Jenang adalah salah satu kuliner sederhana dari Tanah Jawa yang telah melintas zaman selama lebih dari satu milenium. Sejarahnya dalam budaya Jawa terlacak jauh ke belakang hingga ke kitab-kitab kuno. Hingga kini jenang masih menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan bagi masyarakat di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Entah itu sebagai ubarampe ritual tradisi ataupun sebagai kudapan.
Dilihat sepintas, tak ada yang begitu istimewa dari jenang. Tampilannya sederhana, cara penyajiannya pun sederhana, dijajakan oleh orang-orang sederhana di tempat-tempat yang juga sederhana.
Namun, di balik kesederhanaannya, legitnya jenang menyimpan sejarah belasan abad dan tidak pernah lepas dari perkembangan budaya Jawa. Jejaknya bisa dilacak bahkan hingga ke kitab-kitab kuno. Mulai dari Kitab Ramayana versi Jawa dari zaman akhir Kerajaan Medang (930 masehi), Serat Lubdaka karya Empu Tanakung di era Kerajaan Kediri (abad XII), Kitab Nawa Ruci dari zaman Kerajaan Majapahit (abad XIV), Serat Centhini (1814-1823), hingga Serat Tatacara (1893) yang ditulis oleh Ki Padmasusastra.
Kitab-kitab ini mencatat kehadiran jenang dan perkembangannya. Pada mulanya jenang hanya dideskripsikan sebagai “makanan ringan yang manis dengan tekstur kenyal dan berwarna cokelat” (Kitab Nawa Ruci). Belakangan, mulai muncul catatan mengenai jenang sebagai sesaji di setiap tahapan acara pernikahan (Serat Centhini). Hingga kemudian Serat Tatacara mendokumentasikan ragam jenis jenang dan berbagai penggunaannya dalam tradisi masyarakat Jawa yang kemudian dikenal sebagai njenang.
Sajian jenang sebagai ubarampe ritual tradisi masyarakat Jawa hingga hari ini terus berkembang hingga dirayakan sebagai sebuah festival. Salah satunya acara tahunan Festival Jenang Solo setiap 17 Februari. (Foto: Kompas.com)
Catatan-catatan kuno ini memperlihatkan bagaimana jenang, dengan segala kesederhanannya, terus bertahan sebagai salah satu perekat tradisi yang tak bisa lepas dari masyarakat Jawa. Bahkan terus berkembang seiring dengan perubahan-perubahan dalam masyarakatnya dari masa ke masa.
Dari legenda menjadi makanan khas
Dalam konsensus hari ini, jenang didefinisikan sebagai hidangan yang terbuat dari tepung beras dan turunannya (bekatul atau rice bran) atau tepung ketan yang dimasak/disajikan dengan santan dan gula merah (sebagai bahan baku utamanya). Sementara itu, njenang adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan jenang—mulai dari pembuatan hingga penyajian.
Kuliner tradisional yang satu ini tersebar di berbagai daerah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hari ini, terdapat beberapa daerah yang teridentifikasi memiliki tradisi jenang yang unik, antara lain Kudus, Nganjuk, Tulungagung, Solo, Yogyakarta, Magelang, Banyumas, Purworejo, Gresik, dan mungkin beberapa daerah lainnya.
Proses pembuatan jenang yang juga dikenal sebagai njenang.
Masing-masing daerah ini mempunyai kekhasan dalam mengolah jenang dan tentu saja cerita di baliknya. Di Kudus, misalnya. Konon, sejarah jenang di Kudus dimulai seiring sejalan dengan sejarah tradisi Tebokan.
Tebokan adalah tradisi yang berangkat dari kisah Mbah Dempok Soponyono, Sunan Kudus, dan Syekh Jangkung (Saridin). Pada masa itu, konon cucu Mbah Dempok Soponyono hanyut saat sedang bermain di tepi Sungai Kaliputu saat bermain bersama si mbah.
Meskipun berhasil diselamatkan, cucu Mbah Dempok Soponyono diganggu oleh Banaspati (mahluk halus berambut api). Sunan Kudus dan muridnya, Saridin alias Syekh Jangkung, yang mengetahui hal tersebut, lantas pergi ke rumah Mbah Dempok. Menurut Sunan Kudus, cucu Mbah Dempok telah tiada, tetapi Saridin punya pendapat lain. Menurutnya, cucu Mbah Dempok hanyalah mati suri.
Saridin lantas mengumpulkan para ibu di sekitar rumah Mbah Dempok untuk membuat jenang gamping guna membangunkan cucu Mbah Dempok. Jenang itu terbuat dari gamping alias batu kapur, tepung beras, garam, dan santan kelapa. Setelah selesai, Saridin kemudian menyuapi jenang tersebut ke cucu Mbah Dempok. Tak lama kemudian, sang cucu pun siuman dan pulih kondisinya.
Tradisi Tebokan di Kudus yang hingga kini terus bertahan. Semula tradisi ini dijalankan setiap 1 Muharam, kini berkembang sebagai festival budaya kebanggaan Desa Kaliputu. (Foto: Detik.com)
Melihat hal ini, Sunan Kudus pun mencoba mengetes Saridin, apakah cara yang ia gunakan sungguh jitu ataukah hanya kebetulan. Sunan Kudus kemudian meminta Saridin untuk memakan jenang yang terbuat dari gamping atau batu kapur tersebut. Setelah memakan jenang tersebut, kelihatan Saridin tetap segar bugar sehingga Sunan Kudus bersabda, “Suk nek ono rejanin jaman, wong Kaliputu uripe soko jenang.” (Suatu hari, kelak sumber kehidupan warga Desa Kaliputu berasal dari usaha pembuatan jenang).
Dari kisah itulah lahir tradisi Tebokan sebagai sebuah ritual syukuran masyarakat Desa Kaliputu yang tak lepas dari njenang atau prosesi pembuatan dan penyajian jenang. Hingga kini, Tebokan masih terus berlangsung. Bahkan berkembang menjadi sebuah festival kebanggan desa. Sementara Jenang Kudus kini juga menjadi salah satu penganan yang wajib dicoba dan jadi oleh-oleh khas dari Kudus.
Jenang: simbol perayaan dan perekat rakyat
Tak hanya Tebokan di Kudus, daerah-daerah lain yang punya tradisi jenang yang kuat juga kini mempunyai festival khusus untuk merayakan jenang. Festival Jenang Solo, misalnya. Festival ini digelar setiap tahunnya pada tanggal 17 Februari sebagai bagian dari rangkaian peringatan perpindahan Keraton Mataram ke Desa Salayang kemudian ditetapkan sebagai HUT Kota Solo.
Keberadaan Festival Jenang Solo sebagai perayaan HUT Kota Solo tentu bukan tanpa sebab. Menurut catatan sejarah, Ketika Keraton Mataram pindah dari Kartasura ke Desa Sala pada 1742, iring-iringan keraton turut membawa wadah yang berisi berbagai makanan. Termasuk di dalamnya adalah 17 jenis jenang untuk konsumsi rombongan. Jumlah tersebut dipilih berdasarkan pada kepercayaan bahwa angka satu melambangkan Tuhan yang Maha Esa, sedangkan angka tujuh merupakan simbol dari siklus hidup yang berlangsung selama sepekan.
Kemeriahan Festival Jenang Solo menjadi salah satu bentuk bagaimana Jenang menjadi perekat bagi masyarakat sekaligus juga simbol perayaan dan keselamatan. (Foto: Kompas.com)
Sebelum dibawa dalam iring-iringan, jenang didoakan terlebih dulu untuk keberkahan orang-orang yang telah menyiapkan hidangan tersebut, pun untuk kelancaran proses perpindahan keraton. Dalam perjalanannya, selain sebagai konsumsi rombongan, jenang tersebut juga dibagikan ke ribuan warga.
Kedekatan jenang dengan perayaan juga tercatat pada Serat Tatacara (1893). Heri Priyatmoko, sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menjelaskan bahwa serat tersebut menjelaskan secara rinci tentang bagaimana jenang dibuat untuk berbagai kebutuhan ritual adat. Salah satunya, untuk berbagai selamatan selama masa kehamilan hingga kelahiran. Misalnya, tradisi pembuatan jenang procot di waktu kehamilan sembilan bulan.
“Jenang Procot memiliki makna dan harapan agar bayi lahir lancar dan selamat,” jelas Heri. Jenang Procot dibuat dari tepung beras yang dicampur gula jawa. Di bagian atasnya, lantas disiram santan dan disajikan dalam takir (wadah dari daun pisang).
Proses pembuatan jenang sumsum untuk suguhan selepas kerja gotong-royong Festival Mbok Sri Mulih di Delanggu, Klaten. (Foto: Sanggar Rojolele)
Musabab penggunaan jenang dalam berbagai selamatan atau perayaan dalam tradisi Jawa agaknya juga lekat dengan kesederhanaan jenang itu sendiri. Baik dari kesederhanaan bahan baku, pengolahan, maupun penyajiannya.
Secara pengolahan, jenang tidak menggunakan teknik yang begitu rumit. Pada dasarnya jenang dibuat dari tepung beras atau ketan yang dimasak dengan santan serta gula jawa. Sementara itu, penyajian jenang juga tidak repot. Umumnya, jenang disajikan dalam wadah daun pisang yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai mangkuk dengan “sendok” yang juga terbuat dari daun pisang.
Murah, kaya karbohidrat, tinggi energi, tidak repot. Hal ini membuat jenang jadi pilihan yang cocok untuk konsumsi dalam berbagai kegiatan masyarakat desa—selain sebagai sesaji ritual adat atau selamatan. Misalnya, sebagai suguhan setelah kerja-kerja gotong royong yang dilakukan warga, seperti yang sampai sekarang dipraktikkan warga Delanggu saat acara pembubaran Panitia Mbok Sri Mulih.
Baca Juga: Festival Mbok Sri Mulih; Merayakan Petani dan Hati
Uniknya, meskipun dikenal sebagai makanan yang merakyat, posisi jenang sebagai sesaji dalam berbagai ritual adat membuat penganan ini bebas kasta—alias tidak ada konotasi kelas dalam jenang. Jenang bukan milik satu golongan, seseorang tidak lantas jadi “naik kelas” atau “turun kelas” karena menyantap jenang. Kesederhanaan jenang dan kehadirannya di berbagai ruang masyarakat Jawa, mulai dari ritual yang sakral hingga konsumsi sehari-hari, meleburkan lapisan-lapisan sosial dan merekatkan rakyat dari berbagai golongan.
Urip soko jenang
Seiring dengan perjalanan jenang menembus sejarah, kini jenang juga menjelma sebagai komoditas. Kehadirannya bukan hanya lagi milik masyarakat Jawa karena kini Jenang banyak dijadikan sebagai oleh-oleh khas dari berbagai daerah dan memberikan penghidupan bagi banyak pelaku usaha rumahan.
Gelaran Festival 1000 Jenang dan Srawung Budaya di Desa Kalikotes, Klaten. (Foto: Pitut Saputra)
Salah satu desa yang kini hidup dari pembuatan jenang adalah Desa Kalikotes, Klaten. Di desa ini, sejak lama warganya banyak membuka usaha jenang sebagai oleh-oleh khas yang didistribusikan ke daerah-daerah sekitar. Potensi ini kemudian dilirik oleh Pemerintah Desa sebagai salah satu daya tarik untuk menjadikannya Desa Wisata.
Maka, pada 2022 silam, Desa Kalikotes pun menggelar Festival 1.000 Jenang yang pada 2024 silam telah memasuki tahun ketiga. Dalam festival ini, Pemerintah Desa mengerahkan ibu-ibu PKK serta banyak pelaku usaha Jenang untuk membuat 1.000 Jenang yang dibagikan secara cuma-cuma ke pengunjung festival. Baik itu warga desa maupun turis yang sengaja datang untuk melihat kemeriahan festival dan mencicip legitnya Jenang dari Desa Kalikotes.
Rasa-rasanya benar ucapan Sunan Kudus, pada suatu waktu penghidupan warga desa akan disokong oleh jenang. Suatu waktu itu rupanya tiba di masa modern ini dan bukan hanya warga Desa Kaliputu saja, tetapi juga masyarakat dari desa-desa lain di Jawa yang urip soko jenang.