Setiap malam, satu dari tujuh penduduk bumi beranjak tidur sembari menahan lapar. Satu di antara empat anak di negara berkembang menderita kurang gizi. Mereka yang lapar lebih besar dari gabungan total warga Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa.
Setiap tahun, wabah kelaparan merenggut nyawa lebih banyak ketimbang AIDS, malaria, dan tuberkulosis. Demikian fakta dari badan PBB, Program Pangan Dunia (WFP).
Namun, terselip kisah unik di balik krisis pangan global 2008. Cargill, Bunge, dan ADM yang menguasai 90 persen perdagangan gandum dunia membukukan kenaikan laba 86 persen, 77 persen, dan 67 persen. Supermarket seperti Tesco, Carrefour, dan Wal-Mart tak ketinggalan. Pada 2009, pendapatan Wal-Mart setara dengan akumulasi PDB negara berpenghasilan rendah, yakni 400 miliar dollar AS. Sementara Monsanto meraup dividen enam kali atau meningkat 200 persen sejak 2001. Tatkala jutaan penduduk bumi merintih kelaparan, segelintir korporasi raksasa mendapat durian runtuh.
Hantu Malthus
Pada 200 tahun silam, Thomas Malthus meramal, jika pertumbuhan penduduk seperti deret ukur, sementara ketersediaan pangan seperti deret hitung, wabah kelaparan dan kekacauan tak terelakkan. Kemudian pada 1968, Paul Ehrlich mengingatkan bom populasi akan terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an seiring laju populasi melampaui produksi pangan serta kelangkaan sumber daya lainnya. Beruntung, berbagai inovasi berhasil meruntuhkan prediksi itu. Lantas, ramalan Malthus mesti dikubur?
Pelan tapi pasti, dunia dirundung kelangkaan akut. Tanah dan air kian tergerus. Temperatur bumi naik. Cuaca di luar kebiasaan. Sementara populasi dan konsumsi membeludak. Setiap malam, ada tambahan 219.000 perut yang minta diisi.
Salah satu pedagang buah di Pasar Induk Kramat Jati. Sampai hari ini Pasar Induk Kramat Jati memasok bahan pangan ke industri-industri pengolahan berbagai skala. Mulai dari warung makan, hingga pabrik.
Sejak krisis pangan global 2008, harga- harga masih melambung. Badan PBB FAO dan WFP memprediksi, krisis pangan yang telah menciptakan instabilitas politik di berbagai belahan dunia bakal terulang. Terbukti, krisis pangan 2011 telah menciptakan kerusuhan diikuti revolusi politik di jazirah Arab. Tumbangnya rezim Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, dan Khadafy di Libya adalah penggalan kisah dari negara yang menggantungkan 90 persen pangan dari impor.
Ancaman krisis pangan, diiringi resesi ekonomi dan melambungnya harga minyak bumi, membuat dunia makin rentan dalam ketidakpastian. Pangan menggelinding mendominasi konstelasi dan arsitektur politik global. Kompetisi untuk memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan menjadi kriteria penentu arah geopolitik global. Kelangkaan pangan membuat setiap negara berupaya menyelamatkan kepentingan masing-masing. Kampiun pangan seperti Rusia, Argentina, dan Vietnam ramai-ramai membatasi ekspor.
Kelangkaan sumber daya senantiasa terkait dengan suatu pilihan. Bagaimana membuat pilihan, keputusan, dan kebijakan dalam dunia yang penuh keterbatasan merupakan tindakan dan pilihan politik. Bukan sekadar bagaimana mengalokasikan sumber daya secara efisien, melainkan juga bagaimana sumber daya yang terbatas terdistribusi dengan baik.
Benar apa dikatakan Olivier de Schutter (2011), ”Hunger is not a natural disaster, it’s a political problem”. Kelaparan, rawan pangan lebih sebagai persoalan politik ketimbang masalah pertanian. Sumber utama kelaparan bukan kelangkaan, melainkan kebijakan. Bencana kelaparan bukanlah takdir yang tak dapat dielakkan, melainkan bergantung pada bagaimana pemimpin politik mengatasi skandal itu.
Kang Kunang, salah satu pekebun sayur yang kemudian menjadi petani kopi di Sarongge. Bersama sekelompok pekebun sayurnya, ia mulai serius menekuni menanam kopi sejak 2018 didampingi Tosca Santoso.
Diplomasi pangan
Orkestra tata kelola pangan global tak lepas dari campur tangan Bank Dunia, IMF, dan WTO. Liberalisasi ekonomi memaksa negara berkembang membuka pasar, sementara negara maju memproteksi dan menyubsidi petaninya. Hampir semua yang kelaparan adalah warga miskin, petani gurem di pedesaan yang menjadi pembeli produksi pangan. Sementara korporasi dan tuan tanah dianakemaskan dengan berbagai fasilitas dan bantuan.
Dibanding China dan India, Indonesia negara berkembang sangat liberal. Indeks Keterbukaan Ekonomi AS hanya 54 persen, sementara Indonesia mencapai 80 persen. Tatkala kita bangga mencapai swasembada pangan, saat bersamaan diiringi banjirnya barang impor. Setidaknya 65 persen kebutuhan pangan kita masih bergantung pada impor, seperti gandum, kedelai, susu, gula, daging sapi, dan garam.
Seperti kaset rusak diputar kembali, Indonesia merupakan negeri kaya yang rawan pangan. Peta ancaman kelaparan dan rawan pangan nyaris tak beranjak. Tahun 2009, 214 kabupaten dengan tingkat kemiskinan rata-rata dan 65 kabupaten dengan kemiskinan lebih dari 30 persen tersebar di Provinsi Papua, Maluku, NTT, NTB, dan Aceh. Dari total penduduk 237,6 juta jiwa, setidaknya 65,34 juta jiwa rentan rawan pangan atau 27,5 persen penduduk. Tak banyak inovasi kebijakan ditorehkan pemerintah. Paling banter kebijakan reaktif ala pemadam kebakaran.
Puluhan Warga Lumbung tengah mengantri giliran mengambil bahan pangan gratis lewat inisiatif Lumbung Pangan. Selama setahun lebih penyelenggaraannya, Lumbung Pangan menyediakan akses gratis bahan pangan serta bumbu rempah yang untuk kebutuhan memasak warga, entah yang tinggal di sekitar lokasi pembagian ataupun dari area yang lebih jauh.
Sebaliknya, kebijakan pemerintah yang amat dibanggakan seperti Program Food Estate dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia secara kasatmata memihak korporasi besar. Investor lebih diprioritaskan pemerintah ketimbang petani.
Bagaimanapun, persoalan global harus dipecahkan secara global. Semangat liberalisasi kebablasan dalam kebijakan domestik tentu kontradiktif dengan agenda diplomasi Indonesia di kancah internasional. Ironis, sebagai inisiator dan koordinator kelompok negara G-33, kebijakan dalam negerinya justru mengikis ketahanan pangan dan menyengsarakan petani domestik.