Negeri-negeri rempah, penamaan yang indah dan harum. Wangi cengkeh, pala, dan kayu manis seolah memasuki rongga penciuman saya, menenangkan jiwa. Namun, sejurus kemudian bayang masa silam hadir dan berbagai perasaan berkecamuk dalam diri.
Dalam catatan sejarah, keempat negeri di masing-masing pulau itu, Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan, adalah magnet yang mengundang berbagai bangsa datang berdagang, hingga suatu hari para pedagang bersenjata membangun benteng, menyebarkan agama dan menjajah. Persekutuan, ketegangan, dan relasi kuasa di antara para pedagang dan para penguasa negeri rempah mewariskan kisah-kisah perlawanan bagi rakyat empat negeri Maluku Utara, selain kisah-kisah muram.
Ternate berkembang sebagai negara sejak abad ke-12, lama sebelum Negara Republik Indonesia ada dan menaunginya. Sebelum negara Ternate terbentuk, momole atau kepala suku menjadi pemimpin. Setelah itu kolano atau kepala negeri yang memerintahkan hingga akhirnya islam menjadi agama penguasa dan Ternate menjadi negara kesultanan. Sejak lama pedagang-pedagang dari China, Arab, Portugis, dan suku-suku bangsa Nusantara memasuki perairan dan pelabuhan Ternate untuk mencari rempah-rempah.
Sebatang cengkeh berusia lebih 400 tahun menjadi saksi bisu era kejayaan rempah Ternate masa lalu. Namanya, Cengkeh Afo. Berdasarkan bukti sejarah, perjalanan buah cengjeh dari Maluku Utara bahkan telah mencapai tempat terjauh di abad lampau, termasuk sampai di Mesopotamia (kini menjadi wilayah Irak, Iran, Armenia, Azerbaijan, Turki, Kuwait, dan Suriah) pada abad ke-18 sebelum Masehi.
Foto ilustrasi petani cengkeh sedang membuka jalan menuju lokasi pohon cengkeh di Pulau Makian, Maluku Utara (Foto: Kompas/Hendra A Setyawan)
Cengkeh Afo menjadi bukti sejarah penyelamatan cengkeh kami ketika VOC membakar pohon-pohon cengkeh di Maluku Utara pada abad ke-17. VOC ingin harga cengkeh tetap tinggi dan bersekongkol dengan sultan ternate yang berkuasa. Rakyat sengsara.
Cengkeh Afo adalah lambang kehidupan yang sangat lama bagi orang Ternate ataupun Maluku Utara. Semula tak ada makna terkandung dalam kata “Afo” hingga akhirnya masyarakat Maluku Utara memaknai sesuatu yang tua dan berumur panjang sebagai Afo. Asghar Saleh menulis tentang Afo di halaman Facebook beberapa waktu lalu. Ia mengaitkan cengkeh itu dengan cerita rakyat Ternate. Asghar sempat jadi wartawan sebelum menekuni bidang kebudayaan. Dalam cerita rakyat, leluhur Afo diselamatkan oleh Aufat , seorang penduduk setempat. Aufat sengaja menyembunyikan beberapa bibit cengkeh, lalu diam-diam menanamnya di lereng Gunung Gamalama agar tak terpantau pihak musuh. Ia tidak rela pedagang-pedagang Eropa bersenjata merampas hak kedaulatan negerinya atas rempah. Sayang sekali kerja keras Aufat tak dilanjutkan penguasa di kemudian hari, sehingga Afo generasi pertama punah setelah bertahan lebih 4 abad pada tahun 2000. Generasi kedua Afo, lebih 200 tahun umurnya, bertahan hingga akhir 2016.
Saya menyaksikan sendiri Afo generasi kedua sekarat menghadapi kematian Suatu hari saya dan seorang teman sengaja ingin menengok Cengkeh Afo. Kami mengendarai motor sampai ke Kampung Tongole yang berada di lereng Gunung Gamalama. Setelah memarkir sepeda motor, Kami naik jembatan bamboo setinggi 3 meter, lalu disambung jalan kaki kurang lebih 300 meter untuk sampai tujuan. Kami melihat rumput-rumput kering terbakar di sekeliling Afo. Asap berarak di udara. Tidak jelas apakah api dari pembakaran itu yang telah membakar Afo.
Pohon Cengkeh Afo berusia lebih dari 200 tahun yang mati, batangnya terkelupas parah.
Kulit batangnya terkelupas parah. Rekahan besar maupun kecil terdapat di sekujur batang. Banyak dahan patah dan berubah jadi tunggul. Di ujung beberapa dahan yang tersisa terlihat daun-daun hijau segar. Hati saya luar biasa sedih. Dalam perjalanan pulang, kami tak banyak bicara. Memang tidak mudah melupakan sejarah rempah Ternate. Kisah-kisah sejarah itu terus didaur ulang menjadi kenangan budaya yang memikat lewat program-program kebudayaan dengan serentetan tema menarik, seperti “jalur rempah”, “catatan rempah”, dan “documenter visual rempah” Kota Ternate lalu dijuluki lebih memukau lagi: Kota Rempah.
Tak ada yang keliru ketika kita menggelorakan kejayaan masa lalu , yang berakar dari kebangsaan bahwa di tanah kita tumbuh berjenis tumbuhan bermanfaat dan bernilai tinggi yang menjadi kebutuhan penting umat manusia di dunia, yaitu rempah-rempah. Namun, jangan dilupakan kematian cengkeh-cengkeh Afo terjadi akibat kelalaian dalam pemeliharaan dan budi daya.
Saya kemudian membaca berbagai catatan yang mengisahkan pohon-pohon rempah juga tumbuh subur tak hanya di Maluku Utara, tetapi di tempat-tempat lain, seperti kayu cendana di Timor, pala di Banda, dan kayu manis di Sumatra Barat atau Kalimantan Selatan.
Pohon cengkeh di Negeri Ternate yang sejak zaman dahulu menarik banyak pedagang dan pengelana dari berbagai penjuru dunia.
Pada 4 juli 2023, saya menemui Rumen The, pemilik took Harapan Karya di Ternate, yang berperan sebagai pengepul rempah. Saya ingin mengetahui kualitas cengkeh Ternate. Pengepul artinya orang yang mengumpulkan komoditi tertentu untuk dijual kepada pihak lain. Ko Rumen, begitu saya biaa menyapapanya, orang Ternate keturuna Tionghoa. Ia mengisahkan bahwa kualitas cengkeh Zanzibar setara dengan kualitas cengkeh Ternate. Zanzibar merupakan wilayah semi otonom di negara Tanzania, Afrika Timur. Cengkeh Zanzibar berasal dari bibit cengkeh Ternate. Rumen tidak hanya memiliki keahlian berdagang, ia juga mengetahui sejarah rempah dan kandungan zat yang ada dalam buah cengkeh, buah pala, dan biji coklat.
Mendengar ulasan rumen tentang cengkeh, sepertu membaca ensiklopedi cengkeh yang hingga saat ini belum saya temukan. Rumen mengisahkan warna buah cengkeh menunjukkan kualitasnya. Setelah buah-buah cengkeh dijemur hingga kering, warnanya berubah. Buah cengkeh terbaik berwarna coklat kehitaman atau coklat gelap. Semakin gelap warna buang cengkeh, makin tinggi harganya. Negara-negara pembeli menyukai buah cengkeh warna coklat gelap.
Ilustrasi karya Fadriah Syuaib yang terinspirasi dari sejarah cengkeh dan kelindannya dengan kolonialisme dari masa ke masa.
Buku Jack Turner tentang rempah, Spice : The History of a Temptation, diterbitkan vintage pada 2005. Buku ini mengungkap betapa berharga rempah-rempah bagi orang Eropa dan bagaimana rempah-rempah mengubah sejarah dunia. Christopher Columbus, penjelajah-pedagang Italia, dikisahkan berlayar menuju India dengan kapal Spanyol untuk mencari emas hitam, istilah untuk cengkeh masa itu, tetapi ia malah tersesat hingga Benua Amerika dan bertemu suku asli yang disebutnya Indian atau orang Indian, aakibat ia mengira sudah tiba di India. Colombus membawa pulang tumbuhan yang dikiranya lada dan bunga pala. Padahal itu alang-alang dan tumbuhan kumis kucing.
Colombus terkenal kejam terhadap suku Arawak, penduduk asli Amerika Selatan, yang dijumpainya saat kapalnya mendarat. Ia menangkap lebih seribu orang Arawak untuk dikirim ke Spanyol sebagai budak, lalu ada yang dibunuh dengan berbagai teknik: dibakar, digantung, dipenggal, dan ditembak. Ini bukan cerita baru, karena kejahatan terhadap sesame manusia terjadi di masa lalu masih terus terjadi dalam bentuk-bentuk lain di masa mendatang. Suku-suku asli mengalami tindak kekejaman tak berperu yang dilakukan siapa pun yang menganggap diri beradab.
Pada abad ke-14 (1346-1353) wabah pes atau sampar melanda dan menghantui Eropa, menyebarkan kengerian melalui kematian lebih 25 juta jiwa hingga dijuluki Black Death. Penderita pes terinfeksi bakteri Yesrinia pestis. Inag bakteri ini adalah tikus, yang dipercaya bermigrasi dari suatu tempat ke tempat lain melalui kapal-kapal yang berangkat dari pelabuhansatu ke pelabuhan lain. Penawar yang dipercaya mampu menyembuhkan penderita sakit pes hanyalah cengkeh dan pala. Para navigator di kapal-kapal memutar arah kemudian mereka ke Asia Tenggara hanya untuk memungut serpih pala dan butir cengkeh sebagai modal kejayaan.
Dunia mengakui kejayaan masa silam rempah-rempah Ternate. Cengkeh Afo paling nyata dari memori tentang masa tersebut. Saya pun mevisualisasikan sejarah rempah kami dalam ilustrasi yang saya buat pada 2023, berjudul Hikayat Rempah. Buah-buah Cengkeh Afo menggunung di bagian depan, di tengah, atau pada pusat bidang, berlatarkan pemandangan langit, gunung-gunung, dan perahu kora-kora. Di kiri-kanan buah-buah cengkeh berserak buah-buah pala. Sebatang cengkeh Afo menghasilkan tujuh ton buah setiap musim panen tiba. Diameternya seukuran 7 hingga 8 orang dewasa berdiri elingkar. Semua itu hanya tinggal kenangan, yang terekam dalam lukisan cat cair ini.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan cukilan dari artikel "Cengkeh Afo, Petani Rempah, dan Sejarah Kami" yang pertama kali dimuat di Majalah MItra: Jurnal Budaya dan Filsafat No.37 Tahun XXIII/Catur Wulan 2-2023.