Bagi Eko Nugroho, salah satu tonggak yang dianggap besar dalam karirnya merupakan pameran tunggal di Cemeti di tahun 2002 bertajuk Bercerobong. Pameran tersebut banyak mengubah hal-hal seperti perencanaan karirnya ke depan. Pertama kalinya, ia dapat yakin bahwa kesenian dapat menjamah hal yang sebelumnya impossible. Ketika itu, pihak Cemeti yang mengontak secara langsung, “‘Eko pameran ya, di sini, presentasi karyamu, apa yang sedang kamu bikin.’ Itu yang bikin saya excited lagi, entah berikutnya apakah bisa dapat makan dari kesenian, tapi merasakan ada ruang bermain yang luar biasa. Saya rasa ruang bermain yang luar biasa ini sepertinya akan lebih menarik dibanding tendensi kesenian hadir agar bisa running gallery. Rasanya ada sesuatu yang lebih luas dari itu,” kenangnya. Dari kesempatan itulah ia mulai yakin akan eksperimen-eksperimen kekaryaannya. Bahkan saat itu, istri dan orangtuanya pun belum sepenuhnya yakin bahwa hasil dari menjadi seniman akan cukup menghidupi, menurut mereka pekerjaan lainnya yang lebih meyakinkan untuk mendapatkan uang akan jauh lebih baik. “Kala itu saya belum bisa menghasilkan apa-apa dari apa yang saya suka; seni,” ujarnya.
Lika-liku Menghidupi Seni
Berbagai pekerjaan sempat dijalani untuk menghidupi seni. Kala itu pemasukan datang dari hal-hal yang tidak pasti. Kebetulan, ia memiliki seorang simbah yang membuka warung nasi di Pasar Beringharjo. Ia bertugas mengantar pesanan ke langganan-langganan, mengambil kembali piring kotor, dan mencucinya. Ia mendapat makan gratis, bahkan apabila ada dagangan yang belum habis, ia dapat membawanya pulang ke rumah. Era-era sebelum Bom Bali juga diisi dengan membuat berbagai jenis kerajinan. Pigura yang dihias rempah-rempah, juga lilin-lilin hias untuk dikirim ke Bali. Peluang-peluang tersebut menjadi sumber-sumber penyokong kehidupan yang lumayan bagi seniman yang sedang merintis sepertinya. Walau setelah terjadinya Bom Bali, bisnisnya menjadi sepi.
Perbincangan Spektakel dan Eko Nugroho berlanjut dengan ditemani sepiring gorengan sebagai jamuan sederhana.
Berbagai ranah kesenian juga dirambah; bukan hanya sebagai seniman yang menjual karya, tapi juga sempat membantu orang-orang melukis—menjadi seorang artisan. Kerap kali pula mengumpulkan pundi-pundi pemasukan lewat menjadi asisten bagi seniman-seniman luar negeri yang datang ke Jogja untuk residensi. Bahkan suatu waktu, Eko Nugroho pernah mencoba mendaftar menjadi dosen di ISI, walaupun ia tidak diterima. “Cukup banyak hal-hal yang saya coba dalam rangka mengusahakan sebuah penghasilan tetap. Upaya-upaya tersebut saya jalin dari satu dengan yang lainnya. Sebuah cara survival yang cukup membantu di masa belum dapat menjual lukisan.” Kala itu ia percaya bahwa Jogja merupakan tempat yang memungkinkan untuk merintis karir sebagai seniman dengan metode tersebut. Ia yakin bahwa asalkan seorang seniman berniat untuk melakukan sesuatu, pasti ada seseorang yang akan memberikan kesempatan, “asal mau gerak, pasti ada yang mau memberikan gerak.” Bahkan tanpa memikirkan apa upah yang akan diberikan, pasti tetap ada kesempatan-kesempatan yang datang, dengan bermodalkan etos kerja “do something first.”
Dalam mengamini etos kerja tersebut, ia tidak lepas juga dari pengalaman pahit. Saat itu, ia membantu teman seniman pameran di Jakarta selama satu bulan. Ia dijanjikan bahwa setelah satu bulan pameran selesai, akan mendapatkan bayaran. Akan tetapi, ternyata bayaran itu hanya bisa didapatkan apabila terdapat lukisan yang laku; dan kala itu tidak ada lukisan yang laku. Selama satu bulan itu ia terjebak di Jakarta hanya untuk menunggu. Untuk makan pun juga hanya menggantungkan dari si seniman yang mengajak mengurus pameran. Saat akhirnya pulang pun tidak bisa membawa apa-apa; ia tidak bawa oleh-oleh, tidak mendapat hasil. Sesampai di rumah kepada anak-anaknya yang masih kecil-kecil, sulungnya sempat bertanya: “Bu, ini siapa?”. Untuknya terkenang menjadi sebuah pengalaman yang konyol, tetapi miris juga.
Pengalaman-pengalaman menghidupi seni tersebut menempa dan mengasah sikap Eko Nugroho sebagai seniman. Bagaimana bersikap memperjuangkan karya, dan refleksi tentang bagaimana harus menghargai orang-orang yang terlibat dalam proyek-proyek keseniannya. Kalau kita siap bekerja sama atau mempekerjakan orang lain, itu berarti ia juga siap dengan resiko setelahnya. Seperti ketika managernya memutuskan untuk membuat tim, ia selalu berdiskusi bagaimana bentuk kekaryaannya akan berkelanjutan, tidak hanya menggantungkan penghasilan by-project. Kekaryaannya pun harus dibangun bersama pula sebuah sistem yang dapat menghasilkan kecil-kecil, tapi berkesinambungan. “Karena saya berkarya, apa yang saya cintai ini profesi saya, begitu pula dengan orang-orang yang mau terlibat total dengan saya.”
DGTMB
Sepanjang karirnya, salah satu proyek Eko Nugroho yang berjalan paling lama merupakan
Dagingtumbuh Comics (DGTMB), sebuah terbitan tahunan kolaboratif berformat zine/komik fotokopian, dijual sepaket beserta art print dan merchandise. DGTMB adalah proyek dua dekade lebih yang telah berjalan sebanyak 20 terbitan. Pada sepuluh tahun pertama, awalnya komik DGTMB dijadwalkan untuk terbit setahun dua kali pada bulan Juli dan Desember. Namun setelahnya frekuensi penerbitan berkurang menjadi setahun sekali, sempat pula berjeda selama lima tahun karena aktivitas residensi dan kesibukan-kesibukan lain.
Rupa-rupa merchandise DGTMB, proyek seni rupa yang kini berkembang sebagai sebuah brand yang membuka akses karya seni rupa bagi publik yang lebih luas.
Hingga hari ini, komik DGTMB telah rutin terbit sejak tahun 2017. Proyek ini masih terbuka untuk para kolaborator yang ingin turut berpartisipasi dalam bunga rampainya. Pada tahun itu pula mulai ada tim yang bertugas mengurus penerbitan dan pengembangan bentuk usahanya; mulai dari membuat publikasi, mengumpulkan naskah, memfotokopi, menyiapkan cover, dan mengurus penjualan merchandise. Seiring waktu, proyek ini juga berevolusi menumbuhkan fokus sampingan dalam menjual merchandise seperti kaos dan pernak-pernik lain dengan estetika karya khas Eko Nugroho. Persebaran DGTMB banyak dilakukan secara online via akun instagram (https://www.instagram.com/dgtmb/) atau dijual juga di toko-toko offline termasuk toko resmi DGTMB di Jogja.
Untuk berkolaborasi di dalam komik DGTMB, para kolaborator dipersilakan mengirimkan naskah komik/ilustrasinya pada Eko, lalu kiriman-kiriman tersebut ia susun menjadi terbitan DGTMB, dan diperbanyak dengan menggunakan mesin fotokopi. Sifat kolaboratifnya memberikan sebuah ruang ‘etalase karya’ yang sederhana, selayaknya unggahan di Instagram untuk memamerkan karya secara ‘low effort’, namun berbentuk fisik seperti karya yang dipamerkan di galeri.
Uniknya, semenjak ia terlahir, komik DGTMB memegang sebuah semangat yang unik; seluruh terbitannya terbuka untuk dibajak hasil terbitannya. Bahkan, arsip dari edisi pertama sampai yang terbaru dapat diunduh dan ‘dibajak’ sendiri dari situs web ekonugroho.or.id. “Semangatnya terbuka untuk dibajak, karena semakin dibajak semakin terkenal! Biar saja, toh tidak dapat paket cover dan merchandise-nya, lucu-lucunya.” candanya.
“DGTMB seakan telah membuat sebuah jejaringnya sendiri, semacam ‘almamater’ para pengisi.” sebuah testimoni diutarakan Dimas sebagai salah satu kontributor pada terbitan DGTMB. Ia turut mengenang, karena dari keterlibatannya dalam proyek tersebut, terkadang bila tanpa sengaja saling bertemu sesama kontributor, pembicaraan panjang dapat muncul. Diiringi rasa kebersambungan yang unik dimulai dari pertanyaan seperti 'dirimu mengisi di terbitan berapa?'
Di sisi lain, saking lamanya proyek ini berjalan, perkembangan zaman sedikit memaksa DGTMB untuk menyesuaikan diri. Tempat fotokopi menjadi sebuah tempat yang cukup sulit dicari saat ini. Para penyedia jasa fotokopi yang ada sekarang kebanyakan menolak untuk mencetak dokumen bergambar, karena mereka takut tinta mesinnya cepat habis. Belum lagi mencari penyedia jasa binding menjadi buku dengan kualitas bagus. Orang-orang yang masih bersedia mengerjakan hal-hal ‘manual’ tersebut semakin jarang ditemui. Padahal, Eko Nugroho menyatakan bahwa sebetulnya ia bersedia saja membayar mereka lebih sebagai kompensasi. Akan tetapi, Dagingtumbuh akan selalu diperjuangkan untuk terlahir sebagai sebuah terbitan fisik berupa buku. Menyiasati hal tersebut edisi terbaru DGTMB ke-20 akhirnya menjadi terbitan pertama yang dicetak secara digital printing. “Intinya kami ingin melahirkan sebuah buku. Kertas.”
Kesetiaannya pada treatment fotokopian dan manual, memiliki plus-minusnya sendiri. Akhir-akhir ini pun, seringkali kreator yang menginginkan karyanya tercantum di Dagingtumbuh mengirimkan karya dengan cara yang sedikit lebih ‘manja’. Mereka tidak lagi terbiasa mengirim karya fisik untuk difotokopikan dalam terbitan DGTMB, melainkan mengirim soft-file melalui format PDF. Tim DGTMB memitigasinya dengan mencetak file terlebih dahulu kemudian difotokopi. “Ya gak papa, tetap diterima, yang penting tetap berkarya…” komentar Eko, yang kemudian dilanjutkan, “...atau mungkin beli mesin fotokopi, bikin sendiri,” tutupnya.
Relung Ruang Kesenian
Dalam relung kantong-kantong keseniannya, Eko Nugroho membaca bahwa Jogja baru saja merasakan pergantian fase pergerakan; antara sebelum dan setelah Covid. Sebelum Covid, kesenian dan jaringan pelakunya memang banyak dan terus bertambah, namun hanya segelintir komunitas/kolektif yang sudah ada (established) yang tetap ‘eksis’ dengan program yang bisa terbaca. Alternatif untuk membuat program-program yang interaktif dan sederhana cenderung berkurang. Seiring kedatangan Covid di tahun 2020, Jogja menjadi sepi, seakan mati. Senimannya mencari-cari berbagai cara untuk bertahan hidup. Banyak aktivitas ruang kesenian yang menggantungkan perkembangan teknologi digital, sehingga keramaiannya berpindah ke dunia maya.
Namun, setelah Covid mulai bergeser di tahun 2022-2023, terjadi sebuah ledakan. Hal-hal yang dulu belum sempat diwujudkan akhirnya bermunculan: event, komunitas, proyek, ruang alternatif, dan banyak hal baru lainnya. Mereka menjadi kumpulan eksistensi yang muncul di mana-mana, meskipun hal-hal tersebut belum semuanya memiliki pola yang bisa dibaca, sebagaimana tidak sedikit dari mereka yang masih hadir dengan sifat seperti ledakan. Beberapa gerakan tersebut bisa dibilang masih dalam taraf eksperimen, seperti misalnya ruang-ruang berkesenian (space) baru yang tidak beroperasi dengan berkelanjutan (hanya sampai opening; hari-hari berikutnya ruang-ruang ini tidak bisa diakses atau malah tutup). Sehingga, ruang-ruang ini belum dapat hadir sebagai ruang yang menjadi wadah untuk berkarya dan berprestasi kepada publik dengan program aktivasi yang dapat dibaca.
Komunitas/kolektif established yang kembali muncul di antara hingar-bingar fase ledakan ini antara lain adalah MES56, dengan Jogja Fotografis Festival atau JOFFIS; bersama dengan aktivasi-aktivasi yang silih-berganti di ruang-ruang seperti Kedai Kebun, Cemeti, IVAA. Tentu saja di antara semua ruang tersebut yang menjadi fenomena adalah Artjog. Artjog membawa sebuah habit baru dalam menikmati dan menyikapi seni rupa di Jogja; menonton pameran di galeri dengan membeli tiket. Hal ini ditimbang Eko cukup berbeda dengan bagaimana pameran seni beroperasi sebelum Artjog. Pada masanya, orang-orang hanya cukup datang, menonton, dan mengapresiasi pameran seni yang didatangi; atau dengan sistem reservasi di Jakarta. Tradisi ticketing ini merupakan hal yang disosialisasikan oleh Artjog sebagai sebuah art event, acara yang dirancang sebagai suatu gelaran yang ‘menghibur’, tidak lagi eksklusif bagi para segelintir pelaku dan penikmat seni. Para pelaku dan penikmat seni tetap dapat menikmati Artjog, tetapi di saat bersamaan mereka yang awam terhadap seni tetap dapat melihat alur yang dapat dinikmati, presentasi yang apik, serta cara bertutur yang cenderung berusaha merangkul atau inklusif.
Eko Nugroho menilai ada sebuah edukasi nilai yang agak terhambat dalam menyikapi fenomena menonton pameran dengan ticketing yang muncul di Jogja ini. Memang benar bahwa operasional galeri akan sangat terbantu oleh hasil tiket, tetapi menurutnya, kesinambungan galeri bisa saja tidak hanya ditopang oleh itu. Alternatif partisipasi terbuka yang ditawarkan galeri dengan bentuk membuka ticketing pada akhirnya tidak selalu membantu membuat kesenian menjadi ‘inklusif’. Justru, ada aspek yang menjadi terbatasi juga. Misalnya, ada keluarga beranggotakan empat orang yang tertarik menonton, tetapi dengan harga tiket 20-30rb saja, mereka jadi mengurungkan niatnya karena tarif sebesar itu bisa jadi dianggap sebagai pengeluaran yang cukup besar. Ini menyebabkan akhirnya penikmat pameran terlimitasi pada hanya yang benar-benar ingin dan sanggup.
Agak jauh melipir dari hiruk-pikuk skena, Eko Nugroho membangun dan merawat sebuah bentuk inovasi ruang keseniannya sendiri. Ia mendirikan sebuah kelas seni rupa bernama
Eko Nugroho Art Class. Kelas ini memiliki sekitar 100 member, dengan rentang umur dari 4 tahun, usia SD, SMP, SMA, sampai ibu-ibu yang ingin meluangkan waktunya untuk berkarya. Kelas ini terbentuk sebagai sebuah upaya membagikan laku berkesenian yang ia rasakan sehari-hari, dalam berbagai bentuk
feedback dan proses belajarnya. Menurutnya, hal-hal baik yang dapat dipelajari dan didalami saat berkesenian itu banyak, terkadang jauh menembus teknik dan metodenya. “Sebenarnya buat saya kesenian itu adalah terapi. Tidak hanya ilmu, namun ada banyak nilai psikologis yang saya dapatkan. Pengobatan yang terjadi di kepala saya. Hal-hal inilah yang saya rasakan ketika mulai ada banyak proyek, residensi,
workshop, pameran, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut saya rasa penting untuk saya bagi.”
Ia bersama timnya menjalankan art class ini sejak tahun 2015. Kelas ini ‘bermain’ dengan seni rupa dengan mengimplementasikan sisi menyenangkan dari belajar melukis, teknik mewarnai, print, sampai sculpture clay seperti yang ia pelajari di ISI. Nilai yang selalu ditularkan adalah bahwa berkesenian itu suatu hal yang menyenangkan, tanpa tendensi apapun seperti patokan angka-angka nilai. Kelas ini semacam sebuah bentuk ‘gerilya’ terhadap relasi tidak sehat dengan kesenian yang masih kerap dialami anak yang bersekolah di sekolah reguler. “Bila ada anak yang menggambar kerbau, kerbaunya warna pink, dia akan memiliki masalah dengan gurunya. Padahal bisa saja dia tidak pernah melihat kerbau betulan, atau misalnya warna tersebut berangkat dari fantasi si anak. Yang kami perjuangkan adalah fantasi anak sesuai usianya; tetap dibekali dengan keterampilan teknis, namun dibiarkan bereksplorasi, bermain dengan seni.” Eko Nugroho mencoba menghadirkan sebuah bentuk dukungan untuk berkarya, apapun motivasinya. Menurutnya, semua yang datang dari kesadaran sendiri menjadi yang paling kuat. Selama dalam ranah visual arts, ruang yang ia ciptakan tersebut akan berusaha menyokong dan mengakomodasi.
Dihidupi, Menghidupi Seni
Pameran tunggalnya yang bertajuk “
Cut The Mountain And Let It Fly” di Jakarta hari itu resmi ditutup. Rasan-rasan mereka pun berakhir. Eko Nugroho kembali ke Jogja, bergulir di pameran-pameran dan karya-karya selanjutnya. Dimas Jayasrana kembali ke hiruk-pikuk Jakarta yang digelutinya. Sebuah pertemuan yang cukup menyisa, bersama melihat bagaimana peran ekspresi dan kesenian sebagai salah satu medium penyampainya memainkan perannya di belakang, kiri, kanan, Selatan, Utara, kini, dan depan. Bagaimana pula identitas sebuah kota dan individu-individu di dalamnya tidak bisa lepas darinya. Sebuah ruang berekspresi yang telah dan terus mengalir, berganti wujud dan wadah seiring waktu. Ruang bermain yang memiliki spektrum luas; seperti lukisan, patung, desain, dan banyak karya rupa yang dipilih Eko Nugroho untuk mengekspresikan dirinya. Dihidupi dan menghidupi dalam bermacam eksperimen dan inovasi.
Artikel ini merupakan bagian kedua dari wawancara Spektakel bersama Eko Nugroho, simak bagian pertama wawancara kami di sini.