Logo Spektakel

Home > Eksplorasi >

Jalan Jauh ke Tidore (Bagian II)

Jalan Jauh ke Tidore (Bagian II)

Teks & Foto oleh: Rizki Hesananda

Jalan Jauh ke Tidore (Bagian II)

Tidore. Destinasi yang dengan sejuta kesan dan kejutan. Bukan cuma karena makanan, lanskap alam, dan ritme kehidupannya yang berbeda. Tapi juga karena di sini saya menemukan persaudaraan.

Jarak Ternate ke Pulau Tidore tidaklah jauh, keduanya hanya dipisahkan selat sekira 2 km. Maka penyeberangan saya pun tak memakan waktu lama. Tapi bukan berarti tak berkesan. Sepanjang perjalanan yang singkat itu, saya dibuat terpana karena bisa melihat langsung Pulau Meitara dengan gunungnya jadi ikon pecahan uang kertas Rp.1.000. 

Pelabuhan Rum menjadi tempat saya menginjakkan kaki di Pulau Tidore untuk pertama kalinya. Dari situ kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Ruslan Sangaji alias Ichan, tour guide dadakan yang saya rekrut di lobi hotel beberapa jam sebelumnya. Kami berdua berboncengan naik motor melewati jalan satu-satunya jalan utama di pulau ini. Rutenya meliuk mengitari pulau dengan deretan perkampungan di tepinya. 

Jika di Ternate saya dibuat heran dengan nihilnya Alfamart dan Indomaret, maka di Tidore yang dikagetkan dengan alpanya SPBU. Hal ini baru saya sadari ketika motor kami kehabisan bensin di tengah perjalanan dan hanya ada penjual bensin eceran menjadi penyelamat. Ketika melakukan transaksi saya sudah menyiapkan mental. Saya pikir harga BBM di Indonesia Timur bisa dua sampai lima kali lipat harga di Jawa sebagaimana yang diberitakan oleh media-media daring. Ternyata, harganya tidak jauh beda dari bensin eceran di daerah Pancoran, Jakarta.

Setelah 45 menit berkendara dengan latar kaki gunung di kiri dan bentangan Pantai di kanan jalan, kami akhirnya tiba di rumah keluarga Ichan. Rumah yang sederhana, terletak di tengah perkampungan. Di sana saya berjumpa dengan nenek dan adik Ichan. Mereka menyambut saya dengan hangat. Kepada mereka, Ichan memperkenalkan saya dengan bangga dan tak lama saya diklaim sebagai “teman Ichan dari Jakarta”. Ya, bagaimanapun Jakarta memang masih dipandang sebagai kota yang ”wah” di sini. 

Perjalanan menyebrang ke Tidore dengan latar Pulau Meitara. Penyebrangan dari Ternate ke Tidore hanya memakan waktu sekitar 40 menit menggunakan kapal Ferry. 

Seperti Sudah dipasangi timer, perut saya lapar begitu waktu menunjukkan pukul 12 siang. Saya lantas memanfaatkan kesempatan ini untuk berburu ragam kuliner sehari-hari orang Tidore. Bukan makanan fancy di restoran atau sesuatu yang disiapkan khusus untuk turis. Pilihan ini membuat saya diajak berbelanja di warung terdekat. Di sana saya membeli sagu mentah. Bentuknya seukuran roti tawar, tetapi sekeras batu bata. Selain itu saya juga membeli ikan yang sudah diawetkan. 

Semua bahan itu saya bawa ke rumah Ichan dan dengan sigap nenek Ichan membantu saya mengolah bahan-bahan makanan tadi. Si nenek mula-mula memasak air. Begitu mendidih, ia lalu memasukkan lembaran sagu mentah tadi. Begitu bertemu air panas, sagu-sagu yang amat keras tadi langsung meleleh dan berubah tekstur jadi seperti lem glukol yang saya gunakan untuk merekatkan kertas atau membuat layangan. Disaat bersamaan, nenek juga mengolah ikat awetan dengan bumbu-bumbu di dapurya. 

Begitu matang, saya langsung menyantapnya. Itulah kali pertama saya menyicip Papeda. Salah satu pencapaian dalam hidup saya sebagai tukang makan. 

Puas bersantap, saya diajak Ichan mengelilingi pulau dengan motor Mio-nya. Sepanjang perjalanan itu Ichan membuat beberapa perhentian. Dua di antaranya ialah sepetak pantai di daerah Soasio yang terletak di pinggir jalan, juga Benteng Tahula—benteng bekas pertahanan Spanyol dalam usaha mengusir Portugis dari Tidore.

Pantai tak bernama di daerah Soa Sio dengan pemandangan yang layak menghiasi feed Instagram.
Sepenggal Tidore dari puncak Benteng Tahula.

Hampir setengah hari itu saya habiskan bertamasya keliling pulau. Hingga matahari kian condong ke Barat dan langit hampir gelap. Saya lantas berinisiatif mencari penginapan di pulau ini. Saya tidak bermalam di rumah keluarga Ichan karena teman perjalanan saya ini akan kembali ke Ternate malam itu juga. Awalnya terpikir untuk menginap di dekat Pelabuhan Rum supaya tak repot saat hendak kembali ke Ternate. Namun harga penginapan di sana rupanya cukup mahal, tak sebanding dengan pelayanan yang ditawarkan. 

Di tengah kebingungan itu, datang seorang bapak yang nampak sangar. Badannya kekar dengan kulit kehitaman. Wajahnya terlihat seperti orang Ambon. Ia mengajak saya bercakap-cakap. Barang 15 menit setelahnya, saya baru menangkap maksud omongan bapak itu; ia hendak menawarkan saya untuk menginap di rumahnya dengan harga yang jauh lebih murah. 

Saya tahu, memilih tinggal di rumah orang asing di kota asing adalah sebuah perjudian. Namun saya tetap memutuskan untuk ikut bapak tadi ke rumahnya yang juga tak jauh dari pelabuhan. Tentunya diantar Ichan. Sampai di sana, saya disambut oleh istri si bapak dan dipersilakan menempati kamar anak mereka yang tengah berkuliah di Makassar. Setelah itu saya merapikan barang-barang, mengistirahatkan badan, dan membersihkan diri. Lalu saya meminjam motor si bapak untuk membeli makan malam.

Sebagai tamu, saya berpikir untuk membawa pulang buah tangan untuk dua tuan rumah saya. Maka akhirnya saya memutuskan membeli ikan asap yang saya harap akan menyenangkan hati ibu. Namun, di luar dugaan, ibu malah terlihat masam ketika melihat saya membawa jinjingan. Rupanya di dapurnya sudah tersaji lima ekor ikan bakar. Saya malu sendiri jadinya. Tapi toh Ibu dan bapak mengerti maksud baik saya. 

Malam semakin larut, dan saya terus mengobrol dengan bapak. Benar dugaan saya, beliau memang orang Ambon yang merantau ke Tidore. Ia datang ke pulau ini sejak usia belasan hingga kini usianya sudah menginjak separo abad. Seumur hidupnya bapak yang satu ini belum pernah menginjakkan kakinya di Jakarta. Belum ada hal yang menariknya ke Ibu Kota negara itu. Buatnya dan banyak orang Ternate segala kemegahan Jakarta dan iruk pikuknya hanyalah tontonan nun jauh di sana.

Di sela obrolan itu, si bapak lalu berujar bahwa ia punya pekarangan belakang yang akan membuat orang Jakarta seperti saya ini berdecak kagum. Penasaran dengan pernyataan si bapak, begitu pagi menjelang saya menyempatkan diri berjalan ke pekarangan rumahnya. Ternyata persis di sana menjulang Pulau Meitara. Ketika hari mulai siang, saya akhirnya pamit pulang. Tak lupa saya hendak membayar ongkos menginap seperti yang disepakati malam sebelumnya. Namun saat saya mengeluarkan dompet, si bapak malah menahan saya dan bilang tak usah membayar. Niat baik dan menjadi teman ngobrol semalam sudah cukup jadi bayarannya kata si bapak. Malahan saya diantarnya pula ke Pelabuhan Rum hingga dibimbing untuk mendapatkan tiket kembali ke Ternate. 

Di Tidore, Pulau Meitara menjadi pemandangan yang lumrah di pekarangan rumah sebagian orang. Termasuk rumah kedua tuan rumah saya.

Saya kembali ke Ternate dengan menaiki speed boat dengan ukuran yang kecil, tapi durasi perjalanan yang lebih singkat. Ini juga menjadi pengalaman pertama saya naik speed boat, untungnya saya tidak mabuk laut. Sekitar 30 menit kemudian saya tiba di Pulau Ternate. Saya turun sambil menggembol tas besar, berusaha melewati kerumunan orang menuju titik pertemuan dengan Ichan.

Sungguh aneh rasanya berada di tengah keramaian di kota yang begitu asing. Sosok saya berbeda dari kebanyakan orang di sini membuat saya tak luput jadi perhatian. Tidak salah juga, penampilan saya memang terlalu turis. Saya tiba lebih dulu ketimbang Ichan. Setelah beberapa lama menunggu, Ichan lalu datang dan kami kembali tamasya berkeliling pulau. 

Ada beberapa destinasi yang kami kunjungi. Dua di antaranya adalah lembah di area Danau Ngade. Di sini saya melihat rusa di habitatnya yang betul-betul alami. Bukan alami-buatan seperti yang ada di Kebun Raya Bogor. Lalu saya juga menyempatkan diri mampir ke kebun cengkih di dekat Universitas Khairun di Ternate. Keduanya adalah destinasi tersohor di Ternate. Kami memutuskan ke sana untuk mencari suasana yang sedikit berbeda dari pantai dan laut. Pun lokasinya dekat dengan kota Ternate sehingga cukup mudah diakses.

Hari lantas beranjak sore. Badan juga sudah terasa lusuh, dan saya lantas memutuskan untuk mandi. Saya menumpang mandi di rumah pribadi Ichan. Ya Ichan memang sudah lama tinggal terpisah dari orangtuanya. Selain karena tempat kerjanya juga berada di Ternate. Ini juga merupakan bagian dari budaya di sini. Ketika remaja laki-laki menginjak usia 18 tahun, ia harus tinggal terpisah dari orangtuanya. 

Rusa yang berkeliaran di lembah Danau Ngade
Kebun cengkih yang populer di dekat Universitas Khairun, Ternate.

Lokasi rumah Ichan ternyata berada di dataran yang agak tinggi, sehingga suhunya agak dingin dan agak susah akses air. Ditambah saat itu pompa airnya kebetulan sedang rusak. Ichan sendiri sudah beberapa hari mandi menggunakan air hujan yang ditampung di bak. Maka rencana saya sedikit berubah. Jadilah saya diantar ke rumah saudaranya untuk menumpang mandi. Sungguh sebuah perjuangan untuk sekadar membersihkan badan. Tapi justru di sinilah letak petualangannya bagi saya. 

Hari itu juga menjadi hari terakhir saya di Ternate. Esoknya saya akan kembali ke Jakarta. Pesawat saya akan berangkat pukup 08.15 WIT. Selepas bebersih saya pun memutuskan untuk bermalam di bandara saja. Toh Ichan juga hanya bisa mengantarkan saya malam ini karena dapat giliran kerja pagi esok hari. Maka berangkatlah kami ke Bandara Sultan Babullah. Di perjalanan, kami mampir dulu untuk makan malam di Suatu pasar di Kota Ternate. Lagi-lagi menu olahan ikan segede Gaban jadi menunya. Sampai-sampai akhirnya saya tak kuat menghabiskannya. Pula saya jadi dihantui risiko kolesterol. Tidak pernah sebelumnya saya makan ikan sampai takut sakit begini. 

Setelah makan, Ichan juga menyempatkan untuk mengajak saya menengok Masjid Raya Al Munawwar Ternate. Katanya ini masjid paling populer di seantero Ternate. Dan memang betul masjid ini memang ramai. Apalagi malam itu sedang ada perayaan Maulid Nabi. Setelah melihat-lihat sebentar dan mengambil beberapa gambar, saya dan Ichan lalu melanjutkan perjalanan ke bandara.

Begitu sampai di bandara saya dan Ichan saling mengucap salam perpisahan. Saya menempelkan amplop berisi uang ke tangannya sebelum masuk ke dalam bandara, tapi ia tolak. “Tidak usah kakak, anggap saja kita berteman. Saya dapat teman dari Jakarta. Nanti saja kalau saya ke Jakarta, gantian kakak jadi tour guide saya,” begitu katanya sumringah. Saya hanya bisa membalasnya balik dengan senyum dan pelukan erat. Setelah itu ia pamit dan saya masuk ke dalam bandara, mencari sudut yang pas untuk bermalam. Esok hari saya kembali ke Ibu Kota.