Perubahan zaman bisa menggeser makna serta nilai tradisi. Seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur, budaya Wairaki yang mulanya sebagai simbol saling membantu, kini dirasa hanya sebagai ajang adu gengsi. Benarkah?
“Soal kesehatan dan pendidikan, itu bukan menjadi prioritas, tetapi budaya” (seorang warga Ende)
Hari ini, malam, sendiri, dan duduk di tempat tidur. Hal ini mengingatkan saya pada perjalanan beberapa tahun lalu ke Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika itu saya sedang berjuang untuk menyelesaikan tugas akhir sarjana, yang intinya adalah mencari ilmu, atau bahasa yang lebih lugas; mengejar gelar. Sama dengan yang saat ini sedang saya lakukan, mencari ilmu (semoga bukan sekedar gelar).
Niat untuk menuliskan ini berawal ketika seorang teman baru saja kembali dari Sumba, NTT. Katanya, di sana upacara kematian membuat warga menjadi miskin. Pernyataan tersebut memunculkan kembali ingatan perjalanan bertahun silam; berbagai obrolan seputar upacara adat, belis (mas kawin), kemiskinan, hingga kematian. Saat itu saya sedang melakukan studi pengambilan data di kelurahan Onekore, Ende, Flores, NTT.
Wairaki: Budaya Saling Membantu Antar Keluarga
Di Ende terdapat adat dimana setiap anggota keluarga wajib menolong anggota keluarga lain ketika mereka membutuhkan. Bantuan ini dikhususkan dalam kegiatan acara adat. Adat ini sendiri disebut Wairaki. Secara singkat Wairaki merupakan acara adat yang “mengharuskan” keluarga untuk membantu keluarga lain dalam hal perkawinan atau kematian. Kata “mengharuskan” ini menjadi menarik untuk ditelusuri sebenarnya. Misalnya saja untuk perkawinan, ketika pihak keluarga laki-laki hendak melamar pihak perempuan, maka akan diadakan pertemuan untuk menentukan berapa “besaran harga” perempuan tersebut. Pertemuan ini diikuti oleh pihak keluarga kedua belah pihak dan ketua adat yang biasa disebut Mosalaki.
Untuk bisa membayar belis, keluarga pihak laki-laki akan melakukan arisan keluarga. Artinya, saat anaknya menikah maka anggota keluarga lainnya memberikan sumbangan uang atau hewan.
Setelah pertemuan selesai dilakukan, maka pihak keluarga laki-laki mengetahui berapa besaran atau hal apa saja yang mesti dipersiapkan untuk “menebus” calon istri. Dari pihak laki-laki mereka akan mengumpulkan emas, hewan dan uang. Nantinya, belis ini akan diberikan pada pihak perempuan, kemudian keluarga perempuan akan membalas dengan beras, sarung, serta kain. Pada proses ini, pihak keluarga besar akan membantu menambahkan jumlah belis yang diminta dari kedua belah pihak. Akhirnya pernikahan baru bisa dilaksanakan. Hal ini terlihat sederhana, namun bisa jadi kita menyederhanakan persoalan - karena justru masalah muncul dari hal tersebut.
Permintaan Bantuan Keluarga Bersifat Wajib
Masyarakat Ende (atau mungkin sebagian besar di NTT), akan berusaha mengumpulkan belis sesuai permintaan pihak keluarga perempuan. Menjadi persoalan ketika permintaannya berjumlah sangat besar dan banyak. Uang puluhan bahkan ratusan juta, puluhan hewan sampai emas yang jumlahnya besar pun menjadi hal yang dianggap “wajar”. Hal ini dirasakan sebagai beban bagi masyarakat di Ende. Sekedar informasi, menurut tuturan beberapa warga, masyarakat Ende rata-rata memiliki kemampuan ekonomi yang sedang-sedang saja bahkan sebagian warga bisa dibilang kekurangan - namun dalam urusan budaya mereka tetap mengusahakan walau harus berhutang kesana-kemari.
Hal yang menarik saya temukan saat berbincang dengan salah satu warga yang mengatakan “saya sendiri sudah tidak mau menjalankan budaya ini, kebutuhan hidup semakin banyak, kesehatan, pendidikan dan lain-lain, harusnya bisa kita hentikan. Contohnya saja dua minggu yang lalu saya baru saja membantu membelikan hewan untuk keluarga saya yang menikah”.
Kerbau salah satu hewan yang diutamakan sebagai belis. Sumber foto: onata-ku.blogspot.com.
Hal ini menarik untuk dicermati. Ketika seorang warga merasa seharusnya budaya ini dihentikan atau dikurangi karena menghabiskan banyak uang, namun kenyataannya, dia sendiri masih menjalankan kegiatan tersebut dua minggu yang lalu. Kemudian, kenapa? Warga sendiri menyadari betul bahwa kebutuhan hidup saat ini sangat tinggi, soal kesehatan dan pendidikan misalnya.
“Soal kesehatan dan pendidikan, itu bukan menjadi prioritas, tetapi budaya. Kalau saya berfikir demikian. Tentang wairaki itu sendiri, intinya yang diwarisi itu yang positif sebenarnya. Nilai gotong royongnya itu orang dulu kan berfikir hanya konteks budaya dan adat”. (Dalam penuturan ini, warga bermaksud bahwa jaman dahulu orang hanya berpikir soal adat dan budaya, karena kebutuhan sehari-hari dapat diambil dari ladang, kebun, dan hasil ternak sendiri, sedangkan saat ini segala sesuatu membutuhkan biaya).
Berbagai kesadaran akan kesehatan, pendidikan dan berbagai hal lain yang muncul saat ini dan hal tersebut dianggap sangat wajar dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dahulu, keluarga membantu keluarga yang lain karena mereka menganggap membantu keluarga adalah hal yang positif dan sukarela. Masalah muncul ketika saat ini sifat permintaan akan bantuan berubah menjadi paksaan atau kewajiban.
Biaya Adat Menjadi Prioritas
Seiring berjalannya waktu, berbagai kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya memerlukan biaya yang besar. Dahulu, segala kebutuhan untuk Wairaki seperti hewan dapat dengan mudah didapatkan karena setiap warga memiliki ternaknya sendiri. Namun saat ini mereka harus mengeluarkan banyak biaya untuk membeli hewan sebelum dapat diberikan kepada anggota keluarga yang membutuhkan.
Persoalan muncul ketika warga perlu membantu keluarga untuk acara wairaki namun di saat yang bersamaan ada anggota keluarga lain yang sakit keras. Mana yang akan mereka prioritaskan?
Beberapa warga mengatakan bahwa hubungan mereka menjadi renggang dengan anggota keluarga lain ketika mereka tidak lagi mau menjalankan Wairaki, sehingga relasi antar keluarga terganggu ketika adat ini tidak berjalan saat ada pihak keluarga yang tidak mau membantu - apapun alasannya.
Perempuan Ende tengah berkumpul.
“Waktu kita sakit, kita tidak dibawa ke dokter, tidak bawa. Malaria apa segala macam. Kita membutuhkan uang semua. Kalau memang wairakinya kita masih tampilkan sesuai dengan yang dulu-dulu berarti kehidupan kita bagaimana? perkembangan dan kepentingan anak tidak kita pikirkan”, tutur seorang warga.
Warga lain yang saya ajak berbincang menyebutkan, bila keputusan membantu kadang merupakan perkara gengsi ketimbang adat. Mereka mengatakan membantu keluarga berarti menjaga gengsi keluarga. Jika kita tidak membantu maka orang tersebut akan “hilang muka”. Berkaitan dengan hal ini, saat ini, setiap bantuan dari keluarga akan dicatat oleh keluarga yang mengadakan hajat - sehingga ia tahu seberapa besar harus mengganti atau membantu jika keluarga tersebut di masa datang. Nilainya akan sama, namun bisa jadi lebih besar untuk menunjukkan gengsi. Akhirnya, keuangan keluarga jadi menipis untuk keperluan acara adat. Jika keluarga sakit? Tunggu sampai nanti dapat pinjaman.
Tulisan ini saya tujukan sebagai refleksi akan perubahan makna serta nilai dari budaya Wairaki ini. Perubahan zaman, membawa perubahan nilai. Apa yang tadinya merupakan nilai sosial dari niat saling membantu, berubah menjadi gengsi dan investasi. Saya tetap percaya, banyak masyarakat Ende yang tetap melakukan Wairaki dengan kerelaan dan murni membantu keluarga.[]