Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang demikian sibuk pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah di mana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.
"Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?" tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
"Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat lenganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan."
"Iya Min, iya, tetapi . . . . ", Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh.
Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menolehkan kepalanya sambil tersenyum, sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin menyeru-nyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.
Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggung biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba - tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa diparuhnya, burung itu melesat melintas para pencari batu, naik menghindari rumpun gelangan dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.
Sesungguhnya Karyamin tidak tahu betul mengapa dia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, Karyamin ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur lantaran bisul di puncak pantatnya. "Oleh karena itu, apa salahnya bila aku pulang buat menemani istriku yang meriang."
Karyamin mencoba berjalan lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang menyerbu ke dalam rongga matanya. Setelah melintasi titian Karyamin melihat sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihat bekas gigitan kampret.
Dilihatnya juga buah salak berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Dan Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging ketika Karyamin harus menempuh sebuah tanjakan. Tetapi tak mengapa, karena dibalik tanjakan itulah rumahnya.
Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin mendadak berhenti. Dia melihat dua buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya. Denging dalam telinganya terdengar semakin nyaring. Kunang-kunang di matanya pun semakin banyak. Maka Karyamin sungguh-sungguh berhenti, dan termangu. Dibayangkannya isterinya yang sedang sakit harus menghadapi dua penagih bank harian. Padahal Karyamin tahu, istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, dan entah hingga kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yang telah setengah bulan membawa batunya.
Masih dengan seribu kunang-kunang di matanya, Karyamin mulai berpikir apa perlunya dia pulang. Dia merasa pasti tak bisa menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yang sedang menghadapi dua penagih bank harian. Maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan baju batik motif tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.
“Nah, akhirnya kamu ketemu juga, Min. Kucari kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar, ya?”
“Menghindar?”
“Ya. Kamu memang mbeling, Min. Di gerumbul ini hanya kamu yang belum berpartisipasi." Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kau persulit.”
Karyamin mendengar suara napas sendiri. Samar-samar, Karyamin juga mendengar detak jantung sendiri. Tetapi Karyamin tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum. Senyum yang sangat baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri sendiri serta situasi yang harus dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin.
“Kamu menghina aku, Min?”
”Tidak, Pak. Sungguh tidak.”
"Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-senyum? Hayo cepat, mana uang iuranmu?”
Kali ini Karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kempong berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika melihat tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.
(Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin, Gramedia Pusataka Utama)