Kerja sambil main, main sambil kerja. Begitulah Primagung Dary Riliananda saat ditugaskan memotret di Mojolaban. Ini adalah cerita petualangannya menggali cerita tentang sederet hasil hasta karya lokal dari sebuah kecamatan di Sukoharjo.
Suatu hari saya mendapat penugasan foto dari salah satu biro foto jurnalistik. Tugas ini membawa saya ke Mojolaban, Sukoharjo. Tepatnya ke Desa Laban dan Desa Bekonang. Penjelajahan saya dimulai dari Desa Laban untuk mengabadikan aktivitas pengrajin kain di Sentra Industri Kain Pantai. Saya pun berangkat pukul delapan pagi dari kontrakan teman di kawasan Jebres. Sekitar seperapat jam kemudian saya pun tiba di sana.
Saya cukup sering melihat potret penjemuran kain pantai yang ada di Sentra Industri Kain Pantai Desa Laban, Sukoharjo dari Google dan media sosial. Banyak rekan pemotret di luar sana yang memakai momen ini sebagai bahan lomba foto. Terutama jika tema yang dilombakan berbau travel, keindahan indonesia, dan tetek bengeknya.
Begitu sampai, saya bertemu beberapa warga yang sudah mulai bekerja mengolah puluhan mori putih menjadi kain pantai siap jahit. Prosesnya ternyata cukup panjang. Mereka membutuhkan waktu sekitar lima sampai enam jam untuk merampungkan semuanya. Dimulai dengan mewarnai dan dilanjutkan dengan proses menyablon, mencuci, sampai menjemur kain.
Belum diketahui secara pasti asal mula Desa Laban menjadi Sentra Industri Kain Pantai, yang jelas sejak sekitar dua dekade lalu industri ini telah menjadi mata pencaharian utama dan komoditas andalan dari Desa Laban.
Aktivitas yang sangat memikat mata tentu adalah proses penjemuran. Kain sepanjang 25-30 meter yang sebelumnya telah diwarnai kemudian dibentangkan di pinggir Bengawan Solo. Motifnya yang beragam dan warna-warni membuat tanggul sungai terlihat mencolok.
Dalam sehari, warga desa ini bisa memproduksi kira-kira seribu meter kain pantai. Jumlahnya dapat berubah menjadi lebih sedikit, terutama saat musim hujan karena proses pengeringannya membutuhkan sinar matahari yang cukup panjang.
Kain dari Laban ini sudah tersohor hingga ke mancanegara. Bahkan pernah ikut serta dalam salah satu pameran busana mancanegara di Guadalajara, Meksiko dua tahun lalu. Tak heran kalau produk yang satu ini jadi salah satu potensi andalan desa yang sesungguhnya jauh dari pantai.
Kenapa lantas area yang jauh dari area pantai itu justru menjadi salah satu produsen kain pantai? Jawabannya masih misteri. Mungkin karena daerah Solo dan Sukoharjo juga merupakan sentra produsen industri garmen terbesar di Indonesia dan pada suatu hari salah satu sub-kontraktor pabrik-pabrik garmen di kedua kota tersebut berhasil mendapatkan untung besar dari pembuatan kain pantai. Mungkin, entahlah.
Proses penjemuran Kain Pantai Laban yang memanjakan mata. Jejeran kain aneka warna di bantaran Bengawan Solo sudah memikat banyak fotografer untuk sekadar mampir mengabadikan momen yang sejatinya adalah keseharian banyak warga di Desa Laban.
Tak ada yang bisa menjelaskan secara pasti asal-usul perkembangan Desa Laban menjadi sentra industri kain pantai. Yang jelas, menurut tuturan salah satu warga, usaha pembuatan kain pantai di Laban setidaknya sudah ada sejak 20 tahun yang lalu.
Tapi, cerita di Mojolaban tak berhenti sampai di situ. Ulik punya ulik, ternyata desa yang satu ini juga dikenal sebagai sentra produsen gamelan. Namun, rasa penasaran saya ini mesti ditahan dulu. Periode penugasan yang ketat mengharuskan saya untuk segera menuju lokasi berikutnya: Bekonang.
Manisnya Ciu Bekonang
Melanjutkan perjalanan, saya memacu motor keluar dari Laban, mengambil arah ke Timur. Sebuah tugu di tengah pertigaan jalan lantas nampak sepuluh menit kemudian, tanda saya sudah memasuki kawasan Bekonang. Adalah ciu, miras legendaris di kalangan warga lokal dan para penikmat minuman alkohol nusantara yang membawa saya ke sini.
Bekonang adalah salah satu sentra penghasil ciu selain Banyumas. Dalam perkembangannya, ciu dari kedua daerah ini memperkaya khazanah minuman alkohol nusantara dengan karakter masing-masing yang khas.
Usia industri ciu di Bekonang barangkali sudah atau setidaknya hampir setua peradaban di di desa ini. Bagaimana tidak, industri ciu di area ini dipercaya sudah berjalan sejak zaman kekuasaan Mataram pada abad 18. Para pribumi kala itu menganggap ciu sebagai minuman wajib setiap kali ada keramaian—sampai kini pun rasanya anggapan itu belum banyak berubah. Belanda, yang kala itu sudah berada di Indonesia lantas melihat minuman ini sebagai potensi bisnis. Maka dibangunlah sentra pembuatan ciu di Bekonang. Hingga kini, di desa ini, ciu diproduksi ribuan liter setiap harinya.
Aroma kuat langsung menusuk hidung, terutama saat melewati kampung Sentul dan Sembung yang katanya jadi "pusat ciu" di sana. Ternyata asalnya dari hasil fermentasi tebu dan proses distilasi untuk menjadikannya ciu dalam drum dan jerigen.
Puluhan drum dan jerigen itu lantas dijejerkan di teras rumah warga, mencolok sekaligus misterius. Bagi mereka yang awam dengan proses penyulingan ciu, drum-drum dan jerigen ini akan terlihat begitu random.
Saya pun mampir ke salah satu pabrik. Empunya masih cukup muda, baru menginjak usia kepala tiga dan sudah diminta untuk mewarisi usaha kakeknya. Ia mulai menyuling tetes tebu, bahan dasar ciu selepas subuh hingga sore hari bersama dua orang karyawannya. Proses penyulingan hasil fermentasi tebu dulunya memakai kuali yang dipendam di tanah, sebelum kini digantikan oleh drum kuningan dengan alasan efisiensi. Drum-drum ini dapat menghasilkan sulingan tiga kali lebih banyak dalam jangka waktu yang sama.
Deretan drum tempat fermentasi cairan tebu yang akan melewati proses distilasi sebelum menjadi ciu siap minum.
Rasa Ciu Bekonang berbeda dengan sepupu jauhnya, Ciu Banyumas. Pada umumnya, Ciu Banyumas berwarna lebih bening dan rasanya lebih halus. Sementara Ciu Bekonang mempunyai cita rasa yang lebih manis dan lebih menyengat. Bagi para sanak peminum yang gemar dengan karakter alkohol nan kuat, Ciu Bekonang bisa turut dicoba.
Biasanya Ciu Bekonang dijajakan dalam kemasan botol-botol bekas air mineral. Ada dua ukuran yang tersedia: 600ml dan 1L. Ciu siap minum ini kemudian bisa dibeli eceran atau borongan. Menariknya, khusus kemasan borongan, botol-botol ciu tadi lantas dikemas dalam kardus bekas air mineral pula. Bagaimana lagi, segala akal dikerahkan untuk menghindari masalah dengan aparat.
Seperti juga di Banyumas, terlepas dari popularitas dan potensinya sebagai komoditas lokal, para pengrajin ciu di Bekonang mesti gesit bersiasat mengakali aturan dan aparat. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Pemkab Sukoharjo yang menjadikan desa ini Sentra Alkohol Tradisional untuk Keperluan Industri dan Medis sebagai salah satu usaha melarang produksi ciu dan “membina” warga.
Ciu siap minum biasanya akan dipasarkan dalam botol-botol air mineral bekas, entah itu dalam ukuran 600 ML atau 1 L. Di Bekonang, satu botol ciu ukuran 1 L dibanderol Rp15.000 saja.
Toh pada akhirnya, para pengrajin di sana tetap menemukan celah untuk bertahan. Bahkan tak jarang, ciu ini menjadi buah tangan dari mereka yang berkunjung ke Sukoharjo. Beres dari Bekonang, saya pun memutuskan untuk pulang dan merencanakan kunjungan saya ke Mojolaban di waktu yang lain.
Pengrajin Gamelan dari Mojolaban
Waktu yang lain itu tiba sepekan kemudian saat saya hendak mengulik lebih dalam tentang pengrajin kendang di Desa Laban.
Berbekal citra maps, motor kembali saya pacu dari Jebres ke arah Laban. Sesaat setelah masuk ke jalan desanya, nampak sebuah rumah dengan puluhan kayu dan seorang pria paruh baya lengkap dengan kapak di tangannya. Insting saya pun mengatakan kalau saya sudah sampai di tempat yang benar.
Maman adalah mantan penampil Reog yang kemudian menjadi salah satu pengrajin gendang di Desa Laban sejak delapan tahun lalu. Lewat profesi barunya ini, Maman tetap menyalurkan hasrat seninya dengan tekun menggeluti setiap detail proses pembuatan kendangnya.
Puluhan potong kayu diletakkan di teras rumah. Sementara itu, pria tadi nampak serius memotongnya satu persatu. Beratnya kapak dan kayu yang tebal membuat keringatnya bercucuran walau cuaca sedikit mendung. Ia tetap melanjutkan, sampai kayu tadi dipindahkan ke sisi lainnya beberapa menit kemudian.
Ia adalah Maman, salah satu perajin kendang di Desa Laban, Sukoharjo. Rumahnya adalah bengkel sekaligus galeri kecilnya. Dulunya Maman adalah seorang seniman Reog dari Ponorogo. Profesi itu tentu saja membuatnya akrab dengan gamelan dan kendang yang mengiringi pementasannya.
Sampai akhirnya ia jenuh menjadi penari reog dan memutuskan untuk menggeluti produksi kendang di Desa Laban, ikut istri yang adalah orang asli sana. Awalnya, metode yang ia pakai masih sangat manual. Semua dikerjakan dengan tangan sendiri. Mulai dari memotong kayu, mebubut, memasang kulit, hingga mengukir kendang sebagai sentuhan akhir.
Selain ukuran dan kualitas kayu yang digunakan, ukiran untuk sentuhan akhir kendang juga akan menentukan harga dari tiap kendang yang dibuat Maman.
Sepanjang perjalanannya membuat kendang, ia terus mencari cara untuk menyelesaikan kerjanya dengan lebih baik, efektif, dan efisien. Baik itu dari segi waktu, tenaga, ataupun biaya. Maka belakangan ia pun memilih berinvestasi pada mesin bubut untuk mempercepat kerjanya. Dengan begitu, kini untuk membuat satu kendang dibutuhkan waktu sekitar sehari penuh.
Soal harga, ia mematok harga kendangnya mulai dari Rp450.000 sampai Rp8.000.000, bergantung dari jenis kayu yang dipakai, kerumitan ukiran, dan ukuran kendang. Biasanya ia memakai Kayu Nangka, Mahoni, dan Trembesi. Adapun kulit sapi dan kerbau masih yang terbaik untuk dijadikan tabuhan.
Untuk memasarkannya, Maman tak hanya mengandalkan omongan dari mulut ke mulut. Ia juga rajin membangun jejaring sosial di dunia maya. Bermodal facebook dan surel, langkahnya perlahan membuahkan hasil dan kendang-kendangnya mulai mendunia. Tidak hanya itu, pria dua anak ini juga sampai diundang secara khusus khusus untuk menjadi instruktur dan penyetel kendang di Malaysia, Jepang dan, Inggris.