Logo Spektakel

Home > Sorotan > Profil >

Menggaris Penghidupan dan Eskapisme Melalui Ilustrasi, Obrolan Pagi Bersama Maruciel

Menggaris Penghidupan dan Eskapisme Melalui Ilustrasi, Obrolan Pagi Bersama Maruciel

Mengisi sebuah sudut kafe di Purwokerto pada pukul 10 pagi, Adan Fajar, atau yang lebih dikenal dalam dunia kreatif sebagai Maruciel duduk menghadap laptop. Ia menyempatkan waktunya bertemu dan mengobrol tentang kehidupan menjadi pekerja kreatif di Purwokerto. Salah satu kota di Jawa Tengah yang lekat dengan sebutan ‘kota pensiunan’ dan sedang santer dihembuskan gelar sebagai kota slow living.

Sembari ditemani kopi dalam gelas plastik, Maruciel menyapa saya di Jogja dari Purwokerto, kota kelahirannya dan tempat ia menetap sekarang. Ia bercerita, kebetulan jam-jam pagi memang ia jadwalkan untuk sesi bekerja di depan laptop. Obrolan kami diiringi hiruk-pikuk pagi yang sayup terdengar dari kafe milik temannya tersebut.

“Setelah lewat pagi ke siang, pokoknya sudah menutup laptop. Waktu sore ke malam hari diisi dengan ketemu dengan adik, ngobrol sama teman-teman. Kalau tidak dibatasi begitu, bisa bablas sampai malam.” ujarnya. 

Ia mengaku, waktu luang, kesempatan bisa tidur siang merupakan hal yang jarang hadir di hidupnya dalam lima tahun terakhir. “Hari-hari padat banget sekarang.” ia menambahkan, sembari menerawang ke belakang saat ia mulai membangun karir sebagai ilustrator.

Hari-hari padat ini jadi semacam konsekuensi yang hadir setelah ia mantap menyebut diri sebagai "ilustrator dengan banyak lini penerapannya". Kerjanya yang mencakup membuat ilustrasi komersial untuk klien-klien perusahaan; mengurus usaha jasa membuat mural untuk dekorasi kafe dan ruang-ruang serupa; desainer grafis; bahkan membuat bermacam produk printing seperti kaos dan sepatu, cukup menyita waktu. Belum lagi eksistensinya sebagai anak motor dan seniman graffiti. “Enggak nyangka juga sebetulnya (bakal menghidupi karir seperti ini).” 

Maruciel

Nama Maruciel tidak lahir di skena ilustrasi atau seni rupa. Nama yang telah 15 tahun lebih dibubuhkan Adan Fajar di bawah karya-karyanya ini ia dapatkan saat masih duduk di bangku SMP, di tengah komunitas motor. Nama Maruciel disematkan oleh teman-teman setongkrongan kepadanya karena di antara mereka ia merupakan yang paling muda. Maruciel merupakan anak SMP sendiri di tengah teman-teman lain yang sudah berumur SMA dan awal 20an. “Terjebak di sirkel ini, aku jadi sudah merasa berumur 25 di umur 17, apa-apa bosen.” Kala itu ia dan teman-temannya sedang getol memodifikasi motor Mio bergaya freestyle dan kontes.

“Zaman tahun 2006-2007 Purwokerto merupakan surga builder motor. Banyak style-nya; street bike, chopper, Jepang, Thailand. Ada semua. Sekarang masih, tapi tidak seramai dulu.” kenangnya. Dari sudut pandangnya sebagai bagian dari komunitas tersebut, kota Purwokerto menjadi ideal sebagai tempat bertumbuh skena motor, karena kotanya yang cukup lengang, sulit menemui macet. Ditambah peraturan pemerintah yang dinilai cukup selow untuk menggelar acara-acara kumpul. Pun ada acara kumpul motor berskala besar yang digelar di Jogja atau Solo, pasti banyak yang mampir Purwokerto sebagai salah satu perhentian. “Dibanding Tegal, masih lebih ramai Purwokerto.” ujarnya.

Sampai pada titik kehidupan tersebut, masih belum terbersit di benak Maruciel untuk menjalani karir sebagai seorang ilustrator. Baru seiring berjalan waktu, saat Maruciel duduk di bangku kuliah di jurusan ekonomi, ia memulai karirnya di dunia ilustrasi. Karir tersebut lahir dengan cara yang hampir tanpa sengaja. Sebagai upaya ‘kabur’ dari kelas-kelas di kampus yang dinilai membosankan dan tidak bisa ia ikuti secara maksimal, Maruciel memutuskan untuk membeli sketchbook untuk digambari. Dari berbagai macam doodle dan sketsa yang tertoreh ke dalam buku tersebutlah tumbuh kemampuan dan kecintaan terhadap menggambar.

Membangun Panggung Jauh dari Hiruk-pikuk Kota Besar

“Enggak pernah masuk kuliah, enggak pernah masuk sekolah. Malah gambar dan main motor,” seloroh sang ilustrator berumur 30-an tahun tersebut. Penjelajahannya di dalam dunia gambar dibangun di atas pondasi proyek-proyek teman yang hanya dibayar 2M — singkatan dari “Makasih Mas”, bukan 2 milyar — di kala merintis. Dari situ ia berproses. Dari satu siasat ke siasat lain, menjaga api-api kreatifnya tetap menyala di kota Purwokerto yang relatif sepi secara ekosistem kreatif.

Waktu itu ia laris dimintai tolong untuk membuat logo oleh teman-temannya yang memiliki grup band, membuat desain kaos, dan keperluan-keperluan grafis lain seperti poster acara untuk komunitas-komunitas lokal Purwokerto. Semua sembari mendalami graffiti. “Seumuran atau seangkatan hampir gak ada teman (sesama illustrator). Ada yang di bawah banget atau di atas banget, yang seliting hampir tidak ada dari Purwokerto. Kebanyakan dari Jakarta dan di Jogja. Sepi, gak ada orang.” 

“Melihat dari segi suplai alat alat-alat gambar paling sederhana saja, toko buku Gramedia belum ada 10 tahun hadir di Purwokerto.” kenang Maruciel. “Apalagi di Purwokerto ini tidak seperti Jogja. Orang gambar, orang kreatif relatif jarang. Ilmunya harus banyak mencari sendiri. Meraba-raba. Di Purwokerto agak susah untuk cari circle yang suportif sebagai kreatif. Muda-mudinya yang kuliah sana-sini banyak memilih ke Jakarta, karena orientasinya uang,” lanjutnya. Bahkan menurutnya lebih mudah berjejaring di Jakarta, karena masih bisa-bisa saja masuk lewat agensi dan teman-teman graffitti. Dalam upaya membangun ‘panggung’ untuk berkarya di industri kreatif ini, ia malah lebih banyak bertemu teman seperjuangan dari situs internet Deviantart. Maruciel juga menjadi dekat dengan lingkaran Jogjaforce, kumpulan seniman grafis Deviantart dari Jogja. 

Bukan hanya berjejaring dengan seniman dari kota dan negara lain, dari situs tersebut mulai terbangun pula relasi dengan sesama seniman dan pekerja kreatif dari Purwokerto. Walau kebanyakan dari mereka merupakan pegiat fotografi, bukan ilustrasi. Secara langsung dan tidak langsung, komunitas-komunitas yang ia temui sepanjang jalan semakin memantapkan karir Maruciel sebagai ilustrator digital. Bertambah getol pula setelah mendapatkan Wacom (alat gambar digital) pertama kalinya pada tahun 2011. 

Mendalami ilustrasi dari proyek ke proyek, karya ke karya membawanya sampai pada salah satu proyek besar pertamanya dari Mini Cooper pada tahun 2017. “Kebetulan kakak sepupu bekerja di agensi iklan di Jakarta, maka cukup sering dapat proyek.“ ujarnya.

Pelarian Jadi Penghidupan

Sumber penghidupan yang mulai ia tarik garisnya untuk memerangi rasa bosan duduk di kelas-kelas kampus ini, sebetulnya sempat dipertanyakan juga oleh orangtuanya yang berprofesi sebagai petani dan pengurus koperasi. Maruciel sempat cukup sering ‘diomeli’ karena kuliah tidak selesai-selesai dan malah menggambar. Tapi ia mengaku, tidak perlu banyak menjelaskan juga ke orangtuanya, “Hanya kalau ditanya apakah ada duitnya, ya ada. Toh pada suatu waktu, sempat tiap minggu pergi ke Jogja dan tidak pernah minta sangu. Mereka lama-kelamaan melihat bahwa cukup bisa survive dengan pilihan menjadi ilustrator.” Terlebih semenjak ia bisa menunjukkan hasil karya untuk perusahaan besar, seperti Mini Cooper dan Garuda Indonesia. 

“Menggambar itu dimulai buat diri sendiri, setelah konsisten banyak bonusnya. Baru setelah itu kita bisa membuat (gambar) untuk orang lain; waktu kita dikonversikan dengan uang. Prosesnya enggak bisa instan. Orang sekarang banyak yang bilang mau gambar ini-itu, tapi portofolionya tidak ada; ya gak bisa. Enggak bisa instan.” timpalnya. Ia merasa bahwa dulu bisa banyak berproses, salah satunya karena ia bermodal waktu yang luang. Kebetulan blessing-nya, bisa bertekun untuk bermain di ladang ilustrasi digital yang kala itu masih jauh lebih sepi. 

Pertemuan dengan Maruciel pada 2020 silam di markas Psycho Engine, salah satu bengkel modifikasi motor yang menjadi salah satu wadahnya menumpahkan hasrat idealisme kreatifnya. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa gampang-gampang susah menghidupi seni di Purwokerto. Maruciel bercerita, ia membiasakan diri sendiri untuk bisa menentukan target. Misalnya saat itu komunitas Vespa sedang populer, maka ia akan membuat karya yang dapat digunakan oleh komunitas tersebut; sebagai merch misalnya. “Harus tetap bisa memberi ruang untuk menyasar pasar, berdampingan dengan idealisme. Namanya industri kan kita tetap menyasar pasar biar laku, bukan cuma idealis terus. Ada waktunya di industri. Selalu aman sih dalam pengalamannya, karena teman-teman sendiri juga, toh berbayar.” tambahnya. Sepanjang karirnya ia bahkan pernah menggunakan ilustrasi untuk merambah ceruk-ceruk yang cukup unik seperti ranah furniture, yakni lewat desain cover kanvas untuk sofa. 

Perihal idealisme ini Maruciel bercerita, bisnis muralnya beberapa kali memantik percakapan karena menggunakan sorot proyektor sebagai panduan untuk menggambar di tembok. Hal tersebut membuatnya sering dikata-katai oleh orang. “Katanya ‘enggak pro’. Padahal kita kan kerja pakai guide, apa yang disetujui, dikerjakan. Tidak bisa di sana tiba-tiba improvisasi, karena pasti akan berpengaruh ke additional cost dan akomodasi. Terutama bila di luar kota. Semakin banyak teknologi yang dipakai aku malah seneng, banyak terbantu. Toh memang zamannya.” Seluk-beluk itu menurutnya malah penting untuk dikuasai, agar kerja-kerja untuk orang lain dapat berjalan secara lebih efisien.   

Berjejaring ke Kota dan Negara Tetangga

Walaupun kini mantap bermukim dan aktif berkarya dari Purwokerto, pada masa awal karirnya Maruciel sempat cukup sering mondar-mandir Jogja. Sebuah kota yang dipilih karena dinilai sebagai sebuah ‘hotspot’ bagi pelaku kreatif, dan secara jarak paling dekat dengan Purwokerto. Ia sempat seminggu sekali menempuh rute Purwokerto-Jogja. Bahkan sempat pula tinggal di Jogja untuk beberapa waktu, melakukan kerja-kerja ilustrasi sambil masuk ke dalam lingkaran graffitti dan seni murni. 

Bagi Maruciel, berada di Jogja merupakan ajang untuk menonton berbagai pameran. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk mencari inspirasi yang gemar ia lakukan. “Ya Artjog, Biennale, suka ngampiri pameran-pameran kecil juga.” Begitu pula dengan berpameran dan ikut acara-acara internasional. Daripada di Purwokerto, ia mengaku dapat lebih aktif melakukan aktivitas tersebut di Jogja. Lebih sering menggelar karya di Jogja Gallery dan lain-lain daripada di Purwokerto. Dalam jejaring graffitti ia juga berkesempatan mengikuti acara internasional seperti Meeting of Styles. “Purwokerto baru ada jurusan DKV baru-baru ini, dosen-dosennya pun dari Jogja, dari Solo. Baru akhir-akhir ini saja pada tinggal di Purwokerto. Yang solid tetap di Solo dan Jogja.” ujarnya. 

Akhir-akhir ini, menggambar juga kerap membuat Maruciel menggunakan paspornya untuk pergi ke luar negeri. Beberapa kali ia diundang untuk menggambar graffitti di kedutaan besar Indonesia, seperti salah satunya di Jerman. Beberapa kali pula ia ditodong menggambar oleh teman-teman dari jaringan graffitti global yang ia kenal, saat jalan-jalan ke negara mereka. “Niatnya main saja, tapi kadang kala malah ‘ditodong’ suruh menggambar. Dibelikan berkaleng-kaleng cat semprot untuk menggambar graffitti di sana.”

Jejaringnya tidak hanya terjalin dari gambar. Sebagai salah satu batu loncatan awal dalam membangun relasinya, ia mengaku masih dan selalu main motor, dan mendapat banyak jejaring dari sana. Jalinan relasi dari hobi tersebut kini telah terbentang di negara-negara seperti Thailand, Jepang, Malaysia. Ia malah berkesempatan nyemplung di skena motor dengan kemampuannya dalam bidang grafis. Menuangkan karyanya dalam kolaborasi dengan bengkel Psychoengine dalam bentuk ilustrasi, merchandise, bahkan desain gambar di tangki motor yang menang kompetisi custom di Yokohama. Tapi, motor memang ia khususkan menjadi kanvas bentuk hobi dan cari relasi. Ia pernah mencoba jualan motor dan menerima custom, namun baginya malah seperti ‘nguyahi segara’. Jatuhnya mahal sekali belanja parts, bila dibanding dengan harga jual. 

Hari-hari Padat di Purwokerto

Maruciel mengakui, dewasa ini semakin jarang menggambar buat diri sendiri. Minimal baru menyempatkan membuat karya pribadi jika ada keperluan event, atau karena ada yang mengajak pameran. Banyak proyek pribadi yang ‘malah’ berbentuk membangun motor. “Kalau dilihat, karyaku sudah 1000 lebih; di Instagram saja sudah lewat 1200 postingan. Belum lagi yang tersebar di sudut-sudut internet lain. Belum arsip desain kaos, logo band, dan banyak hal-hal lain.” Saat ini ia lebih banyak mengurus pengarsipan di situs web Behance.  

Ketika ditanya apakah tidak pernah kepikiran untuk pindah dari Purwokerto untuk bekerja, ia bercerita bahwa sebetulnya pernah juga. “Sudah tata-tata, sudah pamitan, tapi karena satu dan lain hal, gak jadi. Sudah hampir pindah ke Singapura. Bahkan pernah stay di Thailand cukup lama. Tapi kembali lagi di Purwokerto.” 

Modifikasi motor merupakan hobi lama dan juga medium kreatif bagi Maruciel yang menjadi salah satu pelurunya untuk membangun jejaring hingga ke kancah internasional. 

Sebagai jalan tengah bagi banyak keperluan kerja-kerjanya, ia memilih melakukan perjalanan ke kota lain seperti Jakarta untuk 2-3 proyek dalam waktu 10 harian, lalu kembali pulang. Mayoritas pekerjaannya saat ini dapat dikerjakan dari Purwokerto, walaupun sampai hari ini berbagai vendor seperti untuk cetak di kain masih dari Jakarta; sablon dan jahit kaos juga masih di Jogja. Ia menjelaskan, hal tersebut merupakan hasil risetnya “Dulu uangnya cukup sering habis buat print, bikin produk. Pilah-pilih vendor untuk mencari mana yang paling pas untuk material yang akan digunakan, dan kebetulan belum ketemu yang di Purwokerto.” 

Toh, ia menambahkan, sebetulnya cukup banyak entitas kreatif dari Purwokerto yang tetap tinggal di sana dan kerap kerja bolak-balik ke luar kota/luar negeri seperti dirinya. Beberapa orang Purwokerto seperti Ubay manager Fiersa Besari, walaupun sering kerja ke luar negeri pun tetap berangkat dari Purwokerto. “Mungkin lebih lelah di perjalanan, tapi daripada hari-hari capek, kalau seperti itu sepertinya gak dulu.” begitu ia menjelaskan pilihannya.

Thanos dari Purwokerto

Dalam lingkaran kota Purwokerto, sekarang ia mengaku tidak begitu aktif terlibat atau bergabung di dalam kolektif atau komunitas tertentu. “Tidak ikut apa-apa, paguyuban mana-mana. Tetap srawung, tapi untuk ikut arisan atau buka bersama tidak pernah.” Namun tetap, teman-teman sesama pegiat industri kreatif di Purwokerto yang punya space sendiri-sendiri itu masih bisa diakses. “Kalau misal aku mau ada acara, mereka terbuka saja; begitu pula sebaliknya. Kalau mereka ada acara, aku juga kerap diundang.” 

“Hidup sederhana aja.” tukasnya. "Sebetulnya yang dinikmati di sini karena gak ada apa-apa. Kenihilan. Nge-mall ya ngopo, gitu-gitu aja; ke bioskop ya ngopo, gitu-gitu aja. Sosial tiap hari juga capek. Menikmati hari-hari aja, bengong, alam. Kebun di rumah juga cukup lumayan, buat nanam pepaya dan singkong. Hasil bumi juga aman buat makan.” 

Ketika ditanya apakah ada hal yang masih belum tercapai, hal tersebut adalah membuat studio sendiri dan membubuhkan graffitti-nya di gedung 2-3 lantai. Salah satu proyek pribadi impiannya yang belum tercapai merupakan membuat mural sebesar gedung untuk menuangkan aset-aset ilustrasi yang telah ia punya jadi satu gambar. Setelah itu, sisanya kurang-lebih tidak ada, ujarnya. 

Setelah mendengar kisah hidupnya yang wangun (keren) tapi selo tersebut, saya tergelitik untuk bertanya, masa pensiun seperti apakah yang didambakan seorang Maruciel? “Ingin pensiun seperti Thanos, bertani, berkebun. Sebuah pensiun yang istirahat tapi tetap terjamin.” jawabnya, mengakhiri pertemuan saya dengan Thanos dari Purwokerto di pagi itu. 

 

Ignasius Satrio Krissuseno

Ignasius Satrio (l. 2004) Adalah seorang pelajar lepas yang belum berencana mentas belajar. Memilih untuk berhenti memakan bangku sekolah sejak kelas 2 SD, dan memutuskan untuk belajar di mana-mana. Di semak, di kampung, di kota. Pertama mengenal fotografi semenjak diberi kamera oleh bapak ibu saat berumur 4 tahun. Dalam perjalanan belajarnya, jatuh cinta pada dunia mencari dan meneruskan cerita. Telah mencoba medium tulis-menulis, fotografi, film dokumenter, dan beberapa medium eksperimental lainnya.

Mari bergabung bersama kami berkontribusi memajukan seni budaya Indonesia. Kirimkan data kegiatan di sekitarmu ke kontak@spektakel.id

Menulis Untuk Kami

Editor: Redaksi