Home > Sorotan > Kegiatan Budaya >
Kansoda'a, Tradisi Pikul Gadis di Wakatobi
Kansoda'a, Tradisi Pikul Gadis di Wakatobi
Anak perempuan punya nilai yang begitu tinggi di mata masyarakat Wakatobi. Dan Kansoda'a menjadi simbol kebanggaan keluarga akan anak gadisnya yang telah beranjak dewasa serta tumbuh di lingkungan yang baik.
Momen akil balig seseorang merupakan salah satu hal yang dirayakan di Indonesia. Baik itu bagi laki-laki maupun perempuan. Di Wakatobi, perayaan akil balig perempuan disebut dengan Kansoda’a. Ritual ini adalah simbol kebanggaan keluarga terhadap anak perempuan mereka. Bahwa anak gadis mereka telah beranjak dewasa dan tumbuh dalam lingkungan yang baik. Kansoda’a ini dimulai dengan prosesi pingitan atau sombo’a di rumah parahu selama 10 hari.
Sebelum menjalani sombo’a, perempuan-perempuan belia ini terlebih dulu akan dimandikan dengan air doa berisi janur kelapa dan buah buah pinang. Air diguyurkan dari kepala hingga membasuh seluruh tubuh anak-anak perempuan itu. Setelahnya, janur kelapa yang direndam dalam air mandi akan dipukul-pukulkan ke kepala si gadis. Konon, jika banyak janur kelapa atau mbansa yang menyangkut di kepalanya, itu jadi penanda si gadis tersebut akan cepat menikah. Begitu pula jika buah pinang yang dibawa saat proses pemandian banyak bijinya si gadis dikatakan akan cepat mendapat jodoh.
Anak perempuan di mata masyarakat Wakatobi punya nilai yang tinggi, maka Kansoda'a adalah salah satu simbol kebangaan keluarga karena anak gadisnya sudah dewasa dan tumbuh di lingkungan yang baik.
Selesai mandi, gadis-gadis muda itu harus menginap di rumah parahu selama 7-10 hari. Selama itu pula, mereka harus memakai kunyit setiap hari dan sama sekali tidak boleh keluar rumah. Dalam masa pingitan ini pula, para gadis akan melaksanakan tradisi hepatirangga atau mewarnai kuku mereka dengan daun pacar.
Masa pingitan berakhir ditandai dengan pelaksanaan ritual hekire’a atau pemotongan sedikit rambut para gadis tersebut. Lalu, ibu ketua adat kembali akan memandikan peserta Kansoda’a dengan air doa. Baru kemudian gadis-gadis muda didandani selayaknya perempuan dewasa Bajo atau disebut pula dengan prosesi hepake. Disusul dengan prosesi hepanto dan hekasonda’a atau prosesi pemakan baju adat dan aksesori kepala khas Bajo yang dikenal dengan nama Panto.
Terakhir, gadis-gadis ini akhirnya diperbolehkan keluar rumah lewat prosesi turun tanah. Saat prosesi ini, kaki si gadis terlebih dulu dioleskan kunyit serta arang yang sudah mati. Beres itu semua barulah anak-anak gadis peserta Kasonda’a ditandu oleh saudara-saudara laki-laki mereka.
Beberapa tahun belakangan, prosesi Kansoda'a menjadi salah satu atraksi budaya yang dipertunjukkan dalam bentuk parade di gelaran Wakatobi Wave oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sembari menandu, para laki-laki ini kemudian akan bernyanyi dan berteriak untuk memberitahukan ke para tetangga anak perempuan mereka sudah beranjak dewasa. Tidak ketinggalan, kaum perempuan yang masih punya hubungan darah ikut menari dan menyanyi mengiringi arak-arakan mereka berkeliling kampung.
Sepanjang itu pula tandu akan digoyang-goyangkan secara ekstrem, seolah-olah tandu tersebut seringan kapas. Sementara, anak-anak gadis yang diangkut itu sebisa mungkin tetap tenang dan tidak menunjukkan rasa takutnya sebagai penanda kedewasaan mereka.
Tradisinya, prosesi arak-arakan ini diselenggarakan sehari setelah perayaan lebaran. Namun, beberapa tahun terakhir ritual ini menjadi salah satu mata acara Wakatobi Wave yang digelar Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Sulawesi Tenggara.