Situasi krisis karena wabah Covid-19 ini terasa sekali bagi warga desa yang jauh dari kota besar. Tapi seperti biasa, mereka tidak pernah punya tempat mengadu, atau bahkan didengarkan. Media sosial riuh dengan soal ini-itu, mulai dari tarung pendapat hingga konser dari rumah. Celakanya, para petani tidak bisa macul from home.
Sudah dua minggu sejak Walikota Solo menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) di wilayahnya, masyarakat agraris di desa Delanggu mulai merasakan dampak sosial dan ekonomi karena pembatasan ruang gerak oleh pemerintah atas himbauan tanggap Covid-19. Kewaspadaan luar biasa masyarakat desa cukup wajar, mengingat desa kami berbatasan langsung dengan wilayah administrasi kabupaten Sukoharjo yang secara pemetaan wilayah administrasi, termasuk Karesidenan Surakarta.
Seminggu yang lalu paman saya seorang petani mulai mengeluh karena harga panen padinya jatuh dibeli penebas (tengkulak - Red.). Dari setengah hektar panen padi hanya dihargai 3 juta Rupiah. Sebuah pertanyaan besar apakah dampak pandemik ini mulai terasa bagi sendi-sendi perekonomian masyarakat agraris? Apakah proses distribusi hasil panen mulai tersendat dampak daya beli masyarakat mulai menurun? Atau jangan-jangan para makelar mulai nakal menimbun beras?
Para petani di Delanggu tetap bekerja seperti biasa. Dok: delanggu.insta.
Kondisi aktivitas pertanian sejauh ini masih berjalan normal, petani seperti saya tidak terpengaruh penyebaran pandemik virus corona ini. Pagi dan sore masih rutin ke ladang untuk melakukan kegiatan bertani. Namun di kalangan ibu-ibu rumah tangga mereka sudah mulai mengeluh. Pembatasan kegiatan di tempat umum sudah berdampak pada ketersediaan pasokan bumbu dan pangan di pawon (dapur - Red.) masing-masing.
Di desa saya, ada industri rumahan yang sedang ramai peminatnya; produksi dompet untuk suvernir pernikahan. Para pekerjanya didominasi ibu-ibu rumah tangga. Satu juragan kecil bisa memberdayakan lebih dari sepuluh ibu rumah tangga yang mengerjakan proses pemotongan bahan busa, perekatan kain batik atau perca, pemasangan resleting dompet, hingga pengemasan.
Suasana Desa Delanggu, Klaten - Jawa Tengah. Dok: delanggu.insta.
Lima tahun terakhir industri UKM ini mengalami permintaan pasar yang signifikan. Di dukuh saya, ada 3 juragan kecil yang mampu merambah toko daring. Tidak dipungkiri, usaha ini menjadi tambahan bahan bakar dapur pangan warga.
Beberapa hari yang lalu saya mengunjungi rumah sepupu yang memiliki usaha ini. Ia mengeluh bahwa pesanan dompet suvernir pernikahan mulai turun. Dari penjualan daring di aplikasi marketplace maupun pesanan luring juragan-juragan suvernir di pasar oleh-oleh daerah Yogyakarta dan Solo banyak dibatalkan, dampak dari pelarangan acara resepsi pernikahan yang dikeluarkan pemerintah melalui maklumat Kapolri.
Jl. Raya Solo - Jogja adalah satu jalan utama yang biasanya terlihat ramai, kini terlihat sepi. Dok: delanggu.insta.
Kondisi yang sama juga dirasakan bibi saya sebagai penjual mi ayam di pinggir jalan. Sudah seminggu terakhir mulai mengurangi kuotanya karena jalan raya mulai sepi dari arus lalu lintas transportasi kendaraan berat, yang notabene adalah target konsumennya.
Sebagian tetangga saya yang bekerja sebagai buruh bangunan juga mulai tidak bekerja. Sudah tidak terlihat warga membangun atau merenovasi tempat tinggal. Kondisi yang sangat kontras bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, mengingat sebentar lagi memasuki bulan ramadhan, dimana biasanya warga merenovasi rumah atau sekedar mengecat tembok beranda - kini sama sekali tidak terlihat.
Situasi krisis ini tentu terasa sekali bagi kami, warga desa yang jauh dari kota besar. Tapi seperti biasa, kami para kawula tidak pernah punya tempat mengadu, atau bahkan didengarkan. Media sosial riuh dengan soal ini-itu, mulai dari tarung pendapat hingga konser dari rumah. Celakanya, kami para petani tidak bisa macul from home.