Bagi orang Cina, menjadi kaya bukan hanya soal naik kelas sosial atau kepemilikan aset. Kekayaan dan kemakmuran dalam nilai kekeluargaan masyarakat Cina adalah bentuk dedikasi terhadap keluarga. Sebuah tanda kasih yang praktikal.
Siang itu Cikarang sedang panas-panasnya. Saya dan mama menumpang becak, menerjang terik matahari bercampur asap knalpot truk dan debu aspal jalanan. Entah ke mana tujuan kami hari itu. Selain perdebatan kami satu dekade silam, detail tentang perjalanan itu sudah cukup kabur. Awal mulanya adalah lagu lama yang sudah sering saya dengar sedari kecil hingga kini sudah berusia seperempat abad: sayang sama dengan uang.
Stereotipe orang Cina yang materialistik dan perhitungan memang tidak tercipta dari ruang hampa. Paling tidak bagi saya pribadi akarnya jelas terlihat sejak dari lingkungan keluarga. Di keluarga besar saya, takaran sayang kepada keluarga adalah uang dan materi. Seberapa banyak kiriman anak ke orangtua setiap bulan, seberapa bagus pakaian Imlek yang diberikan, seberapa sering menantu mengajak mertuanya jalan-jalan, dan sebagainya. Itu semua lantas menjadi topik pembicaraan antarsanak famili. Setiap kali perbincangan itu muncul di acara-acara keluarga, saya hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menyuap makanan apapun yang disuguhkan saat itu.
Dalam cakupan yang lebih general, stereotipe orang Cina yang materialistik ini diafirmasi komedian Cina-Amerika, Ronny Chieng. Dalam salah satu penampilannya, Ronny membahas tentang kultur materialistik dalam masyarakat keturunan Cina. Sebegitu pentingnya uang dalam budaya Cina hingga ucapan yang awam dilontarkan pada perayaan Imlek adalah ‘gong xi fa cai’ yang artinya semoga Anda bertambah kaya!
Video tersebut langsung ramai dibicarakan dan dibagikan ulang di linimasa media sosial. Apa yang diceritakan Ronny menjadi sangat lucu karena sangat akurat! Setelah puas tertawa, video ini menggelitik lagi rasa penasaran yang mengganjal tentang stereotipe keturunan Cina yang materialistik.
Dalam bagian akhir cuplikan video tersebut, Ronny menceritakan tentang bagaimana masyarakat Cina berdoa kepada Dewa Uang, Chai Sen Ye, untuk kelancaran rezeki. Ini menunjukkan betapa uang dan materi begitu mengakar dan determinatif dalam budaya Cina. Ada beberapa penjelasan terkait hal ini.
Chai Sen Ye adalah Dewa Rezeki dalam kepercayaan Tao. Personifikasinya bisa kamu temukan dalam patung yang dipajang pedagang-pedagang keturunan Cina. Kami percaya, memajang sosok dewa ini di tempat usaha akan melancarkan datangnya rezeki.
Pertama, bahwa masyarakat Cina pernah berada dalam kondisi kemiskinan ekstrem yang mendorong mereka untuk bekerja keras memperbaiki kondisi hidup. Revolusi Kebudayaan untuk menepis pengaruh kapitalisme Barat yang dijalankan Mao Zedong pada 1960-an berakibat pada perburukan ekonomi Cina hingga pada tahun 1976 saat Mao meninggal, sebagian besar masyarakat di pinggiran Cina hidup di bawah ambang batas kemiskinan. Pasca Mao mangkat, Deng Xioaping perlahan-lahan mengambil kekuasaan dan membuat doktrin baru, “Poverty is not socialism, to be rich is glorious!”
Pada periode 1960-1980an ini, banyak masyarakat Cina yang merantau ke negeri orang. Mereka membawa serta etos kerja yang gigih ke negara tujuan. Baik itu Amerika ataupun Indonesia. Tujuannya satu, membuat hidup yang lebih baik untuk keluarga mereka di masa depan. Itu mengapa perantau keturunan Cina juga dicap sebagai pengusaha atau pebisnis ulung, meski tidak selalu benar adanya.
Lebih dari itu, kecintaan masyarakat Cina terhadap uang sudah tercatat sejak masa yang amat lampau. Lihat saja berbagai tradisi dan simbolisme masyarakat Cina. Jika dirunut-runut, hampir semua atribut tradisional Cina diasosiasikan dengan kelancaran mendapatkan rezeki. Hal ini juga baru saya sadari belakangan. Contoh yang paling jelas bisa dilihat menjelang perayaan Imlek.
Pasar Glodok yang di hari biasa ramai semakin padat di masa-masa menjelang Imlek. Kios-kios semi-permanen yang menjajakan berbagai atribut Imlek memadati pasar hingga menutup area trotoar. Hiruk-pikuk orang berbaur dengan antrean kendaraan yang padat dengan latar penuh warna merah dan emas nan meriah.
Coba kunjungi kawasan pecinan di kotamu, dan kamu akan disuguhi hiruk-pikuk Tenglang yang tengah bersiap membeli segala tetek-bengek keperluan Imlek. Glodok misalnya. Pada hari-hari menjelang Imlek, pasar yang di hari biasa pun sudah ramai ini kian meriah. Warna merah dan emas menyapu satu area pasar ini. Dua warna yang merupakan lambang kemakmuran.
Kamu juga akan melihat tukang-tukang buah menyetok jeruk hingga bergunung-gunung. Baik itu yang dijual satuan, pun dalam kemasan premium untuk bingkisan. Sebab jeruk adalah buah yang awam dimakan di masa Imlek. Gegaranya, buah jeruk dalam bahasa Mandarin dikenal dengan nama ‘gān jú’ (柑橘) yang pengucapannya mirip dengan kata hoki dalam bahasa Mandarin, ‘yùn qì’(运气).
Di sudut yang lain, kamu akan melihat toko permen dan manisan dipadati pengunjung. Manisan atau permen juga menjadi camilan wajib saat Imlek, sebagai pengharapan rezekimu akan semanis permen yang disuguhkan. Selain itu, kamu juga akan menemukan deretan kue keranjang yang dijajakan hampir setiap toko. Maklum memakan kue ini di hari-hari menjelang Imlek merupakan sebentuk pengharapan rezeki kita selama setahun ke depan akan selengket penganan manis tersebut. Perlambang yang sama juga kita jumpai ketika simbol ini diadaptasi dalam bentuk kue lapis legit yang hampir tak pernah absen dari perayaan Imlek. Konon supaya rezeki kita terus berlapis sepanjang tahun.
Baca Juga: Kemeriahan Cap Go Meh di Singkawang
Ini membawa kita ke penjelasan kedua, bahwa uang dan materi punya makna yang melampaui simbol kelas sosial. Dalam kepercayaan Tao yang dulu banyak dianut orang Cina dan keturunannya, kekayaan merupakan buah karma baik. Ini menunjukkan bahwa di kehidupan yang lampau kita adalah orang yang dermawan. Dan seterusnya, dengan menjadi kaya itu memungkinkan kita berderma dan berbuat kebaikan lebih banyak hingga kembali terlahir sebagai orang berpunya.
Selain itu, ikatan persaudaraan dan keluarga dalam masyarakat Cina amatlah erat. Adalah sebuah kewajiban dan kehormatan untuk saling menjaga, merawat, dan membuat senang antaranggota keluarga. Kecukupan materi—atau kelimpahannya—memudahkan hal tersebut. Materi yang dimiliki membuat kita tak sekadar mampu bersimpati, tetapi juga bisa memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi satu sama lain. Semisal membantu pengobatan saudara yang sakit atau membayarkan uang SPP kemenakan yang membutuhkan.
Kue keranjang menjadi barang dagangan utama beberapa toko kelontong di masa-masa menjelang Imlek. Penganan manis ini merupakan salah satu yang wajib dikonsumsi saat perayaan Imlek. Konon supaya rezeki kita lengket seperti kue keranjang.
Uang dan materi menjadi perantara menunjukkan kasih sayang secara praktikal. Bahkan ketika anggota keluarga yang dimaksud sudah tiada. Masyarakat Cina mengenal tradisi membakar uang-uangan yang dibentuk serupa ingot serta tiruan aset-aset material lain seperti rumah, mobil, dan pakaian yang terbuat dari kertas untuk bekal mereka di alam seberang. Biasanya benda-benda ini dibakar saat peringatan satu tahun mangkatnya almarhum keluarga yang bersangkutan.
Ada pula ritual sembahyang Ceng Beng. Ini adalah ritual tahunan yang didedikasikan untuk berziarah ke makam-makam keluarga yang sudah meninggal. Adalah wajib hukumnya dalam ritual ini kita juga turut menyuguhkan makanan kesukaan anggota keluarga yang bersangkutan saat berziarah. Meskipun disuguhkan dalam bentuk materiil, ini adalah bentuk cinta kasih dan dedikasi yang melampaui kehidupan itu sendiri. Entah itu bagi orangtua, kakek-nenek, atau siapapun orang terkasih yang telah mendahului kita.
Maka dari itu, ucapan ‘gong xi fa cai’ di setiap perayaan Imlek punya makna lebih dari sekadar doa kelancaran rezeki. Di dalamnya terselip doa untuk masing-masing dari kita bisa terus menjaga, merawat, dan membuat senang orang-orang terkasih di dekat kita. Jadi, selamat Imlek semua. Semoga kita menjadi kaya!