Sewaktu saya masih kanak-kanak, hari Minggu adalah hari dimana ibu menyajikan makan siang yang aduhai. Segenap daya upaya beliau kerahkan untuk menyajikan yang terbaik untuk kami. Salah satu momen yang bisa membuat saya menggila adalah ketika ibu nyeruit.
Pembaca budiman, sebelum Anda membaca lanturan saya, mari lepaskan dari definisi ajeg yang memenjarakannya kata “meja” pada judul di atas. Ia bisa saja lantai atau benda apapun yang difungsikan sebagai meja. Nah, mari kita mulai.
Saya mulai dongeng ini dengan menceritakan ibu dan ayah. Ibu berasal dari Lampung, tepatnya dari Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan. Ayah berasal dari Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Tidak, Banyumas tidak sama dengan Banyuwangi. Tolong cek sendiri di Google Map.
Datuk - nenek dari pihak ibu saya konon berasal dari turunan jazirah Arab dan Cina, sedangkan mbah putri dari pihak ayah saya, berasal dari turunan Javanicus Erectus yang bertemu dengan lelaki berakar Johor. Saya, sebagaimana ketiga kakak saya, lahir dan besar di Jakarta, sebelum akhirnya kami berempat meninggalkan Jakarta. Saya memutuskan untuk tinggal di Purwokerto, lima tahun lamanya.
Latar belakang tersebut menjadi penting untuk saya jabarkan demi menambah daya cerita. Saya yakin Anda semua memiliki latar yang kurang lebih sama, yaitu perpaduan dari putra-putri daerah yang nyangkut di ibukota. Tak perlu sungkan, kita pun kadang sulit menerjemahkan asal muasal saat mendapatkan pertanyaan: “Kamu aslinya dari mana"? Perkara kita lahir di mana jadi kurang signifikan ketika masih punya konsep mudik Lebaran.
Tapi bukan itu yang ingin saya dongengkan. Mengacu pada judul, saya hendak mendongeng soal meja makan dan kaitannya dengan Keindonesiaan kita
Sewaktu saya masih kanak-kanak, hari Minggu adalah hari dimana ibu menyajikan makan siang yang aduhai. Segenap daya upaya beliau kerahkan untuk menyajikan yang terbaik untuk kami. Salah satu momen yang bisa membuat saya menggila adalah ketika ibu nyeruit.
Nyeruit adalah kata kerja yang biasa saya gunakan untuk menyebut kegiatan menyiapkan seruit. Seruit sendiri adalah jenis olahan yang terdiri dari sambal – sebagai bagian utamanya – yang dicampur dengan ikan bakar berjenis ikan sungai, ditambah dengan lalapan timun, terong bakar atau rebus, ditemani tempoyak - pasta durian yang telah difermentasi. Seluruh bahan tersebut diaduk rata dengan sedikit guyuran kuah pindang ikan baung atau patin. Setelah kental, olahan seruit siap dihidangkan.
Hanya satu kata, “Pesta!”
Apa yang saya lihat di meja makan rumah kami belum seberapa dibanding ketika ada hajat besar di kampung halaman ibu. Entah itu pesta sunatan atau pernikahan, nyeruit adalah keniscayaan yang tak terbantahkan. Di atas tikar yang dihampar memanjang di lantai, semua jenis makanan yang saya sebutkan di atas tersaji. Orang-orang duduk berhadapan, bercengkrama di sela suapan. Amboi! Momen komunal. Tidak ada piring sendiri.
Berkebalikan dengan ibu, menu makanan ayah lebih sederhana. Beliau terbiasa dengan kombinasi sayur asem, tempe goreng, ikan asin, dan sambal. Menurut pengakuannya, beliau baru doyan makan ikan ketika menikah dengan ibu. Begitu juga ibu, beliau baru doyan tempe ketika menikah dengan ayah. Keduanya bertumbuh kembang dalam budaya makan yang berbeda.
Bagi datuk saya (kakek dari pihak ibu), tempe itu simbol kemiskinan, sebab di tempat tinggalnya, mereka yang makan tempe itu hanya orang Jawa yang notabene buruh perkebunan yang diimpor Belanda sebagai oleh-oleh untuk para tuan tanah lokal yang berkongsi dengan mereka. "Orang Lampung itu makan ikan!” kata datuk saya.
Di rumah sendok makan jarang dipakai, kecuali bila ada hajat atau tamu. Kami terbiasa makan langsung dengan jemari tangan, kecuali kakak saya yang kedua. Entah kenapa dia off grid. Terkadang Ibu meminta saya makan menggunakan sendok garpu agar saya tidak gagap bila kami berkunjung ke rumah makan modern atau rumah famili. Demikian, atas nama sopan santun masyarakat modern. Biar kayak orang bener, meminjam istilah teman.
Di meja makan kadang ayah bercerita tentang makanan yang beliau santap sewaktu kecil. Ayah tumbuh di masa agresi militer Belanda yang kedua, berlanjut ke penjajahan Jepang. Makan adalah hal yang istimewa. Soal apa yang dimakan, itu nanti. Yang penting: bisa dimakan.
Cerita-cerita ayah seputar makan dan makanan seringkali menghilangkan nafsu makan. Nasi adalah barang mewah. Sebagai pengganti beras, keluarga ayah makan oyek ‘beras yang terbuat dari singkong’.
Ayah pernah juga mengajarkan kami bagaimana mengolah lauk dari inti batang pisang. Ya, batang pisang, bukan jantung pisang. Ketika kami mengunjungi mbah di desa, beliau mengajarkan kami makan belalang besar yang dibakar di atas kotoran kerbau yang sudah mengering.
Ibu sering bereksperimen dengan resep-resep masakan Nusantara. Beliau kumpulan resep dari kliping majalah. Beliau jago bikin rendang, cukup ahli dalam memindang ikan, dan tak bisa diragukan dalam mengolah sambal. Kadang beliau juga membawa oleh-oleh makanan dari jauh. Kadang terasa asing. Pertama kali saya mencicip masakan dari Manado, lidah saya terkejut. Enak! Pakai banget!
Tanpa saya sadari, ibu menghadirkan Nusantara… di meja makan. Saya mulai kehilangan kenusantaraan itu ketika saya merantau ke Purwokerto. Gara-garanya, diperiode tersebut urusan perut lebih sering diselesaikan dengan cara cepat yang belum tentu tepat: mi instan.
Ketika saya menuliskan dongeng ini, kita sedang berhadapan dengan persoalan kebangsaan. Seandainya kita memang masih sulit menjawab pertanyaan kita ini apa dan siapa, mungkin sebaiknya kita mulai dahulu dari melihat apa yang tersaji di atas meja makan kita.