Logo Spektakel

Home > Sorotan > Profil >

Bottlesmoker, Pemusik Elektronik Kesetrum Jagat Musik

Bottlesmoker, Pemusik Elektronik Kesetrum Jagat Musik

Berkuliah diploma di jurusan Teknik Penyiaran Radio dan Televisi Universitas Padjadjaran, Angkuy dan Nobie sering membuat lagu-lagu dan jingle untuk keperluan tugas kuliah. Langsung tidak langsung, hal tersebut membawa kedua teman ini untuk mulai aktif di skena musik elektronik Bandung. Mulai tahun 2006, beberapa karya musik yang mereka lahirkan akhirnya dilepas ke dunia menggunakan nama Bottlesmoker yang kemudian tersetrum jagat musik tradisional Nusantara.

Anggung Suherman alias Angkuy dan Ryan Adzani alias Nobie merupakan teman kuliah di Universitas Padjadjaran. Kala itu keduanya mengambil program Diploma jurusan Teknik Penyiaran Radio dan Televisi. Sebagaimana sering terjadi di kampus-kampus yang cukup "kreatif", awal mula keduanya bisa "kawin" menjadi sebuah duo ialah dari rutinitas pembuatan tugas kuliah. Dari situ, keisengan mereka berkembang hingga akhirnya mereka mulai merilis karyanya dengan nama Bottlesmoker. 

“Jatinangor di awal 2000an merupakan tempat yang gersang” kenang Angkuy saat ditanya pertanyaan klise tentang asal muasal nama panggung yang mereka pilih sebagai duo. Kala itu berjalan kaki dan naik angkot merupakan moda transportasi sehari-hari mereka dalam menjelajah Kota Sumedang.

Mengingat cuacanya yang panas dan gersang, air minum dalam kemasan merupakan salah satu bekal utama bagi tiap perjalanan tersebut. Membuat kamar kost yang mereka huni penuh dengan botol air minum dalam kemasan yang sudah kosong. Merespon hal tersebut, kumpulan botol kosong yang menumpuk tersebut diberi tugas sebagai penampung puntung-puntung rokok. Lama-kelamaan rokok dalam botol terkumpul banyak sekali di dalam kamar, beberapa masih terkadang sampai mengeluarkan asap. Ada bottle, ada smoke, lahirlah terma “Bottlesmoker”.

Anggung Suherman (Angkuy) dan Ryan Adzani (Nobie), dua sahabat di balik unit elektronik Bottlesmoker yang kini menjadi salah satu langganan berbagai festival indie di berbagai negara. Dari India hingga ke Jepang.  

Meski telah aktif bermusik sejak 2006, ketika ditanya kapan Bottlesmoker lahir, Aggung Suherman (Angkuy) dan Ryan Adzani (Nobie) kompak menjawab 2008 adalah tahun resmi kelahiran unit ini; karena pada tahun itu baru secara resmi mereka memperkenalkan diri sebagai orang di balik Bottlesmoker. Sebelumnya proyek musik ini merupakan sebuah entitas yang ‘anonim’ di internet.

‘Ngebul’ Lewat Bermacam Gebrakan dan Medium

Sejak awal konsepsinya, Bottlesmoker tidak pernah berganti personel, pun tidak pernah berkurang atau bertambah. Selalu Angkuy dan Nobie, walau tidak jarang di panggung mereka menggandeng seniman-seniman lain seperti penari dan pemusik tradisional sebagai bagian dari pertunjukan. Sebagai sebuah entitas di dalam payung besar musik elektronik, Bottlesmoker mengaku tidak terlalu terikat sebuah subgenre yang spesifik. “Sebagai musik noise tergolong harmonis, sebagai musik tekno tergolong yang cukup eksploratif, terutama dalam bidang instrumen dan sampling yang digunakan, jadi semangatnya dekat juga dengan noise.” ungkap Angkuy. 

Dalam perjalanan berkarya Bottlesmoker, Angkuy dan Nobie sama-sama mengakui bahwa corong karya mereka ini telah berevolusi dari waktu ke waktu, bermusik dengan bermacam-macam tema dan wadah. Namun dari tahun ke tahun, ada satu semangat yang relatif sama; memberontak dan menantang tatanan yang sudah ada dan disepakati.

Pada album keduanya, mereka menggunakan alat musik mainan sebagai komentar bahwa menciptakan musik tidak harus menggunakan alat yang mahal. Diiringi pula cara distribusi mereka yang unik melalui lisensi creative commons, sebuah lisensi yang memperbolehkan orang untuk menyebarluaskan karya secara lebih leluasa. Hal tersebut dilakukan karena menurut mereka, musik adalah bentuk pengetahuan yang harusnya bisa dimiliki semua. Lalu sekarang, setelah melalui pematangan bertahun-tahun, Bottlesmoker "lahir" untuk kedua kalinya dan mencoba menantang hal yang dianggap "kuno" untuk dieksplorasi kembali.

Penampilan Angkuy dan Nobie di panggung-panggung awal Bottlesmoker pada akhir 2000-an.

Mendengar Suara Semesta, dari Bandung, Sampai ke Seluruh Penjuru Nusantara

Semuanya bermula dari keputusan keduanya untuk melanjutkan studi S2. Hal ini sebetulnya tidak pernah benar-benar ada dalam rencana hidup mereka. Kebetulan, keduanya selain menjadi musisi, juga bekerja sebagai pengajar profesional di beberapa universitas di Bandung. Maklum, agak sulit memang untuk sepenuhnya hidup dari musik. Apalagi untuk musisi-musisi yang sound-nya cukup "iseng" seperti mereka. 

Pilihan mengajar ini berawal semenjak Nobie diminta untuk mengisi mata kuliah sebagai dosen praktisi di kampus tempat mereka belajar. Alasannya cukup sederhana, kebetulan alat-alat yang digunakan untuk belajar di sana merupakan alat-alat yang cukup familiar digunakan Bottlesmoker untuk manggung dan berkarya. Pihak kampus menilai bahwa mereka dapat mengeksplorasi dan mengajarkan cara pemakaian dengan lebih eksploratif, dan tentu saja kontekstual.

Lama-kelamaan, akhirnya perjalanan mengajar mereka berkembang mengajar S1 sendiri-sendiri di tempat-tempat lain, yang tidak hanya berhubungan dengan produksi audio. Perkembangan karier mengajar mereka inilah kemudian yang membawa Angkuy dan Nobie mesti melanjutkan studi S2. 

Set list dari album teranyar mereka yang dirilis pada 2023 silam. Terinspirasi dari hubungan manusia dengan alam serta kearifan filosofi Sunda tentang lingkungan. 

Hari-hari menjalani studi S2 inilah yang merupakan sebuah momen ‘kesetrum’. Kebetulan tesis penyelesaian S2 Angkuy merupakan penelitian tentang pengarsipan musik. Menurut Angkuy, hal tersebut membuka paparan bacaan tentang etnomusikologi bagi mereka berdua. 

Sebetulnya, Angkuy dan Nobie sudah sejak lama beririsan dengan instrumen-instrumen tradisional Indonesia, khususnya Jawa Barat. Pada awal perjalanannya di tahun 2008-2012, Bottlesmoker sempat cukup aktif di Common Room, platform seni, kebudayaan, dan media yang terdapat di Bandung. Mereka kerap bertemu dan manggung bersama Karinding Attack, sebuah grup musik yang menggunakan karinding, alat musik tradisional Jawa Barat. Mereka mengakui, kala itu, sebagai pemusik elektronik pernah beranggapan bahwa musik tradisional seperti Karinding Attack merupakan sesuatu yang “enggak canggih” atau “ah, kuno banget” dalam jagat permusikan modern.

Namun, proses pendalaman studi S2 mereka kemudian banyak mengajak keduanya membaca lebih jauh, bahwa sebetulnya jagat musik tradisional, termasuk yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara, sangatlah kompleks dan menarik. Identitas dan esensinya melampaui sekedar instrumen musiknya yang kuno atau aransemennya yang khas. 

Musik di Nusantara merupakan bagian dari kehidupan yang lebih luas. Ia hadir dalam ritual-ritual seperti ritual panen, dimainkan dengan ketukan yang sesuai detak jantung, dan nada-nada yang bila diteliti, dipilih dengan maksud-maksud tertentu. Mereka terkesan atas penemuan tersebut. Bahwa sebetulnya musik-musik tersebut sama canggihnya, dan memiliki banyak hal yang menarik untuk digali, seperti halnya musik modern.

Mereka dipertemukan dengan hal-hal yang sebetulnya mirip dengan yang mereka eksplorasi dalam payung musik elektronik; ternyata sudah ada dan mengakar di tanah Nusantara. “Ada banyak musik tradisional yang polanya mengulang dan membawa ke tingkat kesadaran trance, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan pemusik elektronik tekno di party. Hal itu sebetulnya canggih sekali.” tukas Nobie. 

‘Setruman’ tersebut membawa mereka pada sebuah misi baru untuk Bottlesmoker. Mereka terpanggil untuk menggali dan menghidupi bentuk musik tradisional melalui bentuk bermusik yang mereka kuasai. Tidak serta-merta menghadirkan instrumen tradisional dan membawanya memainkan lagu-lagu modern, melainkan membawa ‘kosmos’ atau tatanan yang terkandung di dalamnya pada karya-karya mereka yang hadir di masa sekarang.