Kami di sini menyaksikan berita-berita dari jauh, coba memahami banyak istilah yang asing buat kami - tapi sedikit yang kami pahami. Jadi, mestinya orang seperti kami ini, mesti berbuat apa? Gamang.
Saya Azmy biasa dipanggil Abe, kelahiran Purwokerto, tapi punya istri orang Morowali, Sulawesi Tengah. Anak band metal yang hijrah menjadi pekebun. Mertua saya seorang petani kebun dengan beberapa hektar kebun yang ditanami merica, cengkih, cabai juga durian. Saya sendiri ikut menumpang di lahan mertua untuk tanam kopi. Sudah dua tahun saya menjadi pekebun tradisional di sini.
Sehari-hari kami ditopang oleh hasil pertanian, baik untuk makan, bayar listrik, sekolah, dan lain sebagainya. Mertua asalnya dari desa Moahino, kecamatan Witaponda - sebuah desa nelayan. Kurang lebih berjarak 3 km dari desa Sampeantaba, tempat kami tinggal. Kehidupan tani dan nelayan di sini ibarat keris dengan sarungnya - satu paket. Ikan adalah lauk pokok dan cabai adalah bumbu wajib.
Penulis sedang di kebun cabai mertua.
Semula masyarakat tak terlalu pusing dengan persoalan Covid-19. Namun, setelah minggu lalu Sulteng positif 2 orang dan meninggal 1 orang, dan Morowali ODP 4 orang, situasi mulai berubah. Secara psikologis masyarakat terganggu, namun aktivitas manusia relatif normal terutama di sektor pertanian dan nelayan.
Terkait situasi pasar, sektor yang berkaitan dengan industri dan ternak relatif terpengaruh. Sawit yang sempat naik hingga ke harga 1300/Kg sekarang turun di angka 1000 rupiah/kg. Gula pasir 1 liter 20 ribu, telur 1 rak 50 ribu. Lalu, beras yang sebelumnya 450 ribu per 50Kg, sekarang tembus 500 ribu.
Adapun harga yang relatif rendah dan stabil ada di sayuran seperti tomat, terong, timun, barangkali karena ketersediaannya tak bergantung dari luar wilayah kami. Petani menanam dan menjual di warung atau pasar tradisional setempat. Kemudian Cabai rawit juga masih murah dan stabil, sekitar 15 ribu per kg di harga petani. Begitu pula ikan laut relatif stabil, belum ada kenaikan. Meskipun rumput laut harganya memang sedang turun sekitar 10-15 ribu/kg.
Pemandangan desa Sampeantaba, tempat tinggal penulis.
Untuk sektor dimana petani dan nelayan berdaulat atasnya, tak ada pengaruh signifikan. Tapi beberapa produk yang harus didatangkan dari luar, lumayan fluktuatif harganya - seperti popok, minyak goreng, gula pasir.
Morowali sudah melakukan blokade temporer dengan pemberlakuan buka tutup jalan. Namun sekali lagi, bagi kami para petani dan nelayan, itu tak berpengaruh. Desa dan kecamatan kami yang berbasis pada agraris sebenarnya sama sekali tak mengkhawatirkan soal pangan. Bahkan jika bukan karena gempuran informasi media dan himbauan pemerintah, mungkin bisa dibilang kami tak terlalu pusing dengan Covid-19.
Karena massifnya informasi, sebagian warga mulai bersikap waspada dan tetap menjalankan aturan seperti tak sholat berjamaah di masjid atau membuat hajat yang mengumpulkan massa.
Menemani anak-anak berenang di saluran irigasi. Bahagia itu sederhana.
Kami petani, tetap menjalankan aktivitas seperti biasa; ke kebun, olah tanah, tanam dan merawat lahan. Tetap bercerita dan minum kopi sambil udad-udud membahas Covid-19 di kota. Ya, kami berpikir bahwa itu penyakit orang kota dan jauh.
Sampai kemudian anak-anak kami yang kuliah di luar kota kemarin mulai mudik dari kota terdampak seperti Yogyakarta, Makassar serta Palu. Aturan mulai diperketat, membuat kami menjadi gamang. Apakah ini sesuatu yang berbahaya, harus dihadapi, tetap tenang, akan ditelan waktu, atau mesti bersikap bagaimana? Apakah masih perlu menanam atau ikut ambil pusing jaga kampung? Segenting apa sebenarnya?
Kami di sini menyaksikan berita-berita dari jauh, coba memahami banyak istilah yang asing buat kami - tapi sedikit yang kami pahami. Jadi, mestinya orang seperti kami ini, mesti berbuat apa? Gamang.
Entahlah, yang pasti jika memang harus mengungsi, kami sudah ada rumah pondok tani di kebun yang jauh dari kepadatan penduduk. Sebuah tempat yang nyaman untuk karantina. Semoga Indonesia segera sembuh, lekas pulih, dan lepas dari cengkeraman Covid-19 ini. Selepas ini, kita akan sama-sama berjuang kembali bangkitkan ekonomi yang mengalami resesi.
Salam Tani!