Logo Spektakel

Home > Opini >

Kisruh Keris Pangeran Diponegoro

Kisruh Keris Pangeran Diponegoro

Raja Belanda Willem-Alexander dan Ratu Maxima Zorreguieta Cerruti melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia 10 Maret 2020 lalu. Terjadi sejumlah hal menarik dari kunjungan ini, mulai dari permintaan maaf Raja Willem-Alexander, serta pengembalian keris Pangeran Diponegoro dari Raja Belanda ke Presiden Joko Widodo - yang kemudian memunculkan kontroversi; benarkah keris tersebut Nogo Siluman pusaka Pangeran Diponegoro?

Keris pusaka Pangeran Diponegoro yang dikembalikan oleh pemerintah Belanda, jika dilihat dari sisi dhapur (rancang bangun) adalah keris dengan pakem dhapur Nogo Sosro. Adapun ciri yang sangat nampak dari keris dhapur Nogo Sosro adalah ukiran relief hewan mitologi berbentuk ular (naga) secara detail dari bentuk kepala, badan, hingga ekor naga memanjang sampai ujung bilah keris. Keris ini memiliki Luk (lekuk) 11.

Keris dengan Luk 7, dengan ciri yang sama memiliki nama Nogo Sapto, sedangkan keris dengan dhapur Naga Siluman dalam pakem keris Jawa memiliki ciri ukiran kepala naga pada gandik (sisi depan pada pangkal bilah keris), tanpa ada ukiran badan dan ekor naga yang memanjang sampai ujung bilah.

Jadi terlihat jelas bila keris yang disebut kepunyaan Pangeran Diponegoro itu adalah keris berdhapur Nogo Sosro.

Presiden Jokowi tampak bergunjing dengan Raja Willem-Alexander mengenai keris yang dikembalikan. Sumber foto: kumparan.com.


Penamaan atau pemberian gelar pada sebuah keris sangatlah lazim. Penamaan atau pemberian gelar terhadap sebuah keris erat hubunganya dengan kesaktian serta sukma yang diberikan oleh keris kepada pemiliknya. Bisa jadi karena keris tersebut mampu mensukmakan Pangeran Diponegoro dalam mengatur strategi perang dengan Belanda saat itu—sehingga Sang Pangeran sulit dikalahkan.

Gelar yang diberikan pada keris bersifat ajimat. Tidak sedikit gelar sebuah keris lebih dikenal dan diingat, ketimbang nama dhapur kerisnya.

Dalam masyarakat Jawa zaman lampau, keris juga adalah penanda status sosial. Ada etika dalam berkeris, dan etika ini sangat berhubungan dengan status seseorang. Bukan hanya soal dhapur keris apa yang boleh dipakai siapa, tetapi juga pemilihan warangka (sarung). Ada pakem warangka apa yang boleh dipakai siapa serta pemakaian pada saat acara apa.


Penampakan keris Pangeran Diponegoro yang dikembalikan. Sumber foto: Dok. Pribadi Sri Margana.

Keris Nogo Sosro bukanlah keris dengan dhapur biasa, yang boleh dipakai oleh sembarang orang bahkan bagi raja, adik raja, kakak raja, anak raja - juga tidak lepas dari etika pemakaian keris secara keseluruhan. Dalam etika pemakaian pusaka, Nogo Sosro hanya boleh dimiliki dan dipakai oleh seorang raja. Keris tersebut akan diwariskan kepada pengganti raja saat lengser keprabon (berhenti menjadi raja), sebagai penanda telah diserahkannya kekuasaan.

Menurut pengamatan saya pribadi, yang paling mungkin memiliki keris itu justru ayahanda Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengku Buwono III—keris tersebut diwariskan secara turun-temurun. Bila diwariskan kembali, seharusnya kepada pewaris takhta, dalam kata lain; raja berikutnya.

Pangeran Diponegoro adalah anak raja (HB III), akan tetapi bukan pewaris takhta. HB III saat itu mewariskan takhta pada HB IV, dan HB IV mewariskan takhta pada HB V. Baik HB IV maupun HB V, saat menjadi raja masih berusia amat muda. Dikarenakan usianya masih amat muda, mereka memiliki wali. Wali HB IV saat itu ada beberapa, di antaranya Pangeran Diponegoro dan Patih Danurejo III.

Relief naga dengan badan sampai ekor. Ini yang menandakan keris tersebut adalah dhapur Nogo Sosro. Sumber foto: Meiriko Nazamudin.

Patih Danurejo III condong setia kepada pihak Belanda dan menggunakan kekuasaannya secara berlebihan. Beliau menyerahkan pajak pengarem-arem kepada pemerintah Belanda, padahal pajak tersebut merupakan persembahan rakyat untuk Kesultanan Yogyakarta. Beliau juga menambah jumlah gerbang-gerbang pungutan (tolpoorten) yang disewakan kepada orang-orang Cina. Sepak terjangnya inilah yang membuat Pangeran Diponegoro menjadi murka dan menjadi salah satu pemicu pecahnya Perang Jawa (1825-1830).

Sejarawan bernama Peter Carey pernah melakukan pendataan pusaka-pusaka milik Pangeran Piponegoro. Dimuat pada bagian apendiks 11 dalam biografi Pangeran Diponegoro yang ditulisnya dengan judul Kuasa Ramalan

Pada bagian tersebut, disebut bila Belanda merampas keris "Kyai Reso Gemilar" ketika menangkap Raden Ayu Mertonegoro dan ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkorowati, di desa Karangwuni, Kulon Progo.

Bertautan dengan buku harian Mayor Edouard Errembault de Dudzeele yang mencatat: "Dengan gampang bisa saya ambil, sebab itu adalah senjata, suatu keris yang sangat bagus dengan sarung emas, yang dipakai putri beliau, istri Ali Basah Mertonegoro”.


Keris ini disebut dhapur Nogo Siluman, hanya berupa relief kepala. Sumber foto: Meiriko Nazamudin.

Jadi, menurut saya pribadi, keris yang dikembalikan bukanlah keris Nogo Siluman yang juga kemungkinan besar bukan milik Pangeran Diponegoro. Tetapi saya juga tidak berani menyebutkan bahwa keris tersebut milik Hamengku Buwono III, karena harus ada kajian yang lebih mendalam lagi.

Kendati demikian, kita tetap harus bersyukur. Keris tersebut adalah keris yang sangat bagus. Bahkan bisa dibilang salah satu masterpiece yang pernah ada—milik seorang raja. Luar biasa keren kan?