Batu bata merah adalah salah satu bahan bangunan tertua yang dikenal peradaban manusia. Di Indonesia, jumlah pengrajin dan penggunanya masih menjamur hingga menjadi sentra-sentra industri seperti daerah Karangdadap, Pekalongan.
Mayoritas orang akan menyebut batik dan durian saat ditanya soal Pekalongan. Namun, masih sedikit yang tahu kalau kota di pesisir utara Jawa Tengah ini menjadi salah satu sentra batu bata yang cukup diperhitungkan. Padahal, bata yang dihasilkan para perajin di sini sudah dikirim jauh sampai ke Kalimantan dan Sulawesi.
Saya sendiri juga baru tahu waktu tak sengaja mampir untuk motret di sana beberapa bulan lalu. Gegaranya konyol: kesasar saat mencari jalan ke kawasan Doro untuk memotret durian khasnya sebagai bahan kerjaan. Lagi-lagi, Google Maps dan petunjuk warga lokal justru mengantarkan saya ke tempat baru ini.
Nama daerahnya Karangdadap, jarak kecamatan ini sekira setengah jam dari pusat kota Pekalongan. Setidaknya, ada dua desa di sana yang menjadi pusat pembuatan batu bata merah, yaitu Kebonrowo Pucang dan Pangkah.
Suasana di Desa Kebonrowo Pucang dan Pangkah, dua daerah sentra penghasil batu bata merah di Pekalongan. Siapa sangka di balik fasadnya yang sederhana, lahan yang nampak kering ini justru menawarkan kesempatan yang lebih menjanjikan bagi penduduk desa sekitar bahkan hingga yang dari jauh.
Begitu sampai, saya disambut puluhan gubuk kayu semi permanen beratapkan daun kelapa kering berjejer rapi sepanjang jalan. Sementara gundukan sekam dan kayu bakar dibiarkan menumpuk di depannya.
Di dalam salah satu gubuk, terlihat ribuan batu bata yang ditumpuk dan telah berubah warna menjadi kemerahan setelah "dimasak" bersama sekam. Ada pula beberapa pekerja yang sibuk mencetak, menumpuk, dan menyisik sisi luar bata agar lebih rapi di ladangnya.
Jumlah yang dihasilkan para pengrajin batu bata merah ini tidak main-main. Dalam sehari, seorang pekerja di sana dapat menghasilkan sekitar seribu buah bata mentah. Jumlahnya bisa bertambah saat cuaca cerah.
Tentu saja, dibutuhkan kesabaran untuk membuat ribuan bata ini. Terutama dalam proses pembakaran awal dengan api kecil atau yang biasa disebut ganggang. Proses inilah yang akan menentukan untung dan ruginya para pengrajin. Pasalnya tanah untuk batu bata hanya dapat dibakar sekali. Jika batu bata tidak matang secara merata, maka habis sudah!
Pembakaran adalah proses yang paling krusial dalam pembuatan batu bata merah. Selama proses pembakaran sepanjang dua hari itu haram hukumnya api tungku padam. Sebab proses inilah yang akan menentukan kualitas batu bata yang dihasilkan.
Pada waktu dibakar, batu bata ditumpuk sedemikian rupa hingga membentuk terowongan sejenis tungku. Di dalam tungku ini kemudian akan dimasukkan sekam dan kayu. Jika proses ganggang berjalan lancar, barulah pembakaran batu bata dilanjutkan dengan api yang lebih besar.
Di musim kemarau, proses pembakaran ini bisa selesai dalam dua hari. Namun, jika musim penghujan datang, pembakaran batu bata merah bisa berlangsung hingga sepekan lebih. Kayu yang basah jadi kendala karena api yang dihasilkan tak sebaik kayu kering.
Selain itu, kayu yang basah juga membuat lebih banyak kayu bakar yang diperlukan untuk memproduksi batu bata bata. Tidak tanggung-tanggung, setidaknya kayu bakar yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu kali pembakaran batu bata bisa mencapai 1,5 truk.
Tantangan produksi batu bata bukan hanya pada bahan baku, melainkan juga sumber daya manusia. Selama proses pembakaran, api tungku batu bata tidak boleh mati. Maka dibutuhkan setidaknya dua orang dalam sekali jaga. Kalau sampai mati, batu bata yang dihasilkan akan jelek dan kurang kuat.
Pembuatan batu bata merah adalah proses yang padat karya. Proses ini memakan banyak waktu dan tenaga. Tak heran sentra pembuatan batu bata merah di Pekalongan ini menjadi salah satu penyerap tenaga kerja yang lumayan di Karangdadap.
Ladang Kesempatan Bagi Pendatang dari Jauh
Para pekerja yang awalnya saya pikir adalah warga lokal, ternyata kebanyakan adalah pendatang dari jauh. Bahkan, ada yang datang dari Petungkriono, kecamatan di selatan kota yang letaknya berdekatan dengan dataran tinggi Dieng. Ada pula yang berasal dari Bandar, Batang yang hitungannya sudah berada di luar kota Pekalongan.
Mereka terutama diberdayakan sebagai tenaga kuli oleh para pemilik “tempat masak” atau rumah pengolahan batu bata merah yang masih banyak dikelola orang Karangdadap asli. Saat berkeliling desa itu, saya sempat mengobrol dengan salah satu kuli tersebut. Kebetulan ia berasal dari Batang, Bandar.
Katanya, Karangdadap sebagai salah satu sentra pembuatan batu bata merah menawarkan lebih banyak kesempatan ketimbang kampung asal mereka. Di kampung halamannya, kesempatan yang ia punya adalah menjadi buruh tani dengan bagi hasil tak seberapa dengan pemilik lahan.
Sementara, di kampung ini kerjanya bisa menghasilkan sekitar Rp60 perak - Rp100 perak untuk setiap batu bata yang dihasilkan. Dalam sehari, ia bisa menghasilkan setidaknya 1000 biji batu bata. Jadi, jika hari sedang baik ia bisa membawa pulang sampai Rp100.000 sehari. Menurut hitungannya, jumlah segitu jauh lebih menjanjikan ketimbang penghasilan sebagai buruh tani. Ditambah, sebagai kuli, ia tidak ikut menanggung ongkos produksi selayaknya buruh tani.