Logo Spektakel

Home > Opini >

Konon Katanya Seni Budaya Itu Penting

Konon Katanya Seni Budaya Itu Penting

Konon katanya sebuah perjalanan akan memberikan ruang dan waktu untuk perenungan. Kadang juga memberikan kesempatan untuk kegundahan. Perjalanan tim Spektakel ke Ciracap – Sukabumi tampaknya tak luput dari perenungan dan kegundahan. Kisah klasik nan klise tentang kerja-kerja kebudayaan yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat; linglung dan terasa getir.

Namanya Ridho (30), mengontak kami via direct message (DM) Instagram. Ia Bersama kolega-koleganya mengelola sebuah paguyuban bernama Pasebanrasi — Paguyuban Seni Budaya Anak Ciracap Sukabumi, yang menaungi 3 sanggar; Sanggar Kuda Lumping Fajar Muda, Sanggar Wayang Golek Pancanaka, dan Sanggar Pencak Silat Garuda Mas. 

“Kami sangat membutuhkan media promosi yang tepat untuk mengabarkan kepada seluruh Indonesia bahwa masih ada generasi bangsa yang mencintai seni tradisinya”, begitu tulis Ridho. Bukan pertama kalinya kami disapa kawan Nusantara dengan nada yang sama. Di lain hari, masuk pesan melalui Facebook Messenger Spektakel; “Kak, bagaimana caranya agar seni budaya kami dikenal banyak orang?”

Kemudian kami bertanya balik; “Kenapa menurut kalian itu penting”? Jawabannya selalu sama; karena ini tentang kami, jati diri yang takut hilang. Meminjam jargon pemerintah, Nusantara ini penuh dengan potensi ekonomi kreatif dari sektor seni budaya – permasalahannya selalu mentok di cara menerjemahkan potensi tersebut secara praktis. Kasus umumnya sekadar jadi program seremonial, tak menyentuh akar.

Perjumpaan pertama tim Spektakel dengan Kang Ridho setelah korespodensi daring. Perbincangan bergulir soal kabar, kegiatan yang sedang dikerjakan, hingga lika-liku menjalankan institusi yang fokus pada seni budaya di Indonesia. (Foto: Spektakel)

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan Pemerintah sebagai acuan legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia. Kampanye sosialisasinya sempat menggema, bergaung di kantung-kantung seni-budaya progresif, kemudian perlahan menghilang. Pandemi hanya memperburuk saja, bukan penyebab utama kenapa gaung tersebut menghilang. 

Awal pandemi merebak, pemerintah bergegas membuat aktivitas daring. Berbagai produk kegiatan daring dibuat, digenjot, dirayakan dalam panik dan kelinglungan. Seperti banyak program lainnya, ia perlahan namun pasti pudar dan tampaknya mulai terlupakan. Jadi bahan perbincangan pun tidak. Pandemi hanya memperburuk saja, bukan penyebab utama kenapa gaung tersebut menghilang. 

Cecap Ciracap

Jumat malam (05/03) rombongan delapan orang, konvoi dua mobil memulai perjalanan tujuh jam dari Menteng, Jakarta menuju Kampung Cikawung, Ciracap – Sukabumi. Perjalanan yang direncanakan selama tiga bulan; terdengar seolah-olah sebagai perencanaan matang, padahal cuma masalah belum ada uang buat beli bensin dan makan. 

Jauh-jauh ke Kampung Cikawung, kami memutuskan bertukar ilmu silat dengan teman-teman di Sanggar Pencak Silat Garuda Mas. (Foto: Spektakel)

Tiba di Kampung Cikawung pukul dua dini hari, disambut kopi dan obrolan ringan Bersama Ridho dan timnya. Merancang kegiatan nanti pagi. Kami menyewa rumah warga sebagai tempat menginap – warung di seberang buka 24 jam, khusnuson untuk meladeni kami. Konon revenue stream-nya meningkat selama kunjungan.

Jelajah kami mulai dari Sanggar Silat Garuda Mas di pagi hari. Sanggar yang berdiri sejak 2017, dibangun dari bekas kendang ayam. Kang Sukandar selaku inisiator menganggap dedikasinya pada sanggar yang ia buat sebagai bentuk ibadah. Hari ini muridnya ada 20 orang, kebanyakan anak-anak serta remaja.

Setelahnya kami mengunjungi Sanggar Kuda Lumping Fajar Muda di Kampung Waluran. Kampung ini berisikan orang-orang Kebumen yang “nyasar” ke Sukabumi gegara ditipu oleh VOC. Janjinya diboyong ke Borneo, ndilalah malah diturunkan di Ujung Genteng.

Kelompok kuda lumpingnya sendiri sudah ada sejak tahun 60an, tetapi baru di tahun 2012 mereka membangun sanggar dan memberi nama kelompoknya Fajar Muda. Berbincang kami dengan tiga sesepuh Fajar Muda; Pak Lamijan (61), Mbah Karyanom (81) dan Mbah Sakarta (90). 

Mbah Sakarta, di usianya yang hampir seabad masih aktif dalam kegiatan sanggar sebagai anggota Kasepuhan Sanggar Kuda Lumping Fajar Muda. (Foto: Spektakel)

Obrolan di depan sanggar yang sudah lapuk sana-sini, Pak Lamijan yang mengemban tanggung jawab sebagai ketua sanggar membeberkan banyak hal terkait keberadaan sanggar ini. Menurutnya, yang mereka cari adalah kesenangan. “Kalau dihitung buat ekonomi enggak akan ketemu, sama sekali enggak ketemu. Hanya belain senang saja, hahaha,” ujar Pak Lamijan. “Tetep aja yang profesinya tani ya tani. Ternak ya ternak. Dagang ya dagang. Ini belani seneng mas, kita kerjaan juga ditinggal.”

Setelah kunjungan ke Fajar Muda, kami rehat sejenak di pantai Ujung Genteng yang kesohor sembari menunggu waktu makan malam. Setelahnya kami bergerak ke Desa Pasirpanjang untuk bersua dengan Sanggar Wayang Golek Pancanaka.

Sudah ke Ujung Genteng, sayang kalau tak mampir menengok laut. Dari Waluran kami sempatkan belok ke Konservasi Penyu di Ujung Genteng. Hangat pasir putih, sejuk angin lain, dan pemandangan matahari terbenam cukup jadi jeda sekaligus penyegaran. (Foto: Spektakel)

Belum kami menginjak pelataran rumah Abah Ekaryadinata Cakrasuwangsa, rancak tabuhan gamelan sudah menyapa. Menuntun kami hingga berjumpa sumber suara; kelompok pengrawit yang seluruhnya terdiri dari anak-anak belia. Hampir setiap malam, mereka berlatih di pelataran rumah yang juga merangkap sanggar sederhana.

Usaha Abah Ekaryadinata Cakrasuwangsa dimulai dengan mengalihfungsikan pelataran rumahnya menjadi tempat latihan sederhana. Tabungannya hasil mendalang selama puluhan tahun ia jebol untuk membeli satu set gamelan besi dan Wayang Golek kayu. Setelah itu, ia bersama Pasebanrasi mengajak anak-anak di desa-desa sekitar untuk ikut berlatih karawitan Wayang Golek.

Putu Pancanaka, anak-anak kebanggaan Desa Pasirpanjang. Sudah dua tahun ini mereka berlatih bersama dalam senior sekaligus pimpinan Kelompok Wayang Golek Pancanaka. Merekalah generasi baru pengrawit Wayang Golek di Pasirpanjang. (Foto: Dok. Pasebanrasi)

“Jadi ketika saya berpulang ke rumah Tuhan itu sudah ada generasi baru. [Karena] sehebat apapun saya, tidak akan ada apa-apanya [kalau tidak diteruskan],” ujar Abah Eka ketika ditanya alasan beliau memulai sanggar ini.

* * * * * 

Nasi liwet hasil racikan Kang Ridho dan teman-teman. Tentu saja ludes dalam sekejap mata. (Foto: Spektakel)

Malam itu kami terkapar. Kunjungan ke-3 tempat tersebut menguras fisik serta mental kami. Selalu ada kehangatan, keakraban, kekeluargaan tersyiar dari mereka – tetapi sulit bagi kami menyembunyikan kegundahan. Pastinya, banyak cerita-cerita seperti Sanggar Silat Garuda Mas, Sanggar Kuda Lumping Fajar Muda, dan Sanggar Wayang Golek Pancanaka di seantero Nusantara. Kemudian apa?

Pagi menjelang di hari terakhir kami. Ridho mengundang kami untuk liwetan di kaki curug, sebelum rombongan pamit. Menunya nasi putih, ikan asin bakar, pete bakar, serta sambal kencur. Rasanya? Maknyus kali 5. 

Di curug itu, kami berbincang lebih dalam dengan Ridho; kenapa ia menghubungi Spektakel?

Perjalanan kami menyecap Ciracap menghantarkan kami ke cerita dan saudara baru. (Foto: Spektakel)

“Awalnya saya penasaran, apakah ada perusahaan yang bidangnya seni budaya. Setelah googling, saya cuma nemu Spektakel. Saya beranikan diri untuk menghubungi karena saya butuh dibantu untuk mengabarkan kegiatan-kegiatan di sini. Saya juga butuh rekan untuk menambah pengetahuan untuk anak-anak Pasebanrasi agar tak ketinggalan”, jelas Ridho.

Internet memang memampatkan dunia menjadi selebar daun kelor, tetapi relasi di dunia nyata tak bisa dimakzulkan begitu saja, setidaknya sampai peradaban ini sudah menerima dunia virtual lahir bathin. Karena itu, Ridho merasa terisolasi – tak paham mesti menoleh ke mana, berbincang dengan siapa. Pandemi hanya memperburuk saja, bukan penyebab utama kenapa isolasi itu terjadi. 

 

Artikel ini adalah salah satu bagian dari seri liputan #JelajahCiracap Tim Spektakel. Baca bagian seri lainnya di sini.