PIM Muara Baru ini adalah “kado” dari bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk Presiden Joko Widodo yang menginginkan pasar ikan modern layaknya Tsukiji. Keinginannya itu ia sampaikan suatu hari pada 2016 silam melalui Instagram dan baru diwujudkan Susi pada pertengahan 2019, dua setengah tahun setelahnya.
Dentuman electronic dance music memenuhi area atap Pasar Ikan Modern (PIM) Muara Baru, Jakarta Utara. Di tempat yang menjadi foodcourt itu, segala lagu populer di-remix hingga serupa daftar lagu di klab-klab malam dan diputar kencang. Menjadi teman pengunjung menyantap olahan laut atau hiburan para daeng dari Makassar yang sedang bakar ikan atau menggoreng cumi di dalam gerai. Konon inilah pasar ikan yang katanya boleh diadu dengan Tsukiji, pasar ikan tersohor di Jepang sana.
Larut malam pekan lalu, saya dan keluarga duduk di kursi-meja panjang yang telah dilapisi plastik. Sesekali kami menengok lebih jauh ke area terbuka di balik pagar untuk melihat gedung – rusun bertingkat. Kami tengah bersiap menyantap ikan, cumi, udang, dan kepiting yang sebelumnya sudah dibeli di lantai bawah gedung. Berbagai hasil laut itu kami minta olah berbeda: ikan dibakar, cumi digoreng tepung, udang dan kepiting digoreng lalu disiram saus padang. Otak-otak bakar yang berbalut daun pisang belakangan menyusul sebagai camilan pembuka sekaligus pengganjal perut. Maklum, proses masak makanan lain menelan waktu lebih dari satu jam saat ramai.
Di Pasar Ikan Modern Muara Baru, Anda bisa menikmati berbagai sajian olahan makanan laut. Entah itu dibakar, disiram saus padang, atau sekadar digoreng.
PIM Muara Baru ini adalah “kado” dari bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk Presiden Joko Widodo yang menginginkan pasar ikan modern layaknya Tsukiji. Keinginannya itu ia sampaikan suatu hari pada 2016 silam melalui Instagram dan baru diwujudkan Susi pada pertengahan 2019, dua setengah tahun setelahnya. “Mana janjimu manismu, Sus?” mungkin kata Jokowi kepada Susi seperti kita hendak bertanya kepada beliau.
Waktu berlalu dan lapar makin menjadi. Perut sudah tak mampu mentolerir, butuh asupan makan. Akhirnya demi memanipulasi rasa lapar, saya berkeliling foodcourt yang sebagian areanya tertutup atap. Di pinggir pagar, pembakaran ikan dan dapur kotor kios berderet dengan lampu neon seadanya. Asap mengepul di udara. Wangi gosong pembakaran pun ikut menguar saat saya melewati satu demi satu dapur. Terkadang bunyi cipratan air saat pelayan mencuci piring dan gelas kotor ikut terdengar.
Sementara di lantai-lantai bawah, binatang-binatang laut yang akan segera menjadi santapan saya masih berenang-renang di bak biru besar. Ada pula yang berada dalam keranjang warna-warni atau kotak besar yang sedang dipikul orang berotot besar. Mereka pasrah, tak punya kendali ke mana mereka akan berujung. Di piring makanankah atau di gerobak tukang sayur yang keliling di komplek perumahan elit?
Deretan ikan segar yang diperjual-belikan di Pasar Ikan Modern Muara Baru. Ada sekitar 900 pedagang ikan di pasar ini dengan jumlah transaksi berkisar Rp5 miliar-Rp7 miliar per hari.
Lagu Lama Tata Kelola
Sembari berjalan-jalan itu saya turut mengobrol dengan beberapa penjaja ikan di sana. “Ini kalau hujan deras, bisa banjir selutut,” kata deng yang tengah asik mengibas kipas bambu ke pembakaran ikan. Boleh jadi dari sisi penampakkan PIM Muara Baru tampil lebih bersih dan rapi, tapi masalahnya tetap lagu lama.
Di tahun 2019, banjir idealnya sudah menjadi masalah yang bisa diantisipasi dan ditanggulangi di Jakarta. Sebab, selayaknya ikan bakar berjodoh dengan cocolan sambal kecap, begitu pula Jakarta dan banjir. Termasuk di pasar ikan modern ini.
Nyatanya banjir masih kerap menghampiri. Usut punya usut, sebabnya lantaran sistem pembuangan air yang kurang baik. Lubang pembuangan dinilai daeng terlalu kecil, tidak sebanding dengan volume air yang masuk. Klasik.
Jika memang PIM Muara Baru ini hendak disandingkan dengan pasar ikan Tsukiji mestinya hal utama yang diperhatikan adalah tata kelola pasar yang menyeluruh. Termasuk tata kelola air buangan sebagai mitigasi risiko yang bisa diperhitungkan. Toh kita tahu Jepang adalah negara dengan mitigasi risiko dan bencana terbaik di dunia.
Apalagi para penjaja ikan di PIM Muara Karang dikenakan tarif tak sedikit untuk membuka kios di sana. Sekitar Rp7.000.000 per bulan untuk sewa kios. Harga itu belum termasuk upah koki dan pelayan tiap gerai yang dibayar dengan sistem bagi hasil. “Kalau semalam cuma dapat Rp500.000, itu buat anak-anak saja dibagi-bagi,” kata si Daeng lagi.
Di area pasar ini terdapat food court di mana Anda bisa membayar jasa mereka untuk mengolah ikan hasil belanjaan atau memilih paket sajian yang sudah disiapkan.
Jadi, apakah PIM Muara Baru benar Tsukiji versi Indonesia? Entahlah. Saya sendiri belum pernah ke Jepang untuk bisa membandingkannya langsung. Mungkin tampilan yang terbilang resik dan berbagai layanan pendukung seperti kios kering, ruang pengepakan, klinik, ruang pertemuan, masjid, dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) membuat PIM Muara Baru layak disandingkan.
Tapi orang kita juga punya kebiasaan untuk menjiplak begitu saja apa yang terlihat dan kurang bisa meniru hal-hal yang lebih esensial untuk kemudian diadaptasi dengan cita rasa lokal. Tata kelola air misalnya yang masih kerap masih membanjiri pasar kala musim penghujan tiba.
Ah, sepertiya saya harus segera perpanjang paspor, atur uang tabungan, cek tiket pesawat, dan berkemas menuju Jepang. Supaya cerita saya soal PIM Muara Baru yang katanya Tsukiji versi Indonesia lebih lengkap dan sahih. Eh tapi pasar Tsukiji saja sudah bubar dan pindah ke Toyosu…