Home > Ini Indonesia >
Darman, Pengrajin Wayang VS Pandemi
Darman, Pengrajin Wayang VS Pandemi
Hari ini Darman tidak mungkin disuruh memilih antara membeli kuota internet untuk tugas sekolah anak atau beli beras untuk makan. Di saat bersamaan, kita mungkin yang berlimpah kuota menghabiskan bandwith untuk pamer kegiatan Work From Home atau sekedar posting sumpah serapah serta khotbah.
Malam ini bulan bersinar begitu indah dengan langit malam yang terlihat cerah. Di teras markas Sangkanparan, teman-teman seniman Cilacap kerap berkumpul untuk sekedar ngobrol ngalor-ngidul hingga debat serius soal politik dan perkara hidup. Obrolan malam ini seolah mengabaikan keindahan bulan, tak ada satupun yang memujinya. Semua obrolan berpusat pada ketidakberdayaan para seniman Cilacap menghadapi situasi hari ini.
"Obah salah! Meneng nang umah bae, ya alon-alon mati juga!" (Bergerak salah! Diam di rumah saja, perlahan mati juga).
Begitu suara hati Sudarman Siswa Pangrawit, atau akrab dipanggil Darman (50) - seniman tradisi asal Dusun Plered, Desa Tritih Lor - Cilacap, Jawa Tengah. Kesehariannya sebagai pengrajin wayang kulit baik untuk kebutuhan pertunjukan maupun cinderamata, jelas terganggu dengan kondisi pandemik Corona yang sedang menghantam dunia.
Darman memberikan pelatihan ke peserta magang SMK di Sangkanparan.
Selain pengrajin wayang, Darman juga berprofesi sebagai pranayagan (penabuh alat musik wayang) yang tentu saja profesi ini mengalami nasib serupa. Semua jadwal pertunjukan wayang luluh lantak. Tak ada pertunjukan, tak ada pemasukan.
Darman tinggal bersama istri dan 4 orang anak. Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, Darman hanya mampu menyekolahkan dua anak saja. Mijil Probo Bawono (16) saat ini sekolah karawitan di SMKN 3 Banyumas serta Mindar Wigaringtyas (10) duduk di bangku kelas 5 SD di Cilacap. Anak tertuanya, Ketawang Drias Yuwono (19) tidak melanjutkan sekolahnya, bekerja serabutan - sesekali mencari ikan dan udang untuk lauk makan di rumah atau menjaga adiknya yang paling kecil Lukita Lintang Pramesthi (4).
Darman tengah mengerjakan wayang kulit. Karyanya sering dipesan oleh dalang-dalang ternama.
Tentu Darman tidak pernah bermaksud mengabaikan anjuran untuk tetap di rumah, namun ia dan istrinya tak mungkin berdiam diri. Kebutuhan dapur harus dipenuhi secara harian. Beberapa pesanan wayang buatannya dibatalkan meski beberapa sudah keburu tergarap. Tabungan habis dan tak ada lagi yang bisa dipakai untuk sekedar membeli beras. Darman tidak punya lahan sawah atau kebun untuk digarap.
Seperti semua siswa sekolah, kedua anak Darman belajar di rumah. Sekolah memberikan tugas-tugas melalui Whatsapp, email, atau aplikasi seperti Google Classroom. Bagi sebagian orang mungkin ini adalah perkara sepele, tapi tidak untuk Darman dan keluarganya. Hari ini mereka tidak mungkin disuruh memilih antara membeli kuota internet atau beli beras untuk makan. Di saat bersamaan, kita mungkin yang berlimpah kuota menghabiskan bandwith untuk pamer kegiatan Work From Home atau sekedar posting sumpah serapah dan khotbah.
Pesanan wayang kulit tak kunjung jadi Rupiah, begitu pula tabuhan kendangnya. Darman menumpahkan kegelisahannya di teras markas Sangkanparan dengan menabuh kendang. Suaranya indah, seperti bulan malam ini. Tetapi tidak ada satu pun yang memujinya.