasilitas layar running text yang digunakan sebagai wahana subtitel ketika pertunjukan.
Harga tiketnya 60 ribu Rupiah untuk kelas VIP, 50 ribu Rupiah untuk Kelas 1, dan 40 ribu Rupiah untuk balkon. Pemasukan tiket ini sepenuhnya dikelola oleh paguyuban. Tiap tahun paguyuban mendapatkan subsidi dari Pemda DKI Jakarta, namun Pak Marsam tidak menyebutkan berapa jumlahnya. "Rata-rata, Pemda memberikan subsidi untuk 15 kali pertunjukan selama 1 tahun", begitu ungkapnya.
Menurut Pak Marsam, kaum muda-mudi Jakarta kini mulai datang menonton pertunjukan.
Paguyuban pernah diundang ke Jerman, Turki, serta Belanda untuk pementasan—juga sering diundang untuk mengisi hajat-hajat di luar pertunjukan rutin mereka. "Prinsip kami, siapapun yang pernah membantu paguyuban harus bisa dilibatkan dalam kegiatan kami baik di panggung rutin maupun di luar. Inilah yang menjadi ikatan kami".
PWOB juga sering kedatangan aktor tamu, dari pejabat hingga masyarakat biasa yang memang berminat untuk belajar dan ikut pentas, mulai dari berlatih ala kadarnya sampai serius mempelajari semua aspeknya. Pintu PWOB selalu terbuka buat semua.
Pedagang di depan Gedung Wayang Orang Bharata. Penonton boleh bersantap di dalam gedung pertunjukan.
Menonton pertunjukan di gedung ini memberikan sensasi tersendiri. Selama pertunjukan berlangsung, pedagang sate dan ketoprak lalu lalang membawa nampan berisikan makanan serta minuman pesanan penonton. Ya, kita diperbolehkan makan serta minum selama pertunjukan berlangsung. "Ya inilah uniknya kami mas. Walaupun pertunjukannya di dalam gedung, tetapi rasa guyub komunitas tetap ada seperti kalau kami pentas di desa", ucap Pak Marsam menutup obrolan kami.