Home > Sorotan > Kegiatan Budaya >
Serak Gulo; Hajat Muslim India di Kota Padang
Serak Gulo; Hajat Muslim India di Kota Padang
Orang India di Kota Padang mulai terlihat sekitar abad IX Masehi. Persamaan agama Islam membuat orang-orang India ini cepat terintegrasi ke dalam unsur pribumi. Eksistensi mereka di Padang sudah sejak lama ditandai dengan adanya Kampung Keling dan sebuah Masjid Keling yang sudah didirikan sejak masa pemerintahan Inggris di Padang.
Kota Padang adalah kota terbesar di pantai barat Pulau Sumatra sekaligus ibu kota provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini adalah pintu gerbang barat Indonesia dari Samudra Hindia. Secara geografi, Padang dikelilingi perbukitan yang mencapai ketinggian 1.853 mdpl dengan luas wilayah 694,337 km², lebih dari separuhnya berupa hutan lindung.
Berawal dari perkampungan nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar pelabuhan yang ramai setelah masuknya Belanda di bawah bendera Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hari jadi kota ditetapkan pada 7 Agustus 1669, yang merupakan hari penyerangan loji Belanda di Muara Padang oleh masyarakat Pauh dan Koto Tangah. Semasa penjajahan Belanda, kota ini menjadi pusat perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Memasuki abad ke-20, ekspor batu bara dan semen mulai dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Bayur. Saat ini, infrastruktur Kota Padang telah dilengkapi oleh Bandar Udara Internasional Minangkabau serta jalur kereta api yang terhubung dengan kota lain di Sumatera Barat.
Orang India di Kota Padang mulai terlihat sekitar abad IX Masehi, yaitu kelompok gilde (mirip dengan perusahaan firma ala Eropa abad Renaisans), dan sudah beroperasi di sekitar Pantai Barat Sumatra, termasuk di Pariaman dan Padang. Persamaan agama Islam membuat orang-orang India ini cepat terintegrasi ke dalam unsur pribumi. Eksistensi mereka di Padang sudah sejak lama ditandai dengan adanya Kampung Keling dan sebuah Masjid Keling yang sudah didirikan sejak masa pemerintahan Inggris di Padang. Gelombang kedua kedatangan orang-orang India, yaitu orang Keling atau Tamil dari daerah Coromandel, India Selatan. Kebanyakan orang India Keling merupakan pedagang rempah-rempah dan kain dari negeri asalnya meskipun jumlah mereka tidak banyak. (Mestika Zed, 2009: 10-11).
Keragaman budaya lainnya terlihat dari budaya serak gulo yang dilakukan oleh warga keturunan India yang berada di Kota Padang. Budaya itu biasa dilaksanakan bertepatan dengan 1 Jumadil Akhir 1441 Hijriah, tradisi ini untuk memuliakan hari kelahiran seorang ulama besar India yang bernama H.Imam Saul Hamid yang dianggap sebagai Wali Allah.
Tradisi Serak Gulo digelar setiap tahun oleh masyarakat keturunan India yang tinggal di Padang, terutama di kawasan Pasar Batipuh, Kecamatan Padang Selatan. Sumber foto: Jelajah Nagari Awak.
Serak gulo atau dalam bahasa Tamilnya Sinni Fottu yang berarti pelemparan gula ini merupakan salah satu identitas perpaduan keagamaan dan budaya dari masyarakat keturunan India yang berada di Kota Padang. Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun diperkirakan sejak abad ke-17.
Bagi masyarakat muslim keturunan India di Kota Padang, pelaksanaan tradisi ini media edukasi untuk terus menjaga tradisi nenek moyangnya kepada generasi berikutnya, sebagai peringatan dan rasa hormat terhadap ulama besar Imam Saul Hamid. Selain itu untuk melaksanakan nadzar serta sebagai sarana menjalin tali silaturahmi antar masyarakat. Uniknya, gula ini didapatkan dari hasil sumbangan masyarakat asli dengan keturunan India. Hal itu menggambarkan harmonisasi hubungan antara kedua masyarakat. Pada acara tersebut, peserta tidak dibatasi dan boleh diikuti siapa saja.
Gula-gula dalam bungkusan kecil dibawa ke atas atap masjid yang dihias bendera berbentuk segitiga berwarna hijau. Sumber foto: Jelajah Nagari Awak.
Tradisi tersebut dilaksanakan di Masjid Muhammadan, yaitu rumah ibadah yang dibangun oleh India Muslim, terdiri dari tiga lantai bercorak arsitektur India. Hingga kini, masjid itu tetap eksis. Unsur India pada masjid dapat dilihat dari bagian depan masjid, kaca jendela, dan langit-langit.
Masjid Muhammadan tercatat sebagai salah satu masjid tertua di Kota Padang selain Masjid Raya Ganting yang merupakan masjid tertua di kota itu. Masjid ini dibangun pada tahun 1843 oleh komunitas Muslim asal India yang datang bersama tentara Inggris dan membentuk permumikan di dekat pelabuhan Muara yang saat itu menjadi pusat perniagaan. Tempat masjid ini berdiri oleh masyarakat Minangkabau dijuluki sebagai Kampung Keling.
Di bawah, masyarakat sudah menunggu untuk menangkap gula-gula dengan menyiapkan karung, kantong plastik, bahkan baju sendiri. Sumber foto: HaluanID.
Masjid ini pada awalnya terbuat dari kapur, pasir, dan gula. Pada awal abad ke-20, konstruksinya ditingkatkan menggunakan semen tanpa mengubah bentuk aslinya. Menurut dokuemntasi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPSB) setempat, terdapat inkripsi berabjad Jawi dalam bidang segi empat yang terbuat dari marmer bertuliskan angka "9-12-1343 H" (sekitar tahun 1924). Inkripsi ini diduga merupakan tanggal renovasi masjid dari bahan kayu menjadi tembok.
Proses Serak Gulo dilakukan sesudah salat Ashar dan selesai sebelum masuknya waktu salat Magrib datang. Upacara serak gulo dalam pelaksanaan dibagi dalam tiga bagian yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan penutup.
Tahap awal dari rangkaian upacara serak gulo dimulai dari pembungkusan gula yang telah dibawa dari rumah masing-masing oleh masyarakat muslim keturunan India. Kemudian dibungkus menggunakan kain perca yang berwarna warni dengan ukuran 100 gram hingga 500 gram.
Setelah berdoa bersama, para pemuda dan tetua yang berada di atas atap masjid melemparkan gula ke ratusan warga yang sudah menanti. Sumber foto: treatID.
Tiap masyarakat yang menjadi peserta dalam upacara ini memberikan gulanya kepada panitia pelaksana secara sukarela. Gula yang digunakan berupa gula pasir. Tidak ada ketentuan untuk jumlahnya, sesuai dengan keinginan dan nadzarnya. Setelah semua gula terbungkus dengan rapi dan disimpan di salah satu rumah warga yang telah ditunjuk.
Memasuki acara puncaknya, gula yang telah dibungkus tersebut dibacakan doa-doa dan memanjatkan bacaan shalawat nabi oleh pemuka agama dan adat di sini. Kemudian para peserta yang telah mengikuti doa ini akan diberikan air asam dan ampiang yang telah tersedia. Selanjutnya berlangsung pemasangan tali yang melintang di antara dua menara masjid dan dibentangkan bendera yang berwarna hijau dengan lambang bulan dan bintang.
Sumber Referensi
-
Zed, Mestika. (2009). Kota Padang Tempo Doeloe (Zaman Kolonial). Universitas Negeri Padang: Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi.
-
Lindayanti. (2020). “Interaksi Antaretnis di Kota Padang pada Masa Kolonial” dalam Seminar “Sehari Padang Lama dalam Perspektif Sejarah dan Masa Depan”.
-
Masjid Muhammadan, Wikipedia
-
Serak Gulo, Tradisi Ratusan Tahun Muslim India Padang Dan Hanya Ada 3 Di Dunia, www.kidalnarsis.com