Logo Spektakel

Home > Opini > Kegiatan Budaya >

Perahu Retak Jalur Rempah

Perahu Retak Jalur Rempah

Teks & Foto oleh: Fadriah Syuaib

Perahu Retak Jalur Rempah

Di Indonesia, penerjemahan program-program kebudayaan oleh negara sering kali jauh api dari panggangnya. Pemerintah sering kali gagap dalam membuat rencana implementasi atas programnya sendiri. Hasilnya tak jarang sekadar untuk membuat laporan pertanggungjawaban atas serapan anggaran ketimbang memastikan dampak berkelanjutan yang diharapkan dari program tersebut. Muhibah Budaya Jalur Rempah salah satunya.

Pada 2020 Pemerintah lewat Direktorat Jenderal Kebudayaan RI menginisiasi Muhibah Budaya Jalur Rempah (selanjutnya disebut Jalur Rempah) sebagai Warisan Budaya Tak Benda ke UNESCO. Untuk mendukung proposal ini, lahirlah program pendukung untuk melakukan pencatatan sejarah dan membangun narasi yang kuat mengenai jalur perdagangan rempah di masa lampau, dari timur sampai barat Nusantara. Ternate, pulau kelahiran Fadriah (penulis), sempat disinggahi pelayaran Jalur Rempah yang diikuti oleh para “laskar rempah” (begitu sebutan untuk mereka) bersama sejarawan, guru sejarah, dan komunitas sejarah, selama dua tahun berturut-turut (2022 & 2023). 

Di tengah “digantungnya” nasib Jalur Rempah sebagai ekses dari pergantian pemerintahan dan pemecahan kementerian terkait, antusiasme masyarakat terhadap program penjelajahan dan petualangan yang eksotis ini terdengar lumayan meluap-luap, terutama di kalangan anak muda. Mengingat Jalur Rempah juga tengah dalam proses pengajuan sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO, sepertinya program ini terlalu disayangkan kalau tidak diteruskan. Sementara bagi Fadriah dan teman-temannya di Ternate, mengingat-ingat program yang telah lewat saja membuat hati mereka tersirap. 

***

Obrolan petang tentang Jalur Rempah

Hampir setiap sore saya menyempatkan singgah di Benteng Oranje, salah satu kawasan cagar budaya yang cukup populer untuk anak-anak muda di Ternate. Di sana saya mampir sebentar di kedai kopi dan mengobrol santai dengan dua orang teman, Andy dan Amat. Kami menyesap kopi dabe, begitu kami menyebutnya. Kopi yang aromanya kuat menguarkan rempah, kopi yang biasa orang Ternate nikmati setiap sore. Kami bertiga sama-sama punya komunitas seni dan beraktivitas di Benteng Oranje. Andy dan Amat tergabung dalam komunitas musik.  Sementara saya mengaktivasi sebuah ruang di kompleks Benteng Oranje, bernama Magazin Art Space, sejak 2020. Sebagai perupa, saya banyak berkonsentrasi pada seni rupa dan turut menghidupi ekosistem kesenian di Ternate, di antaranya dengan membuat pameran, mengadakan diskusi kesenian dan kebudayaan, serta mengadakan kolaborasi lintas disiplin untuk saling menguatkan aktivitas seni dengan komunitas-komunitas lainnya. 

Fadriah bersama kawan-kawan sesama pelaku kebudayaan di Ternate sedang berdiskusi di salah satu area di komplek Benteng Oranje. 

Terletak di kota Ternate, Benteng Oranje merupakan salah satu peninggalan Belanda yang sudah dialihfungsikan menjadi ruang kreatif bagi pegiat seni. Ruang yang terbilang masih gratis dan aman untuk komunitas dan publik. Biasanya, kalau dengan sesama anak komunitas, topik obrolannya selalu membahas tema seni dan aktivitas budaya yang ada di Ternate, seperti perkembangan komunitas, inisiatif gagasan kebudayaan, serta ide-ide untuk menjaga ekosistem kesenian agar tetap hidup. Persis seperti yang sering saya lakukan.  

Tapi, sore itu obrolan kami dimulai dengan menyoal program Jalur Rempah. Salah satu program kebudayaan yang digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Indonesia pada tahun 2020, dengan sejumlah kegiatan kebudayaan yang digelar di sepanjang titik Jalur Rempah. Tentu saja Ternate dan Tidore termasuk di dalam peta jalur perdagangan rempah Nusantara yang paling berpengaruh itu sehingga turut menjadi bagian dalam program berbasis kebudayaan tersebut. 

Kami bertiga mempertanyakan: “Sebenarnya (program) Jalur Rempah itu apa, sih?” Nah, barangkali sejauh ini, pertanyaan ini belum terjawab oleh orang Ternate sendiri. Karena, saat program itu dirancang tidak pernah ada diskusi terbuka atau sosialisasi terkait program tersebut oleh otoritas setempat, khususnya yang menangani soal budaya, yang melibatkan komunitas-komunitas budaya. Meskipun program kebudayaan yang bersifat temporer itu sudah lewat dan kemungkinan tidak berlanjut lagi, penting bagi saya membagi suka duka itu sebagai kenangan. 

Pentas seni dan pertunjukan tari yang tak pernah absen sebagai aspek hiburan dalam kegiatan-kegiatan seremonial yang meramaikan program Muhibah Budaya Jalur Rempah. (Foto: ANTARA)

Sepengamatan saya, program ini hanya berminat pada beberapa kelompok orang Ternate. Pertama, kebanyakan anak-anak muda yang berada di sanggar-sanggar seni budaya. Bagi mereka, Jalur Rempah adalah ajang tampil di atas panggung dengan menampilkan tarian dan musik tradisional yang gegap gempita. Kedua, anak-anak PAUD, TK dan SD. Bagi mereka, Jalur Rempah adalah lomba menggambar dan mewarnai rempah-rempah. Ketiga, para juru masak yang dilibatkan menjamu tamu. Bagi mereka, Jalur Rempah adalah hidangan penutup yang mereka sajikan setelah para tamu menyantap ikan bakar dan papeda (makanan dari sagu) sembari mencecap kue dan minum kopi dabe yang rasanya juga serbarempah. Hanya sebatas itulah kejadian selama program berjalan.

“Sepertinya kurang ada ide dan gagasan yang menarik,” ujar Amat. Andy langsung menambahkan dengan pandangannya. Ia menganggap program ini sebenarnya bagus jika dikemas dengan benar. “Ya, iya, karena program-program seperti ini, kan, selalu sama seperti sebelumnya. Apalagi kalau kerja samanya dengan birokrasi. Ide dan gagasannya ya gitu-gitu aja. Kaku! Coba kalau dengan pihak lembaga seni dan jalur kerjanya berkolaborasi dengan seniman. Pasti seru.” Tak menunggu lama, saya pun bereaksi, “Ya, karena tidak ada riset. Artinya, kita bisa kerja menggunakan pola yang sama. Tapi, harus juga memikirkan inovasi. Kan, budaya di Maluku Utara ini lumayan beragam, harusnya pendekatan programnya juga lebih merakyat. Jangan terkesan kayak menyelesaikan proyek atau anggaran saja.” Amat dan Andi pun menyetujui sembari menyeruput beberapa kali kopi.

Perayaan hora-hore yang tidak merakyat

Seperti itulah, Jalur Rempah diartikan sebatas acara hora-hore dan murni tanpa inovasi. Dalam pandangan kritis, bisa dibilang program ini memang kurang merakyat dan tidak memperhatikan aspek edukasi terutama bagi anak muda di Maluku Utara. Padahal, banyak kandungan historis. Apalagi di kalangan para pelajar yang kurang banyak tahu tujuan dari program ini. Sehingga, terkesan mubazir. 

Otoritas setempat dalam salah satu kegiatan seremonial Muhibah Budaya Jalur Rempah di Maluku Utara. (Foto: ANTARA)

Jangankan soal program itu, tentang sejarah Ternate pun jarang orang Ternate tahu bahwa negerinya pernah tersohor sampai ke mancanegara. Saya ingat dulu di masa sekolah dasar, pelajaran sejarah kebanyakan menggunakan referensi nasional. Tak salah memang orang Ternate belajar tentang sejarah Majapahit, perang Diponegoro, dan deretan kisah-kisah sejarah lain dari kota-kota besar, tetapi akibatnya banyak orang Ternate yang tidak mengenal sejarahnya sendiri. Baru pada 2007 saya menemukan buku sejarah tentang Kerajaan Ternate dan mengetahui bahwa ternyata Ternate punya sejarah panjang dan pengaruhnya hingga ke negara Eropa. Seakan merasa menemukan identitas diri.

Satu hal yang disesalkan adalah program Jalur Rempah bagi orang Maluku Utara sebagian besar hanya terkesan sebagai perayaan hiburan menyambut para pejabat kementerian, makan-makan enak, ba-ronggeng ‘bergoyang-goyang’ mengajak undangan dari kedutaan besar Eropa (Spanyol, Portugis, dan Belanda), dan yang paling klasik adalah mengundang artis ibukota. Miris.

Setelah obrolan di kedai kopi beberapa waktu itu, saya perih membayangkan bagaimana sejarah hanya dinikmati dengan perayaan di atas pentas. Membuat festival tanpa ada upaya menjelaskan tujuan dari festival tersebut dan mengemasnya dengan cara-cara tanpa mutu. Karena saya selalu mendapati hampir semua festival yang dibuat di kota Ternate–atau di Maluku Utara secara luas–hanya bersifat euforia dan ini sudah terlalu umum. 

Antara rempah dan ajaran leluhur

Saya jadi teringat pertemuan saya dengan seorang petani bernama Samsuddin Ade. Ia merupakan seorang pensiunan ASN yang pernah bekerja di Komando Distrik Militer (Kodim) wilayah Ternate. Om Udin, sapaan akrabnya, sudah mulai bertani sejak usia muda. Di lahan kebunnya itu ada sekitar lima pohon pala, enam pohon cengkih dan satu pohon durian. Setiap tahun ia menuai hasil dari buah-buah itu untuk kebutuhan hidup keluarganya. 

Samsuddin Ade, salah satu petani rempah di Ternate yang tengah memperlihatkan sebagian biji pala hasil panennya.

Obrolan kami lumayan serius. Om Udin bercerita tentang pengalamannya sebagai petani dan bagaimana ia memperlakukan tumbuhan-tumbuhan itu secara tidak biasa. “Jadi, menanam buah pala dan cengkih itu harus diniatkan untuk anak dan cucu kita kelak. Kalau nanti tanaman itu tidak sempat kita nikmati hasilnya, maka anak-cucu dan keturunan kita yang akan menikmatinya. (Kalau diniatkan seperti itu) pasti akan tumbuh,” ujarnya yakin.

Saya terkesima dan sepakat dengan pernyataan beliau. Ungkapan di atas merupakan warisan leluhur yang sangat merepresentasikan sebagian besar petani yang ada di Maluku Utara. Ia mengamalkan ajaran leluhur ini sejak mulai paham bertani hingga sekarang. 

Bila dikaitkan dengan program Jalur Rempah, perspektif yang dibangun secara esensial harus perlu mengaitkan sejarah masa lalu dalam aktivisme masyarakat masa kini. Sewaktu mengerjakan riset budaya pada 2023, saya bertemu dengan juru kunci Gunung Gamalama yang bergelar Kimalaha. Gelar itu diberikan langsung oleh Kesultanan Ternate kepada pemantau kondisi gunung. Di keseharian ia pun adalah petani rempah. Saat berjumpa dengannya saya menanyakan, bagaimana cara merawat rempah-rempah kita. “Sebenarnya awal untuk sesuatu yang hidup itu adalah niat. Doa atau niat itu, kan, semacam kekuatan dan ikatan. Kalau kita berdoa untuk dia (tumbuhan) tumbuh dan memberikan kita makan, yakin saja itu pasti tumbuh. Merawat itu ya harus rajin menjaga,” ujarnya. 

Baca Juga: Cengkeh Afo, Petani Rempah, dan Sejarah Kami

Ini yang membuat saya yakin, para petani di Maluku Utara itu mengadopsi ilmu leluhur. Seperti ungkapan dolabololo (peribahasa) yang bapak saya pernah bilang, “Ino fo makati nyinga, doka gosora se bwalawa, om doro yo momote.” (Mari kita menyatukan hati, seperti buah pala dengan fulinya. Jika saatnya buah pala itu jatuh dari tangkainya, maka fulinya pun akan jatuh bersama.) Dari sini ada makna cinta yang tersirat. Sekiranya, rasa saling menjaga harus ditebarkan pada siapa pun, tidak hanya tersemai pada hubungan antara manusia dengan manusia. Tetapi, antara manusia dengan tumbuhan (alam) harus juga punya ikatan kuat. Sebuah filosofi kultural dalam pendekatan rasa, cinta, dan kasih sayang yang harus ditumbuhkan sejak dari niat. 

Ungkapan dari bapak, Om Udin, dan Kimalaha di atas adalah kecerdasan leluhur. Jika perspektif ini dipakai dalam program Jalur Rempah, saya rasa akan lebih termaknai. Karena kalau bicara Jalur Rempah, itu bukan sekadar perayaan seremonial saja. Duduk bersama dengan petani rempah, berusaha memahami filosofi mereka dalam menjaga rempah, dan bicara kondisi pertanian rempah hari ini justru lebih kuat secara argumentasi. Saya pikir, perspektif ini barangkali bisa jadi acuan untuk program-program berlatar rempah di kemudian hari.

Kimalaha atau juru kunci Gunung Gamalama yang juga petani rempah.

Dengan begitu para pemangku kepentingan, pengunjung, pelajar, dan seluruh masyarakat yang terlibat dalam program ini akan menjadi tahu kondisi pertanian dan kebudayaan rempah saat ini: berapa hasil atau jumlah panen setiap tahunnya, berapa harga rempah-rempah saat siap dijual, berapa luas lahan tersisa bagi pertanian rempah, dan bagaimana petani-petani luhur seperti Om Udin dan Kimalaha, mengubah cara pikir matematis sederhana itu menjadi sebuah pengajaran yang luar biasa dan penuh arti, yang belum tentu generasi saat ini pahami. Sehingga kita semua bisa belajar dan terlibat dalam semangat makududara (saling jaga) yang telah mereka praktikkan sejak entah kapan, baik dalam konteks konservasi kebudayaan rempah maupun dalam kehidupan keseharian kita.

Petani rempah dan warisan yang mesti dijaga

Saya kembali berjumpa Andi yang kali ini tanpa Amat. Di sela-sela waktu usai menghadiri acara kebudayaan, ngopi memang cara terbaik untuk meregangkan urat saraf yang lumayan menjadi kaku selama acara. Karena terlalu banyak pidato dan itu hanya menguras waktu. Sembari mengobrol santai, beberapa cerita saya bagikan padanya. 

Memang seharusnya program-program budaya di suatu daerah mengikuti performa budaya setempat. Program Jalur Rempah juga harus mengapresiasi petani rempah dalam berbagai perspektif. Duduk bersama dengan mereka (para petani) dan berbagi pengetahuan bertani juga menarik. Sebab, mereka juga berhak bicara tentang lahan pertanian rempah yang semakin hari semakin tergerus akibat ancaman pembangunan. Sehingga pemangku kebijakan daerah barangkali jadi berbaik hati memberikan dan mengalokasikan lahan pertanian di beberapa kawasan secara kolektif kepada kelompok-kelompok petani yang ingin berkebun tapi tidak punya lahan. Atau mungkin membantu mensubsidi bibit untuk para petani agar pohon-pohon mereka semakin banyak. Sehingga program ini bisa menjadi solusi.

Salah satu rumah kebun milik warga di Ternate. Di Maluku Utara, masyarakat petani rempah atau pemilik kebun biasanya mempunyai rumah kebun untuk singgah di sela-sela kegiatannya.

Petani dengan segala panutan ajaran leluhurnya menjadikan warisan leluhur mereka sebagai amunisi terkuat dari zaman dulu hingga saat ini. Sementara pada kenyataannya, Indonesia dengan segenap program-program nasional berlatar sejarah tidak melihat hal fundamental ini sebagai referensi dan edukasi kultural yang sesungguhnya.

Antara Jalur Rempah dan ketahanan pertanian rempah dalam hidup masyarakat Maluku Utara mempunyai korelasi kuat sejak dulu kala. Hanya saja kita terlalu sibuk memperjuangkan hal besar dan mengabaikan hal kecil padahal bernilai besar. Saya khawatir saja rempah-rempah di Ternate ini perlahan akan habis dan hanya dimaknai secara historis seperti mengenang program Jalur Rempah. Sehingga, tidak melulu merayakan euforia.

Apalah artinya glorifikasi Jalur Rempah bila para petaninya ternyata tersisih, kesulitan hidup dari romantisasi jalur perdagangan besar ini.

 

Sumber Tulisan