Logo Spektakel

Home > Opini >

Menyoal Data, Fungsi Asosiasi, dan Relasinya dengan Negara

Menyoal Data, Fungsi Asosiasi, dan Relasinya dengan Negara

Bangunan kepercayaan antara masyarakat sipil dengan negara memang belum pernah mencapai titik terkuatnya. Program pemerintah sering dianggap mengulang hal yang sama tanpa hasil yang bisa menjadi tolok ukur. Program yang sama, hari yang berbeda.

Pada 3 April 2020 lalu, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud meluncurkan program Pendataan Pekerja Seni Terdampak COVID-19. Pendataan dilakukan secara daring, dengan menyebarkan tautan borang yang dapat diisi langsung oleh individu pekerja seni. Gelombang pertama pendaftaran ditutup tanggal 8 April dan menurut rilis, 40.081 orang telah mengisi formulir pendataan.

Menurut Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid, data ini mencerminkan sebaran pekerja seni di Indonesia dan di sisi lain juga sedikit banyak menggambarkan bagaimana akses internet dimiliki pekerja seni. "Tidak semua bisa daring, tidak semua punya smartphone dan bisa mendaftar melalui jalur daring," jelasnya.

Visual kampanye yang disebarkan melalui berbagai kanal daring.

Melalui rilisnya, Direktorat Jenderal Kebudayaan menjelaskan bila pihaknya telah menyiapkan dua skema bantuan. Pertama, bagi mereka dengan kriteria berpenghasilan di bawah 10 juta Rupiah per bulan, tidak punya pekerjaan lain selain berkesenian, sudah berkeluarga, dan belum mendapat bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH) atau bantuan sosial lainnya. Dalam skema ini, Kemendikbud akan mengintegrasikan data pekerja seni ke dalam PKH yang ada di Kementerian Sosial.

Skema kedua adalah pekerja seni dengan kriteria berpenghasilan di bawah Rp10 juta per bulan, tidak memiliki pekerjaan lain kecuali di bidang seni, belum berkeluarga, dan mendapatkan bansos atau terdaftar dalam program Kartu Pra Kerja.

Hilmar menuturkan, pendataan pekerja seni ini dibuat dengan sistem seleksi yang cukup ketat. "Ada nama, alamat, NIK, dan bukti karya. Jadi setiap orang yang mendaftar diminta untuk menunjukkan bukti karyanya. Bisa berupa foto ketika pentas, hasil lukisan, atau apa pun, sehingga datanya akurat  dan nanti akan dikoordinasikan dengan Kemenko PMK dan Kemensos untuk selanjutnya diproses," tuturnya.

Sebagaimana hal serupa di Indonesia, usaha pendataan ini terlebih dulu disambut dengan skeptis. Seperti ungkapan Zacky Mochammad, Talent Manager dari Heartcorner Collective di Purwokerto, yang turut mengisi borang. “Sebagai warga negara yang membayar pajak dari penyelenggaraan acara dan pajak penghasilan, aku selalu punya kepercayaan—meskipun kecil sekali, nol koma sekian—mungkin pemerintah punya program yang masuk akal.”

Sedangkan bagi Pak Marsam Mulyo Atmojo, ketua Paguyuban Wayang Orang Bharata, kendala gagap teknologi dihadapi olehnya serta anggota paguyuban. Ketika kami hubungi melalui telepon, beliau menjelaskan kesulitan para anggotanya yang kebanyakan sudah cukup sepuh untuk mengisi borang pendaftaran. Mereka punya akun surel dan tak paham pula apa kelanjutannya.


Warga menonton pembukaan Festival Mbok Sri Mulih 2019, Klaten - Jawa Tengah. Dok: Sanggar Rojolele.

Skeptisisme semacam itu sebetulnya bisa dipahami. Proses pendataan, pengarsipan, dan pengolahan data yang layak tidak pernah menjadi bagian dari budaya kita. Sering kali pendataan yang dilakukan tak jelas juntrungannya. Dan lagi, bahwa inisiatif pendataan baru dijalankan di kondisi genting seperti sekarang juga menunjukkan abainya kita terhadap pelaku dan pekerja kreatif.

Bangunan kepercayaan antara masyarakat sipil dengan negara memang belum pernah mencapai titik terkuatnya. Program pendataan semacam ini sering dianggap mengulang hal yang sama tanpa hasil yang bisa menjadi tolok ukur. Program yang sama, hari yang berbeda.

Tetapi mari kita ambil poin yang bisa menjadi landasan untuk diskusi konstruktif; pentingnya pendataan serta menilik kembali fungsi asosiasi serta relasinya dengan negara. Untuk itu, Spektakel berbincang dengan David Tursz yang pernah bekerja di Indonesia sebagai Atase Kebudayaan IFI, lembaga di bawah Kedutaan Perancis, serta Sonia Stamenkovic Co-director dari Cross Media Culture, agensi budaya yang menangani banyak pertunjukan di dalam serta luar Perancis. Perbincangan kami lakukan secara daring, bekerja sama dengan M Bloc Space dan rekanannya untuk disiarkan melalui berbagai kanal digital.

Peran Asosiasi

Mari kita mulai dari menilik sebentar sejarah asosiasi di  Perancis yang notabene memiliki sejarah panjang dalam memperjuang hak berserikat untuk masyarakat sipil. Salah satu momentum penting terjadi di tahun 1901 ketika ditetapkan pengkhususan hukum kebebasan berserikat. Undang-undang ini mendefinisikan asosiasi sebagai "Konvensi di mana dua atau lebih individu secara permanen menempatkan pengetahuan atau kegiatan dengan tujuan lain daripada (sekedar) keuntungan.” Hal ini muncul dari usaha untuk mengurangi dominasi negara serta gereja yang kala itu melahirkan banyak larangan untuk masyarakat berserikat.

Selama periode 1960-an asosiasi dan organisasi nirlaba lainnya berperan dalam demokratisasi olahraga dan budaya dengan dukungan pemerintah untuk menyebarkan budaya populer kepada mereka yang tidak memiliki kesempatan. Lahirlah Maisons de la Culture, Maisons des Jeunes et de la Culture (Rumah Budaya dan Pemuda) yang dipromosikan oleh André Malraux, seorang novelis yang merupakan Menteri Kebudayaan Perancis pertama. Bisa dibilang, berdirinya Kementerian Kebudayaan Perancis tahun 1959 adalah titik balik kebijakan kebudayaan di Prancis.

Asosiasi serta serikat pekerja inilah yang menjadi rumah bagi para pelaku seni budaya serta kreatif di Perancis, sebagaimana para pekerja pabrik dan sektor riil lainnya. Mereka tidak membedakan profesi menjadi sebuah kelas sosial. Kembali ke esensinya, asosiasi menempatkan pengetahuan atau kegiatan dengan tujuan lain daripada (sekadar) keuntungan dengan peran utama pengembangan kapasitas anggota serta fungsi sosial di masyarakat.


Kasrun, pengusaha penyewaan alat tata suara di Jatilawang, Banyumas - Jawa Tengah. Dok: pribadi.

Pekerja-pekerja kreatif secara individu tergabung dalam suatu asosiasi yang mendaftarkan mereka sebagai anggota. Dengan data yang lengkap, asosiasi-asosiasi dari lini profesi serupa lantas membentuk atau tergabung dalam serikat pekerja. Serikat-serikat pekerja inilah yang kemudian aktif melobi pemerintah tentang kebijakan-kebijakan terkait ekosistem kerja mereka. Menurut data tahun 2017, tercatat 1.5 juta asosiasi dan 2.300 yayasan resmi di Prancis. Sebagian besar asosiasi adalah organisasi akar rumput yang dijalankan oleh sukarelawan yang aktif di bidang budaya, olahraga, rekreasi, serta advokasi dan layanan sosial.

Soal Data & Kebijakan

Dalam perbincangan kami, Sonia menjelaskan salah satu fungsi tergabung dalam asosiasi adalah untuk mendapatkan bantuan pendanaan proyek kesenian dan kebudayaan dari pemerintah. Proyek tersebut diajukan ke asosiasi untuk kemudian dicarikan pendanaannya, termasuk subsidi dari pemerintah serta sponsor. Maka dari itu, asosiasi bisa dikatakan sebagai pemberi kerja atau employer. Dan di saat krisis hari ini, asosiasi mengajukan aplikasi subsidi Partial Unemployment bagi para anggotanya melalui serikat pekerja kreatif.

David menjelaskan, kebijakan Partial Unemployment adalah perangkat yang memungkinkan untuk sementara waktu mengurangi atau menunda aktivitas karyawan. Selama periode ini, pengusaha membayar kompensasi kepada karyawan yang ditempatkan pada posisi Partial Unemployment. Negara menjamin reimburs gaji yang dibayarkan perusahaan kepada karyawannya, sebesar 70% dari nilai gaji atau maksimal 4.500 euro.


Badriyanto, pengrajin wayang suket dari Purbalingga. Dok: Asep Triyatno.

Tidak hanya berkomunikasi dengan pemerintah. Serikat-serikat pekerja juga mengkompliasi data-data dari asosiasi di bawah naungan mereka tentang jumlah pegawai/seniman yang ditanggung serta jumlah proyek yang dibatalkan, termasuk pekerja lepas. Asosiasi kemudian melampirkan bukti proyek, baik berupa kontrak yang sudah ditandatangan maupun potensi proyek dengan bukti komunikasi seperti surel dan/atau bentuk lainnya yang dapat diverifikasi. Data ini kemudian digunakan untuk bernegosiasi dengan para sponsor agar asosiasi tetap mendapatkan sebagian pembayaran dari acara yang dibatalkan.

Kebijakan ini berlaku untuk semua, mulai dari agensi budaya seperti yang dikelola Sonia hingga klub bola sebesar PSG, asal mengajukan diri dan memenuhi semua persyaratan pengajuan. Menurut David, hingga hari ini Pemerintah Prancis telah menggelontorkan dana sebesar 20 miliar Euro.

Sistem ini tidak sempurna, Sonia sendiri mengakui bahwa prosesnya memakan waktu lama. Resolusi dari Kementerian Kebudayaan Perancis di atas misalnya, baru diberlakukan pada awal April. Sementara dirinya sebagai Co-director harus memutuskan nasib para pegawai dan seniman di bawah naungan agensinya sejak akhir Maret. Namun setidaknya Prancis sudah memiliki sistem yang terukur untuk menciptakan jaring pengaman bagi para pekerja di semua lini. Tak terkecuali pekerja kreatif.


2 jam konser amal dari rumah, Didi Kempot kumpulkan donasi Rp. 4 miliar. Dok: Alfi Prakoso.

Kembali ke konteks di Tanah Air, pendataan yang dilakukan Kemendikbud adalah langkah awal yang harus dievaluasi cara komunikasi, distribusi, serta pemanfaatannya. Lebih jauh lagi, diskursus mengenai sektor seni budaya dan pekerja kreatif juga perlu diperluas spektrumnya. Apakah, misalnya, tukang sewa sound system pertunjukan dangdut di desa-desa termasuk dalam kategori pekerja kreatif? Jika ya, mungkin sudah saatnya kita memasukkan mereka dalam pembicaraan seputar nasib pekerja kreatif di tengah pandemi.

Sama krusialnya adalah mendefinisikan dan mengukuhkan kembali peran asosiasi dan serikat pekerja, karena pada akhirnya asosiasi dan serikat pekerja di sektor apa pun mesti bisa membuktikan kontribusi apa yang bisa mereka berikan. Baik itu kepada para anggota yang mereka naungi maupun publik yang menjadi audiens mereka.

Referensi: