Di kemiringan lereng Sarongge menguar harum aroma buah kopi, yang tanahnya tak henti-henti dirawat para petani sayur. Yang setiap bulirnya dimuliakan petani kopi. Meski hidup mereka, barangkali, sedang pahit-pahitnya.
Hari itu Selasa. Tersisip serasah, menggerisik pada sela napas yang lamat-lamat teratur. Di ujung pematang yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, kabut mulai menyelinap turun. Melantas di antara pucuk-pucuk tanaman kopi yang tengah berbunga.
Kunang menuruni sebidang lahan kopi yang pelan-pelan beratapkan kabut. Petak kepunyaannya sedang rimbun berbunga. Sesekali kerikil-kerikil runtuh pada kemiringan lereng. Penanda kaki dalam sepatu bot nya sedang mengerem. “Maaf, ya. Jadi terkena debu dan kerikil,” terdengar suara petani kelahiran 1965 itu, tenang.
Ia berhenti melangkah lantaran hendak mengecek buah-buah kopi yang belum sempat terpanen. “Panen lalu,” katanya bercerita, “dapat satu kantong kresek.” Kunang mulai menanam kopi pada 2018. Dibantu sang istri, ia menanam 1.200 bibit kopi Arabika. Beberapa lainnya berjenis Robusta. Ribuan bibit kopi itu dibudidayakan di lahan seluas paling tidak 6,5 patok. “Di sini kami terbiasa menghitung [dengan acuan] patok. Bukan meter,” tutur Kunang sembari menyingkap dahan-dahan kopi. Satu patok setara dengan 400 meter persegi.
Buah tanaman kopi yang ditanam Kunang selama dua tahun belakangan sebagai salah satu komoditas. Sebelumnya, tanaman kopi di Sarongge dan Tunggilis Pojok, biasanya ditanam sebagai pagar lahan sayur.
Bibit kopi dijual ke petani seharga Rp2.000 per batang. Harganya naik sebesar kira-kira Rp2.000 hingga Rp3.000 ketika dilepas ke pembeli yang bukan petani. “Bibit [kopi] saya diberi cuma-cuma oleh Babe,” papar Kunang sambil mengaduk minuman kopi.
“Babe” yang dimaksud Kunang adalah Tosca Santoso. Tosca, demikian ia biasa dipanggil, sejak bertahun-tahun silam mendampingi petani di Dusun Sarongge dan Dusun Tunggilis Pojok, Kecamatan Ciputri, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sebelum 2018, sejumlah petani di Sarongge hanya menanam sayur-mayur. Dua tahun belakangan, mereka mulai menanam kopi. Menanam dengan sukarela.
Lazimnya di Sarongge, “Petani menanam kopi sebagai pagar lahan sayur,” kata Tosca saat dihubungi melalui telepon beberapa waktu lalu. Ia terbiasa menyempatkan waktu ke Sarongge, setidak-tidaknya sekali dalam sebulan. Persinggahannya tak lagi intens semenjak pandemi virus korona. Nyaris setengah tahun ia tak bercakap-cakap dengan petani di tepi lahan, atau sekadar mengucap salam ketika melewati mereka yang tengah bekerja di huma.
“Babe belum sempat lihat kopi Bapak [Kunang menyebut dirinya] berbuah. Barangkali, ya, barangkali, Babe akan senang lihat pohon [kopi] saya akhirnya belajar berbuah, gemuk dan merah,” papar Kunang, yang bersambut senyum sang istri. Buah-buah kopi Kunang, memang, seperti dikatakannya, gemuk dan merah. Daunnya hijau segar. Sekali melewati satu lajur tanaman kopi Kunang, terasa betapa subur setiap bagian pada satu batangnya.
Subur, sesudah perjuangan keras selama dua tahun—dan terus berlanjut, semoga. Sebab, bagaimanapun, “Perputaran uang kebun kopi itu lambat. Sementara dapur harus ada substitusinya,” kata Tosca, yang berkukuh ingin dituliskan sebagai “petani saja” dalam artikel ini. Maka, papar Tosca, “Petani kopi juga menanam sayur-mayur.”
Sebelum mulai menanam kopi dua tahun lalu, petani-petani di Sarongge dan Tunggilis Pojok menanam sayur. Usaha yang hingga hari ini masih menjadi motor mata pencaharian mereka.
Tahun pertama dan kedua penanaman merupakan masa-masa terberat petani kopi. Bibit begitu ringkih ketika memasuki musim kemarau. Pupuk yang ditaburkan ke sekitar tanaman kopi pada akhirnya turut menyuburkan rumput-rumput liar. Sementara alang-alang, jika tak lekas disiangi, akan memperlambat pertumbuhan bibit kopi. Artinya, harus mengupah orang lain untuk menyiangi—dengan tangan, atau dibabat—dengan mesin, ketika rumput sudah rimbun menjulang.
Itulah mengapa kebun kopi petani kerap berpindah tangan dalam tahun pertama dan tahun kedua penanaman. Terlalu berat memanggul ongkos. Sementara kebun kopi belum mampu menghasilkan buah. Tapi itu baru soal biaya tenaga kerja. Belum bicara soal modal pupuk. Tanaman kopi membutuhkan paling tidak dua kali pemupukan dalam setahun. Lumrahnya, pemupukan berseling-seling dengan panen raya dan panen sela. Memupuk, panen raya, memupuk lagi, kemudian panen sela.
Kebun kopi di Dusun Sarongge dan Dusun Tunggilis Pojok berada pada kemiringan lereng. Aksesnya jauh dari desa terdekat. Jalanan tak selamanya beraspal. Tak selamanya berbatu. Selamanya menanjak.
“[Terasa] berat ketika waktunya memupuk. Tapi harus [dilakukan],” tutur Mamun. Tangannya tampak hati-hati menuang seteko air putih ke atas kertas penyaring kopi. Lelaki berusia 30 tahun itu menggarap satu hektare lahan kopi milik Perum Perhutani di Tunggilis Pojok. Usia 2.200 tanaman kopinya sebentar lagi tiga tahun. “Makanya mulai kepikiran, bagaimana nanti ketika panen?,” kata Mamun, yang siang itu memilih untuk mengopi dan mengobrol dulu ketimbang makan.
Ee Sulaeman, salah seorang petani yang ikut mulai menanam kopi pada 2018 dengan bibit dari Babe.
Kebun garapan Mamun berada jauh dalam kedalaman hutan. Pada gigir bukit, mendekati puncak-puncak Gunung Geulis. “Kepikiran biaya mengupah orang untuk memanen kopi,” katanya kemudian, “karena saya enggak bisa panen sendiri. Bisa-bisa enggak kepanen semua kopinya.” Ia menunduk, tertawa, lalu menoleh ke Ee Sulaeman, yang ikut tertawa. Melahirkan rasa gembira.
Seperti Mamun, lelaki berusia 65 tahun yang kerap disapa Mang Ee itu juga menggarap kebun kopi di Tunggilis Pojok. Bersebelahan dengan garapan Mamun. Ia menanam 1.970 tanaman kopi pada luasan yang setara Mamun. Luas lahan sama, tetapi jumlah tanaman kopinya berselisih cukup banyak.
Rupanya berkaitan dengan jarak antar tanaman. Mamun memberi jarak dua meter antartanaman kopinya. Sedangkan Ee, “ada yang [berjarak] dua meter. Ada yang 2,5 meter. Pokoknya 2018 mah intinya nanam aja dulu,” papar Ee yang berpindah rumah dari Tunggilis Pojok ke Sarongge. Ia mengamini keluhan Mamun. Baik tentang biaya upah tenaga kerja maupun pengangkutan—ya, pupuk, ya, panen—pada kemiringan lereng. “Kalau masih bisa angkut sendiri, alhamdulilah,” kata Ee yang disusul anggukan Mamun.
Memuliakan Nilai Suatu Perjuangan
Seandainya Kunang duduk di depan meja yang sama dengan Mamun dan Ee, agaknya pembahasan tentang karung-karung pupuk akan berlanjut hingga Mamun melewatkan makan, lagi. “Dulu saya mencicil untuk mengangkut pupuk,” kata Kunang bernostalgia. Mencicil tenaga.
Ada setidak-tidaknya dua cara menjual pupuk di Sarongge: sudah dalam karung, atau berbentuk gundukan. Yang terakhir, artinya pengemasan berikut pengangkutannya mesti dipikirkan oleh petani pembeli pupuk. “Saya beli satu ton pupuk. Pupuk gunungan [gundukan],” Kunang mengingat-ingat sambil mengelus-elus Boi, anak anjingnya. Saat itu Kunang tak berkehendak mengupah orang untuk membantunya. Maka ia harus memikirkan cara mengangkut pupuk, sendirian.
Tibalah hari yang dinanti-nantikan Kunang—tapi, agaknya, kurang membuat nyaman sang istri. Kunang mulai menyerok pupuk, memasukkan ke dalam karung hingga beratnya mencapai 30 kg. Ia mengulang lagi proses yang baru saja selesai. Menyerok pupuk, memasukkan ke dalam karung hingga beratnya mencapai 20 kg. Mesin sepeda motor dinyalakan. Yang 30 kg, ditaruh di depan kaki Kunang. Ia yang akan menyetir sepeda motor. Bagaimana dengan yang 20 kg?
“Saya taruh di tengah-tengah. Di antara saya dan istri saya. Istri saya dalam hatinya enggak nyaman, barangkali. Tapi, ya, sudahlah,” papar ayah dari tiga anak perempuan itu mengenang. Tahun ini perjuangan beratnya mulai membuahkan hasil. Tanaman kopinya mulai berbuah. Bulat dan tampak ranum. Ia juga tak perlu berpusing-pusing lagi harus menjual kopinya ke mana. “Sekarang ada babe yang menerima panen kopi petani Sarongge,” sahutnya.
Mamun, salah seorang petani kopi di Tunggilis Pojok meracikkan kopi hasil panennya.
Tosca mendirikan sebuah tempat pengolahan kopi di Sarongge. Panen kopi petani Tunggilis Pojok, Sarongge dan Pakuon—juga di Kabupaten Cianjur—selalu dibeli oleh Tosca. Sembari membeli, Tosca selalu mengingatkan supaya petani mau menjual buah-buah kopi yang merah matang, bukan hijau atau kuning. Merah ceri, begitu sebutan untuk buah-buah kopi berwarna kirmizi.
Harga beli tingkat kebun untuk buah kopi ceri basah Arabica sebesar Rp8.000/kg. Di beberapa tempat lain, jika menjual buah-buah yang masih hijau, harganya Rp5.000/kg.
Mamun bekerja di tempat pengolahan kopi milik Tosca. Rabu adalah hari liburnya, yang nyaris sepanjang hari dimanfaatkan untuk merawat kebun garapan kopi di Tunggilis Pojok. “Di sini [tempat pengolahan kopi], saya bisa belajar banyak. Saya jadi tahu, apa itu metode full wash, kopi lanang itu seperti apa. Ya, banyak,” papar Mamun yang mengaku “mau berkarier dulu sebelum menikah.”
Dua cangkir sudah terisi kopi panas racikan Mamun. Menghirup uap airnya, ibarat sedang berjalan kaki menyusuri jalur yang bernaung pohon-pohon endemis Gunung Gede-Pangrango. Rasamala, puspa dan suren. Ki hideung, ki leho, serta ki hujan. Pucuk-pucuk pohon pada tajuk hutan, yang hidup pada ketinggian 1.535 meter di atas permukaan laut. Pada kemiringan lereng Sarongge, yang tanahnya tak henti-henti dirawat para petani sayur. Yang setiap bulirnya dimuliakan petani kopi. Meski hidup mereka, barangkali, sedang pahit-pahitnya.