Setelah tiga bulan perencanaan dan tujuh jam perjalanan dari Jakarta, kami akhirnya sampai di Kampung Budaya Cikawung, Ciracap. Ini menjadi titik awal kami menjelajah Ciracap, tempat kami berjumpa dengan Kang Sukandar dan Sanggar Pencak Silat Garuda Mas binaannya. Wadah di mana ia beribadah lewat berbagi ilmu.
Bulan sedang terang-terangnya ketika kami tiba di Ciracap. “Saya nunggu di depan Kantor Kecamatan,” begitu pesan singkat Kang Ridho ketika kami sudah hampir tiba. Tak berapa lama, kami sampai di lokasi yang dimaksud. Setelah berbulan-bulan bolak-balik korespondensi, akhirnya kami berjumpa dengan sosok Ridho Losa (30), Ketua Paguyuban Seni Budaya Anak Ciracap Sukabumi.
Rupanya perjalanan belum berakhir. “Ini kita masih lanjut. Deket kok, sekitar 15 menitan lagi ke Desa Purwasedar,” kata Kang Ridho merujuk ke Kampung Budaya Cikawung, tempat kami akan bermalam selama di Ciracap. Jalan aspal berangsur-angsur berganti jalan tanah berbatu. Sekali lirik ke jam mobil, kami sadar perkiraan Kang Ridho sedikit meleset. Sekira 45 menit kemudian kami baru tiba di tempat tujuan. Memang ukuran jauh-dekat tiap daerah bisa berbeda, berikut ukuran perkiraan waktu tempuhnya.
Kami tiba disambut sejuk angin perbukitan. Waktu menunjukkan pukul 02.00, tapi niat untuk langsung tidur luruh dengan obrolan hangat bersama Kang Ridho. Saat adzan subuh mulai berkumandang, itulah peringatan kami untuk segera tidur. Hari kami masih panjang untuk menjelajah Ciracap.
Obrolan pagi bersama Kang Sukandar dan anggota senior Sanggar Garuda Mas serta Ketua Paguyuban Seni Budaya Anak Ciracap Sukabumi (Pasebanrasi).
Tiga atau empat jam kemudian kami sudah bangun lagi. Subuh tadi, Kang Ridho sempat berujar soal jadwal latihan pencak silat anak-anak di sekitar kampung di sanggar Garuda Mas. Jaraknya tak berapa jauh dari rumah tinggal kami. Tidak sampai 5 menit, kami sudah tiba.
“Ini dibuatnya dari bekas kandang ayam,” kata Kang Sukandar (45), pelatih pencak silat sekaligus tokoh masyarakat di Desa Purwasedar, tentang sanggarnya. Kerangka bangunannya memang seperti kandang ayam, minus sekat-sekat sarang ayam; atapnya tinggi terbuat dari seng, bukaannya luas. Cocok untuk dipakai berlatih belasan anak-anak di sekitar kampung setiap malam.
Baca Juga: Sanggar Kuda Lumping Fajar Muda: "Bertahan Belanin Seneng"
Belum lama bangunan sanggar itu berdiri. Kira-kira baru empat tahun, sejak 2017. Tapi kegiatan sanggar sudah berlangsung lebih lama. Sudah sekitar 15 tahun Kang Sukandar melatih anak-anak di sekitar Desa Purwasedar. Terhitung sejak ia kembali ke kampung halamannya setelah lama merantau.
Sanggar Garuda Mas memfokuskan programnya untuk melatih sekaligus memperkenalkan Pencak Silat kepada anak-anak usia belia.
Sang ibu yang memintanya untuk pulang, menikah, dan menetap. Titah yang tidak mungkin tidak dituruti. Sepulang dari rantau, rumah Kang Sukandar sering jadi tempat kumpul-kumpul masyarakat desa. Baik tua maupun muda, yang dekat ataupun yang jauh.
Lama kelamaan akhirnya para orangtua percaya untuk menitipkan anak-anaknya untuk dilatih pencak silat oleh laki-laki berawak tinggi dan tegap ini. Murid-murid datang dan pergi dan hari ini ada sekitar 20 anak yang berguru Pencak Silat di sanggar binaannya. Rentang usia mereka beragam. Yang paling muda berusia empat tahun, sementara yang paling tua sudah menginjak usia sekolah menengah atas (SMA.)
Baca juga: Putu Pancanaka: Pengrawit Cilik Kebanggaan Pasirpanjang
Dalam mendapatkan ilmunya, Kang Sukandar tidak punya satu guru tertentu. “Saya belajarnya dari mana-mana,” katanya. Semua ilmu yang ia punya didapatkan dari perantauannya selama belasan tahun, sebelum pulang ke kampung kelahirannya. Kehidupannya yang melanglang buana dulu membuatnya sering berada di posisi mesti bisa mempertahankan diri. Sehingga segala ilmu yang bisa ia gunakan untuk bertahan hidup ia pelajari dan simpan dalam-dalam. Baik itu ilmu bela diri maupun ilmu tentang hidup itu sendiri.
Sebagian besar penduduk Desa Purwasedar berprofesi sebagai petani beras. Selain itu mata pencaharian lain masyarakat di sini juga sebagai penjual batu untuk bahan bakar aspal.
Ilmu inilah yang lantas ia turunkan ke anak didiknya di sanggar. “Udahlah dek, kalau kamu mau mempunyai pelajaran apapun juga ya Insya Allah yang Mamang bisa, akan Mamang ajarkan,” begitu katanya suatu hari kepada anak dari kakak yang dititipkan kepadanya.
Itu ia lakukan untuk menyiapkan anak-anak didiknya menghadapi kehidupan. “Supaya kalau bisa jangan ada yang mengalami kesusahan seperti yang saya alami. Atau hinaan-hinaan yang saya dapatkan,” tegas Kang Sukandar. Alasan itulah yang terus menggerakkan Kang Sukandar membagikan ilmunya. Dari satu murid, kemudian terus bertambah silih berganti.
Sebagian dari Ibadah
Belasan tahun Kang Sukandar membangun dan membina Sanggar Garuda Mas. Dari latihan sekadar di pelataran rumah beralas tanah berbatu, hingga kini punya bangunan yang meski sederhana tetapi layak. Tentu dengan segala prosesnya. Kesulitan pendanaan dan pandangan sinis sekelompok masyarakat adalah dua di antaranya.
Kang Sukandar (kiri) dan Kang Ridho (kanan) menceritakan sejarah Angklung Buncis, produk kebudayaan tertua di Desa Purwasedar, Kec. Ciracap, Sukabumi. Kesenian ini juga menjadi salah satu objek kebudayaan yang dikelola Sanggar Garuda Mas.
Alasan yang terakhir disebut muncul karena praktik Pencak Silat dinilai berseberangan dengan akidah agama oleh sekelompok masyarakat di sekitar Kampung Budaya Cikawung. Padahal bagi Kang Sukandar, kegiatan membina sanggar adalah sebagian dari ibadahnya.
Lewat ilmu yang dibagikan, ia menitipkan doa dan harap agar murid-muridnya kelak bisa membela dirinya sendiri. Sebab asam garam kehidupan mengajarkan ia bahwa tantangan dan rintangan akan terus datang silih berganti. “Syukur kalau bisa menolong orang lain juga,” ujar Kang Sukandar di tepian curug tempat kami meliwet bersama.
Baca juga: Konon Katanya Seni Budaya Itu Penting
Di sanggar ini, Kang Sukandar memang tak sekadar mengajarkan jurus-jurus Pencak Silat. Melainkan juga cara membawa diri. “Daripada anak-anak berkeliaran di jalan, [orangtua memilih] lebih baik anaknya dititip ke saya supaya tidak terbawa arus,” kata laki-laki yang kerap terlihat mengenakan ikat Sunda ini.
Setelah sebelumnya berlatih di pelataran rumah Kang Sukandar, sudah beberapa tahun terakhir Sanggar Garuda Mas mempunyai bangunan sanggar untuk tempat anak-anak berlatih.
Dua hal yang tak pernah luput ditekankan Kang Sukandar kepada murid-muridnya ialah Pencak Silat bukan ilmu untuk disombongkan. Alih-alih, untuk menguasainya diperlukan ketabahan dan kesabaran. Dua hal yang sampai sekarang pun terus ia latih. Terutama dalam membina sanggar agar terus berlanjut.
Itu pula ibadahnya lewat sanggar ini. Pencak Silat dan segala kegiatan di sanggar Garuda Mas adalah bagian dari tetekon (aturan adat) leluhur yang harus terus dilestarikan. Dari pandangannya, Pencak Silat adalah ilmu leluhur yang berhasil membawa kita kepada kebebasan hari ini. Oleh sebab itu ia pun akan berusaha sekuatnya untuk meneruskan tetekon warisan demi memberikan kebebasan bagi anak-anak Desa Purwasedar di masa yang akan datang.
Artikel ini adalah salah satu bagian dari seri liputan #JelajahCiracap Tim Spektakel. Baca bagian seri lainnya di sini.