Home > Ini Indonesia > Tradisi >
Calung Banyumasan: Melodi Masyarakat Banyumas
Calung Banyumasan: Melodi Masyarakat Banyumas
“Calung sudah seperti nyawa saya, bagi saya calung sumber ketentraman jiwa saya.” Kalimat itu dengan bangga diucapkan oleh Sukendar, seniman Calung Banyumasan saat di penghujung obrolan kami.
Sukendar adalah sosok kondang bagi kalangan seniman di Banyumas, utamanya seniman tradisi. Sosoknya puluhan tahun malang melintang dalam berbagai pertunjukan seni di Banyumas, khususnya pertunjukan Calung Banyumasan. Rumahnya di Desa Papringan, kecamatan Banyumas seringkali didatangi orang untuk belajar atau sekedar bertanya tentang Calung Banyumasan. Di rumah sederhana itu, Sukendar hidup berdua dengan istrinya yang juga seorang sinden. Di samping rumah terdapat garasi mobil yang dia fungsikan sebagai bengkel untuk membuat calung.
Persinggungan Sukendar dengan Calung Banyumasan dimulai pada akhir tahun 60an di wilayah Widara Payung, Cilacap. Saat itu, Sukendar masih menjadi tukang kendang kelompok Ketoprak, dalam pertunjukan itu dia diminta tolong oleh kelompok Lengger Banyumasan untuk bermain kendang. Dari pertunjukan ini lah Sukendar merasakan kenikmatan bermain Calung Banyumasan, apalagi setelah dia tahu kalau ini adalah seni asli dari Banyumas. Masalah keaslian ini memang masih diperdebatkan, beberapa pendapat mengatakan bahwa calung ini adalah kesenian yang berasal dari Sunda yang kemudian diadaptasi oleh masyarakat di wilayah Banyumas. Dalam versi lain, calung dianggap sebagai perkembangan dari seni Bongkel yang ada di Desa Gerduren, kecamatan Purwojati, Banyumas. Tapi bagi Sukendar, Calung adalah seni asli dari Banyumas karena baik dari jenis alat maupun teknik memainkannya berbeda dengan yang ada di Sunda. Sukendar meyakini kalau Calung Banyumasan berasal dari Desa Gumelem, kecamatan Susukan, Banjarnegara bersamaan dengan kemunculan Lengger Gumelem. Walaupn berbeda kabupaten, tapi secara kebudayaan wilayah Banjarnegara masih masuk dalam kebudayaan Banyumasan, begitulah alasan Sukendar. Hal ini dibarengi dengan fenomena bahwa dalam perjalanannya, calung dan lengger adalah kesenian yang tidak dapat dipisahkan, pertunjukan lengger selalu diiringi dengan musik Calung.
Sukendar, salah satu seniman tradisi Banyumas sejak tahun 1960-an. Dari penabuh kendang sebuah kelompok Ketoprak, ia pun lantas kepincut oleh musik Calung Banyumasan ketika ditanggap menabuh kendang untuk sebuah kelompok Lengger Banyumasan.
Ada beberapa versi dari mana nama musik ini kemudian dinamakan 'Calung'. Paling tidak ada 3 versi yang penulis temui yaitu akronim dari Carang Pring wulung, Dicacah Melung-Melung dan Dipracal Melung-Melung. Menurut Sukendar, akronim Dipracal Melung-Melung adalah akronim paling sesuai dengan seni calung yang dia temui. Selain sebagai pelaku seni, Sukendar juga dikenal sebagai pembuat calung dan bagi Sukedar proses mpracal (menebal tipiskan bambu dengan benda tajam) adalah proses inti dari pembuatan calung. Untuk itu Sukendar kemudan membuat definisi bahwa Calung adalah proses mpracal Bambu sehingga menghasilkan bunyi yang melung (keras/bergaung).
Calung Banyumasan adalah seperangkat alat musik yang hampir semuanya terbuat dari bambu dan terdiri dari tujuh alat musik, yaitu Gambang Barung, Gambang Penerus, Dendem, Kenong, Gong Tiup, Kendang dan Ketipung. Hampir semuanya alat musik tersebut dibuat dari bambu, kecuali Kendang dan Ketipung. Bagi Sukendar, bambu paling bagus untuk membuat calung adalah bambu wulung, hal ini dikarenakan bambu wulung mempunyai ketebalan yang lebih besar dibanding bambu lain dan juga por-pori yang lebih rapat. Pemilihan jenis bambu ini mempengaruhi kualitas suara yang dihasilkan oleh calung. Selain pemilihan bambu, Sukendar juga sangat dipengaruhi oleh hitungan Pranata Mangsa pada saat akan menebang bambu. Waktu terbaik untuk menebang adalah pada hitungan mangsa (bulan) ke 7 – 12 pada hitungan kalender Jawa. Sukendar percaya bahwa hitungan ini akan sangat berpengaruh pada kualitas dari calung yang dibuat, terutama untuk menghindari calung mengalami bubuken (Bambu berserbuk).
Setelah ditebang, bambu tidak langsung diolah menjadi calung tapi dibiarkan dulu di dapuran (kebun bambu) untuk mengurangi kadar air pada bambu, proses ini biasanya dilakukan selama 2-7 bulan. Setelah dianggap cukup, bambu akan dibawa ke rumah kemudian di taruh di lokasi yang sejuk, terkena angin dan disenderkan, proses ini memakan waktu 4-5 bulan. Setelah dianggap kering, bambu akan dipotong dengan ukuran 2-4 ruas kemudian ditaruh di dapur dekat dengan tempat masak, fungsinya agar asap dari tungku atau kompor membantu proses pengeringan pada bambu. Jika ditotal, proses penyiapan bambu sebelum dijadikan calung memerlukan waktu sekitar 1 tahun. Proses pengeringan memakan waktu yang cukup lama untuk memastikan kadar air di dalam bambu benar-benar hilang, karena jika tidak benar-benar kering maka kemungkinan nada bisa cepat berubah saat sudah menjadi calung. Perubahan nada pada bambu merupakan persoalan yang cukup mengganggu bagi pemain calung, biasanya faktor penyebabnya karena kualitas bambu atau umur calung. Oleh karena itu, dalam calung juga dikenal dengan proses ‘nglaras’, yaitu proses penyesuaian nada calung dengan cara mengikis sedikit demi sedikit bambu sehingga menemukan nada yang sesuai.
Calung Banyumasan merupakan seperangkat alat musik yang terdiri dari tujuh instrumen yang hampir seluruhnya terbuat dari bambu. Biasanya Calung Banyumasan dimainkan untuk mengiringi penampilan Lengger dan Ronggeng. Selain itu, Calung Banyumasan juga biasa diiringi sinden yang mengalunkan langgam Banyumasan.
Alat musik calung menggunakan tangga nada Slendro, seperti kebanyakan alat musik yang berasal dari Jawa. Dalam sebuah pertunjukan, biasanya akan diiringi dengan sinden yang menyanyikan lau-lagu khan Banyumasan. Beberapa judul yang sering dibawakan diantaranya Ricik-Ricik, Eling-eling, Gunungsari, Sekar Gadung, Lenggong Lor, Gudril, Bendrong Kulon dan Dober. Selain untuk pengirim lengger, calung juga bisa digunakan untuk mengiringi kesenian lain, misalnya wayang, kuda lumping dan ketoprak.
Pengalaman Sukendar dalam seni calung membuat dia dianggap sebagai maestro Calung Banyumasan, berbagai pementasan baik dalam maupun luar negeri telah dia jalani. Pada tahun 1996 misalnya, Sukendar berkesempatan untuk mementaskan calung di 3 negara eropa, yaitu Inggris, Jerman dan Belgia. Kemudian pada tahun 2013 dia juga mementaskan calung di Jepang. Dalam proses melalang buana tersebut, Sukendar bersentuhan juga dengan musik modern, beberapa pertunjukan calungnya juga berkolaborasi dengan musik modern. Sukendar merasa sebenernya musik calung tidak cocok berkolaborasi dengan musik modern, perbedaan notasi dan juga jenis suara yang dihasilkan menjadi masalah yang belum terselesaikan. Di beberapa pertunjukan misalnya, menurut Sukendar walaupun sudah coba diolah oleh orang yang ahli di bidang musik tapi yang terjadi bukanlah kolaborasi, tetapi hanya bergantian bermain. Jarang sekali atau bahkan tidak pernah dia menemukan kedua jenis alat musik tersebut dimainkan bersamaan dan bisa menghasilkan harmoni yang bagus untuk didengar. Tapi di sisi lain Sukendar juga melihat kolaborasi semacam itu adalah upaya untuk menarik minat anak muda terhadap musik calung. Sukendar merasa tidak punya hak untuk melarang seniman calung lain untuk memadukan calung dengan kesenian lain, bagi dia itu permintaan pasar yang harus diakomodir oleh seniman calung.
“Bagi saya, yang penting masyarakat utamanya anak muda melihat calung dulu mas, entah calung itu mau berkolaborasi dengan seni mana bagi saya tidak terlalu penting, yang penting anak muda nya tahu dulu apa itu seni calung,” begitu kata Sukendar menutup perbincangan kami.