Home > Ini Indonesia >
Gema Semangat Mbah Gepuk
Gema Semangat Mbah Gepuk
Jika kembali ke masa silam, mungkin seorang petani dari Desa Bantarbarang tak akan terpikir ketertarikan dan hobinya bisa menular dan berdampak yang signifikan bagi orang-orang di desanya kemudian. Ia adalah Mbah Gepuk dan wayang suket buatannya.
Di sebuah rumah semi permanen, Badriyanto bersama istri dan anaknya sibuk menganyam rumput kering menjadi wayang gunungan berukuran kecil. Hari itu mereka sedang mengerjakan pesanan 200 gunungan wayang suket dari seseorang di Solo. Jadi hampir 12 jam sehari, Badriyanto dan keluarga menganyam puluhan wayang suket.
Badriyanto adalah pembuat wayang suket dari Desa Wlahar, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Keterampilannya membuat wayang suket ini diturunkan Mbah Gepuk yang adalah kakeknya sendiri. Mbah Gepuk yang seorang petani punya kebiasaan tinggal di sawah dan hanya pulang satu minggu sekali. Di sela-sela menjaga sawah itulah, ide membuat wayang dari rumput muncul.
Wayang suket dibuat dengan cara menganyam rumput. Berawal dari hobi sang kakek, wayang suket kini menjadi mata pencaharian bagi Badriyanto.
Hampir setiap hari, Badri kecil mengantar makanan untuk kakeknya di sawah. Selama di sawah, Mbah Gepuk dengan lancar akan mengisahkan cerita wayang kepada Badri sembari membuat wayang rumput. Sementara Badri dengan seksama mendengarkan. Ia lantas jatuh cinta dengan kehebatan karakter wayang yang diceritakan si mbah. Itulah mula keinginannya belajar membuat wayang rumput.
"Saya masih ingat, bentuk yang pertama kali saya bikin adalah mulut dan hidung Bambang Wisanggeni, langsung diajari sama mbah,” kenang Badri.
Saat Mbah Gepuk pulang ke rumah, beliau membawa semua wayang yang telah dibuat dan untuk dijual di Pasar Bantarbarang. Sesekali Mbah Gepuk juga akan keliling desa untuk menawarkan wayang hasil kerajinannya ke masyarakat. Sampai kemudian hasil karyanya dikenal oleh masyarakat dengan sebutan 'Wayang Suket Mbah Gepuk'.
Pada tahun 1990, diadakan perhelatan nasional Perkemahan Wirakarya Nasional (PWN) di Desa Bantarbarang, tepatnya di Monumen Tempat Kelahiran Jenderal Soedirman. Dalam acara ini Presiden Soeharto datang untuk meresmikan patung pandu Soedirman. Di sana si Mbah lalu bertemu dengan Sindhunata, budayawan asal Yogyakarta yang saat itu sedang meliput kegiatan. Dari situlah nama Mbah Gepuk mulai beriak hingga dikenal dan diliput banyak wartawan nasional. Sampai kemudian digelar pameran wayang suket Mbah Gepuk di Yogyakarta dan Jakarta.
Bagi Badriyanto, walaupun sang kakek sudah mangkat 1999 silam, ingatan hari-hari awal ia menganyam wayang suket bersama si Mbah masih terekam jelas. Sebagai satu-satunya keluarga yang mewarisi cara membuat wayang rumput, dia pun merasa mesti meneruskan apa yang telah diwariskan kepadanya. Sebab itulah ia lalu mulai mengajarkan cara membuat wayang rumput di lingkungan sekitarnya, sebagaimana dulu si Mbah mengajarkannya.
Tak hanya kepada istri, anak, ataupun tetangga. Beberapa kali dia juga menyelenggarakan workshop singkat membuat wayang suket kepada pelajar SMA maupun orang yang berminat. Biarpun kebanyakan peserta mengikutinya sebatas untuk menuntaskan rasa penasaran. Setelahnya mereka lalu berhenti. Oleh karena itu, sekarang Badriyanto fokus untuk mengajarkan ilmu itu ke istri dan anaknya.
Pembuatan wayang suket biasanya memakan waktu sekitar 3-4 hari dan menggunakan rumput yang cukup fleksibel sehingga gampang dibentuk.
"Sekarang pesanan semakin banyak, Mas. Kalau dikerjakan sendiri jelas saya kewalahan. Ya akhirnya istri dan anak saya ajari. Selain bisa regenerasi juga biar bantu saya,” jelas Badri. Dalam sebulan biasanya Badri menerima lima pesanan wayang, baik satuan maupun set. Dibutuhkan sekitar 3-4 hari untuk menyelesaikan satu pesanan. Keterbatasan waktu, tenaga, dan bahan mentah membuat Badri membatasi pesanan.
Wayang suket yang dibuat Badri menggunakan rumput kasuran. Rumput ini langka sebab hanya tumbuh pada bulan Sura sebagai bahan bakunya. Ini adalah salah satu pakem dari Mbah Gepuk yang masih dipegangnya. Meski langka, rumput kasuran punya tekstur yang gampang lentur sehingga mudah dibentuk tetapi tidak mudah patah. Warnanya pun cenderung bisa terjaga.
Setiap bulan Sura, Badriyanto memanen rumput kasuran di sawah sekitar. Jika hasilnya dirasa kurang, Badriyanto akan berkeliling kecamatan Rembang untuk mencarinya. Namun, jika nasib nahas sedang datang dan rumput kasuran sama sekali tak ada, maka mau tak mau ia akan menggunakan rumput lain yang hampir mirip dengan rumput kasuran.
Pakem lain yang masih ia pegang betul Badri adalah bentuk anyaman. Badriyanto belum berani banyak mengubah bentuk anyaman yang diwariskan si mbah, terutama untuk bagian inti tokoh. Untuk tetap membuat wayang buatannya menarik sering kali yang dia lakukan hanya menambah atau mengganti aksesoris dari tokoh wayang. Namun, bukan berarti Badriyanto sama sekali tak bereksperimen. Kini ia turut membuat wayang Semar, tokoh punakawan yang dulu pantang dibuat Mbahnya.
Satu dua perubahan yang melenceng dari pakem Mbah Gepuk memang ia lakukan. Semata untuk memenuhi permintaan pembeli. Bagaimana lagi, toh wayang suket bukan sekadar hobi bagi Badri. Wayang suket menjadi penyambung hidupnya setelah berhenti jadi tukang kayu akibat kecelakaan.
Serupa tapi Tak Sama
Badriyanto tak sendiri. Dua kilometer dari kediaman Badriyanto, Ikhsan Yoso sedang memilah tumpukan rumput kering yang sudah dia jemur. Di dinding ruang tamunya yang berukuran 3 x 5 meter tergantung berbagai lukisan dan wayang suket berbentuk Garuda Pancasila buatannya. Ikhsan Yoso sibuk memperlihatkan berbagai wayang suket buatannya yang selama ini tersimpan dalam lemari kecil di ruang tamunya.
"Kalau wayang ini sudah lima tahun belum selesai, hahaha" kata Ikhsan sambil menyodorkan tokoh Arjuna.
Ikhsan Yoso tinggal di Desa Bantarbarang, hanya berbeda dusun dengan Badri dan Mbah Gepuk. Dia tahu Mbah Gepuk karena selalu lewat depan rumahnya saat keliling berjualan wayang suket. Ketika itu Ikhsan hanya bisa melihat dari kejauhan, sampai suatu saat tetangga depan rumahnya membeli wayang suket. Ikhsan pun mencoba mendekat dan melihat bentuk wayang suket dari dekat. Seketika Ikhsan dibuat takjub. Ikhsan kecil yang saat itu masih SMP heran bagaimana bisa wayang sebagus itu dibuat hanya dengan rumput.
Saat itu harga yang ditawarkan oleh Mbah Gepuk sebesar Rp15.000 untuk satu buah wayang suket, harga yang tidak mungkin bisa dibayar oleh Ikhsan. Maka dari itu, Ikhsan bertekad untuk membuatnya sendiri suatu saat nanti.
"Saya cuma berpikir, kalau Mbah Gepuk bisa, berarti itu bisa dipelajari dan harusnya saya bisa,” kenang ikhsan.
Angan-angan membuat wayang suket masih belum terealisasikan sampai Ikhsan lulus SMP dan masuk ke SMA. Sampai suatu hari, Ikhsan mendapat buku katalog pameran Mbah Gepuk di Yogyakarta. Saat itu buku dibagikan gratis ke masyarakat yang berminat. Bagai mendapat wangsit, Ikhsan yang selama ini tidak tahu harus memulai dari mana mencoba mempelajari dari gambar wayang suket di katalog tersebut. Setelah empat bulan menekuni lembar-lembar halaman katalog dan helai-helai rumput, ia pun menyelesaikan wayang suket pertamanya si Arjuna.
Meski begitu, Ikhsan tak langsung menaruh hati sepenuhnya pada wayang suket. Baru pada 2002 saat ia pulang ke Bantarbarang selepas merantau ke Jakarta sejak lulus SMA ia kembali membuat wayang suket. Ia pun mencari caranya sendiri, lepas dari pakem-pakem Mbah Gepuk.
Misalnya rumput yang digunakan bukanlah rumput kasuran, tetapi rumput biasa yang diperoleh di pinggir jalan. Bentuk anyamannya pun berbeda. Ikhsan mencoa membuat tipe anyaman sendiri. Di ruang tamu sempit rumahnya ia terus berimprovisasi membuat bentuk wayang suket sesuai dengan gayanya.
Saat Facebook muncuk dan mulai booming pada 2007, Ikhsan terpikir untuk mempublikasikan wayang suket hasil karyanya. Ia rajin mengunggah foto wayang suket hasil karyanya dan merasa menemukan media yang tepat untuk memamerkan karyanya.
Niatnya itu berbuah baik. Ternyata banyak yang tertarik dengan wayang suket buatannya. Baik itu dari Indonesia maupun mancanegara. Hingga pada tahun 2013, Geoffrey Cormier, teman Facebook sekaligus puppetter asal South Carolina, Amerika Serikat, berkunjung ke rumah Ikhsan hanya untuk melihat wayang suket secara langsung.
Cita-cita Ikhsan yaitu membuat satu set lengkap wayang suket, dia ingin fokus untuk merealisasikannya. Itulah kenapa, Ikhsan selalu menolak jika ada orang yang meminta untuk dibuatkan wayang suket. Baginya, selama dia belum membuat satu set berarti dia masih belajar, dan tidak punya cukup keberanian membuatkan untuk orang lain. Biasanya dia akan mengarahkan calon pemesan ke Badriyanto, komunikasi keduanya memang terjalin dengan baik.
Ikhsan terdiam berpikir ketika ditanya apakah dia berminat untuk meregenerasi kesenian wayang suket. Dia mengapresiasi pihak pemerintah yang beberapa kali mencoba melibatkan dirinya untuk memberikan workshop pembuatan wayang suket, walaupun hampir selalu ia tolak. Ikhsan punya pandangan lain dalam hal ini. Dia merasa tidak cocok dengan sistem workshop yang terbatas waktu. Ikhsan berpendapat sistem pengajaran langsung dan bersama-sama membuat peserta hanya akan meniru apa yang telah dibuatnya, dan hal itu tidak diinginkannya. Menurutnya kreativitas, improvisasi, dan eksperimen menjadi hal yang wajib saat membuat wayang suket. Dia tidak mau nantinya orang yang belajar dengan dia hanya menjadi tiruan dari Ikhsan Yoso, sebagaimana dia juga tidak ingin menjadi sama persis dengan Mbah Gepuk.
Bukan soal pelit ilmu, tetapi cita-citanya lebih dari sekadar mempopulerkan wayang suket. Lebih dari itu, yang ia cita-citakan adalah komitmen untuk terus belajar dan mengembangkan ragam bentuk kesenian. “Sebenarnya yang saya butuhkan itu sebuah tempat, tempat yang bisa saya gunakan untuk berkarya dan bahkan [bikin] workshop mandiri, yang sistemnya bisa saya rancang sendiri. Tidak hanya terbatas pada wayang suket, tapi juga seni lain, misalnya seni lukis atau seni kriya,” jelas Ikhsan
Hal ini mulai ia lakukan pelan-pelan. Salah satunya melalui kanal YouTube miliknya, Village Artist. Di kanal ini Ikhsan mengunggah cara-cara membuat wayang suket dan berbagai bentuk kesenian lain. Sebagian ruang tamunya ia sulap jadi studio mini bermodal meja, stereofoam, tongsis (selfie stick), lampu, dan ponsel androidnya. Proses penyuntingan pun ia lakukan di ponselnya itu.
"Untuk sekarang, ini yang bisa saya lakukan mas. Dengan keterbatasan, saya tetap mencoba mempublikasikan apa yang saya buat. Utamanya wayang suket. Sebab banyak orang kenal saya karena wayang suket. Saya mencoba mandiri, tidak bermaksud menihilkan peran pemerintah, tapi sepertinya saya belum merasa siap atau cocok dengan sistem yang ditawarkan mereka,” tutup Ikhsan sembari memberi wayang suket berbentuk kuda lumping sebagai oleh-oleh.